Sosoknya taklah asing bagiku, sebab rumah kami tepat berseberangan dengan istana laki-laki itu dan istrinya meneduh. Oh, pantaskah aku menyebutnya istana? Tidak, sebab rumah mungil itu toh sudah bernama; dinamai orang-orang gara-gara penampilannya yang tak lazim. Bila boleh aku melatahkan ucap pelanggan warung kopi kami: rumah yang tak pernah selesai. Begitulah namanya. Dan memang, semenjak laki-laki itu termaktub sebagai penghuni gang ini setahun lalu, temboknya belum―tak pernah―diaci. Sebab belum diaci, tentu pula tidak berpulas cat. Rumah beratap seng karatan tanpa halaman dan pagar itu sekadar diplesteri adonan semen murahan-pasir bertekstur kasar saja, yang oleh anak kecil suka dikatainya tembok durian.
Aku tak pernah nyata berbicara dengan lelaki itu. Anggap saja sapaan selamat sore atau mengajak mengomentari mentari sore ini yang sungguh menyengat—membuat kuli-kuli memilih bersinglet ria sembari mengepulkan asap putih dari mulutnya di warung kopi milik Emak—sore ini bukanlah suatu obrolan. Lelaki itu seumuran Bapak, aku pemuda pengangguran lulusan SMA ecek-ecek. Lelaki itu konon guru honorer sekolah dasar, aku―sekali lagi―pengangguran. Lelaki itu sudah beristri yang kuduga usia sang istri terpaut lima atau bahkan sepuluh tahun dengannya, aku bujang lapuk. Namun setidaknya kuraup kesepadanan: kami sama-sama lelaki pendiam.
Rofi, demikian nama pemilik rumah yang tak pernah selesai dibangun itu. Entah nama panjangnya. Keningku mengerut ketika menguping bapak-bapak pengunjung warung kopi menggunjingkan Pak Rofi. Dari mulut berbusa mereka yang sesekali diselangi gelak tawa berselendang ejek berlarut-larut, aku prihatin mendengar semenjak dua hari silam, Pak Rofi memutuskan pergi dari rumah tak selesai-selesai itu. Konon ia pergi setelah istrinya pergi lebih dulu. Ya, sangat sinetron. Atau hidup memang lebih sinetron, entahlah.
*
Namanya memang gang, namun sesungguhnya permukiman padat tempatku tinggal bersama Emak dan Bapak tidak sesempit nasibku. Mobil memang mustahil muat menyusuri gang kami. Tak masalah, kami toh boro-boro punya mobil. Mobil bodong sekalipun. Yang penting sepeda dan motor masih dapat merangkak searah maupun dari arah berlawanan, walaupun mesti berganti-gantian jika kau telanjur khawatir pagar-pagar bertembok durian mencakar bodi motormu.
Dulu, aku dan beberapa kawan sering mengadu kelereng, atau bermain bola plastik tiga lawan tiga dengan gawang sepasang sandal jepit. Bermain apa saja yang tak butuh lahan luas. Tinggal aku anak yang kini menjelma bujang yang menghuni gang ini. Aku menolak dibujuk lima kawan untuk menjadi salesman di kota. Haha, bodoh sekali mereka, mau-maunya dijadikan boneka pria berkemeja necis itu, ejekku kala itu, lantaran kusangka, otak pria-pria itu taklah serapi kemeja dan sebesar tas selempangnya.
Lain haluan dengan mereka, aku justru menganggur: ya, sejatinya aku tidak lebih pintar malah kalah gigih ketimbang kawan-kawan luguku yang sedang meniti karier terjal sebagai salesman obat nyamuk. Demi mengikis keseharian menganggur yang teramat sia-sia, sebab tiada lagi pilihan lain, aku memilih ikut Emak melayani pengunjung warung kopi kami, bukan membantu Bapak berjualan rupa-rupa pakaian dalam pria-wanita-bocah-bayi di pasar. Sebagai pendiam, aku lebih senang menjadi pendengar setia; pendengar bapak-bapak yang tengah memeras penat dan ampas keringat selepas seharian jadi kuli panggul maupun tukang jagal di pasar. Ikut tersenyum miris apabila mereka saling merisak, terhanyut liris manakala salah satu dari mereka mengumbar kedongkolan lantaran siangnya ujug-ujug didamprat majikan yang frustasi kebanyakan utang.
