Saat rindukan perantauan. Sebab tertakdir kembali ke kampung halaman. Tempat yang bukan hasratmu. Tidak seperti beberapa orang yang kau kenal; sekawanan sakadang kuya batok, yang enggan meninggalkan. Semenjak belia, justru kau ingin melepaskan diri, lekas pergi jauh dari kota ini. Ke mana saja. Asal bukan di sini. Cuma berhasil lebih dari enam tahun. Kemudian gelap. Sekarang, kota inilah lentera kepekatan nasibmu yang semakin lamur. Seret kau ke sini pelan-pelan. Bantu kau tata kembali harapan, titi kehidupan. Semua harus terjadi, sudah terjadi, terjadilah.
Kau mengenali kota lain lebih intim daripada kota ini. Mungkin kota mungil dan sempit lebih cocok denganmu yang payah menghafal jalan, apa lagi menghafal rumus cacing-cacing. Kota kelahiranmu terlalu sarat puja-puji. Sehingga terlalu banyak mengundang turis pemadat akhir pekan yang menyebalkan dan melelahkan. Terlalu luas. Terlalu nyaman. Terlalu ideal. Terlalu tenang. Terlalu santai. Jauh dari naluri yang menggebu. Mimpi yang tinggi. Harapan dalam. Visi melebar. Mungkin ini yang empaskanmu berada di sini. Bukan di sana.
Harapmu dahulu, kepakkan sayap selebar-lebarnya di sana. Terbang bebas seingin anganmu. Sungutmu penabur subur. Tubuhmu pamerkan pola warna indah penawan mata sesiapa memandang. Sayangnya, kau gagal jadi kupu-kupu. Tersuruk krisis anarkis. Kau tak mampu kembali jadi kepompong. Sekalipun kembali jadi ulat. Sekarang kau hanya dapat berusaha menjadi apa saja. Dan ternyata lebih sulit menjadi diri sendiri.
Kau rindukan segenap kebebalan. Jalan bolong-bolong perusak ban, pemakmur Si Lae tambal ban. Seribu angkot dengan seribu manuver. Jalan gersang tersaput polusi debu pabrik semen. Ruwet kemacetan senjakala. Hujan lebat berhias blitz semesta, biasa memotretmu yang sedang sendirian dalam gulita padam listrik di rumah yang bocor. Tumpukan buku-buku yang terlalu berat kau bawa ke sini. Seberat berat badanmu. Seberat kenangan. Yang selalu hadir setiap senja bersama layung jingga. Tanpa tata krama.
Langit Bandung sore ini terlalu mendung. Jalanan sore ini terlalu basah. Tak usahlah matamu ikut-ikutan. Semua kenangan harus berlalu. Lupakan yang terlalu.[]
Photo credit: Tinou Bao
Hmm anehnya saya tidak rindu dengan masa masa itu...
BalasHapuslupakanlah rindu. sekarang kita lebih butuh sangu :))
Hapus