Dalam riuh pengunjung warung kopi Emak, tiap pukul empat sore setahun belakangan mataku kerap menjerat Pak Rofi berbalut safari biru dongker menunggangi bebek tuanya. Sesudah masuk ke rumah barang lima belas menit―dugaanku ia sekejap mencicipi dan memuji masakan istrinya, laki-laki itu keluar lagi dengan kaus oblong putih bernoda, celana pendek kumal, telapak kaki telanjang. Bekerjalah ia; membancuh sesendok semen plus tiga sendok pasir plus air secukupnya dengan pacul kecil. Jadilah seember adonan. Ia menimpa tembok rumahnya dengan adonan itu sesendok demi sesendok, sampai adonannya sore itu habis. Besoknya kegiatan itu berulang, lagi dan lagi. Apa faedahnya menimpa sesuatu oleh sesuatu yang sama berulang-ulang, aku pun tak tahu. Buang-buang waktu, pikirku, namun mungkin beroleh kepuasan menurut Pak Rofi. Siapa tahu?
Sambil melakoni pekerjaan ganjilnya tiap sore, wajahnya senantiasa mengedar senyum terhadap orang-orang yang melintas, kepada pengunjung warung kopi kami. Senyum tanpa suara, tanpa basa-basi. Selain berserobok pandang dan beradu senyum, seingatku ia tak pernah berbicara apa lagi bersosialisasi dengan kami tetangganya. Hanya ayunan lengan dan tetesan peluhnya yang berbicara. Dan kami menyahutnya di belakang. Begitu heboh kami menggosipkan Pak Rofi, seheboh gosip televisi itu yang saban sore Emak tonton sambil mendecap-decap terlalap amarah.
Biasanya, seraya masuk kembali ke rumah, ia menenteng ember bekas adonan tadi. Entah tandas, ataukah masih bersisa. Dan ia tak keluar rumah sampai esok pagi pukul enam. Ia harus berangkat pagi benar untuk mengajar sebagaimana guru honorer lain yang haram terlambat jika ingin dibayar utuh hari itu.
Semenjak menghuni gang ini, Pak Rofi terus saja berkutat merenovasi rumahnya yang tak kunjung selesai. Ehm, bukan, istilah merenovasi mungkin kurang tepat. Setahuku, merenovasi itu mesti ada perubahannya, ya? Meminjam istilah yang kerap dibualkan temanku; penggiat produk obat nyamuk paling ampuh itu, pekerjaan apa pun mesti ada progres, katanya. Dari semula hendak makan pun susah, menjelma pemilik mobil mewah; seamsal mimpi-mimpi yang bos-bos mereka biasa buaikan. Bila kuibaratkan pada kelakuan Pak Rofi, progres dari rumah yang tak pernah selesai itu yah, setidaknya sebulan kemudian jadi rumah separuh selesai, dua bulan kemudian rumah itu hampir selesai. Tapi sekarang setahun berlalu, masih begitu-begitu saja. Tidak pernah selesai. Atau takkan pernah selesai?
Saat rihat malam ini usai menutup warung kopi kami, penasaran kutanyakan pada Emak perihal rumah Pak Rofi sekaligus tentang Pak Rofinya sendiri. Siapa penghuni rumah itu semula; begitukah kondisi rumah itu sejak dulu, tidak pernah benar-benar menyerupai rumah. Dari mana Pak Rofi berasal: berdasar logika cetekku, tiap-tiap orang Indonesia mesti diwarisi etnis buat dibanggakan semenjak lahir.
“Kurang tahu. Kenapa dulu tak kau tanyakan langsung padanya?”
Kurasa Emak lupa bahwa anak sulungnya ini gengsian.
“Ah, tak sempat. Kalau aku keasyikan nanya-nanya sama Pak Rofi, siapa yang jaga warung kita?”
Emak terkekeh-kekeh. “Kau ini. Tak baik mencampuri urusan orang. Nanti kau terkaget-kaget.”
Dan aku pun langsung melengos ke kamar, demi menghindari khotbah selanjutnya dari Emak yang biasanya berdurasi tak hingga.
*
Semerbak kopi berbaur dengan amis keringat dan pengap asap rokok. Sembari menyeduh dan menuang kopi ke dalam gelas-gelas belimbing buat kuli-kuli yang duduk di depanku, aku memasang telinga lebar-lebar untuk menyimak kabar-kabar termutakhir. Tentu saja selentingan gosip tentang Pak Rofi, sebab biasanya suatu gosip takkan melesap minimal satu minggu. Sekarang baru dua hari. Barangkali ada pemutakhiran gosip ihwal motif-motif ia pergi dari rumahnya yang tak selesai-selesai, juga musabab istrinya pergi lebih dulu. Jangan tanya. Aku pun bingung, bagaimana bisa aku begitu ingin tahu urusan orang. Padahal orang itu konon sudah tak ada di rumah. Orang itu tak lagi nampak membancuhkan semen dan pasir setiap sore. Yang jelas, sekarang benakku sepenasaran menanti sinetron yang episodenya beribu-ribu itu. Ingin segera mengetahui akhir cerita. Apakah bahagia atau dipaksakan bahagia?
“Saya pernah menguping Si Rofi diomelin istrinya,” celetuk kuli panggul yang tubuhnya mengilat-ngilat oleh lelehan keringat, memulai sesi celoteh sore ini seraya menggelung-gelungkan asap rokok ke sembarang.
Mendengarnya, suasana warkop kami sontak gaduh, riuh melampaui kemarin-kemarin. Disokong letupan semangat dari dirinya maupun dari sesamanya yang kian menggelegak, kuli itu meracau deras. Dan gosipnya sungguh menggairahkanku, yang ngebet mengudak-udak misteri Pak Rofi. Biar, kusadur penuturannya dengan bahasaku, oleh karena kisahan kuli itu tidak terlalu nyaman didengar. Terlalu vulgar. Terlalu kasar. Terlalu pasar. Sebentar.
Kira-kira begini. Suatu malam beberapa hari silam, kuli itu sedang leyeh-leyeh sendirian di dalam kontrakan petaknya. Kontrakannya persis bersebelahan dengan rumah yang tak pernah selesai itu. Tembok samping yang menyekati rumah keduanya adalah tembok yang sama. Dari balik tembok ringkih itu, sebelumnya tak pernah ia mengendus aroma pertengkaran dari rumah sebelah. Namun pada malam yang tak ia ketahui pukul berapa, serta-merta ia mendengar umpatan perempuan. Seyogianya itu suara istri Pak Rofi. Selain itu tiada suara lain, tidak ada suara laki-laki. Ya, wajar, tandas si kuli, laki-laki semacam Pak Rofi pasti tengah menunduk menafakuri umpatan sang istri tanpa bernyali melontar sekata pun kala dibegitukan, meskipun usia sang istri jauh lebih muda darinya. Sebab cetusnya, terkadang laki-laki sungkan menyembulkan kelaki-lakiannya, roboh oleh cinta dan kasih.
Kemudian ia mengujar beberapa kata―kata kunci misteri Pak Rofi, menurutku―yang sempat terlontar menembus tembok. Diksi kasar kedaerahan sudah mesti ada, dan daripadanya terkuaklah asal-usul istri Pak Rofi. Namun ada satu kata yang membuat peminat gosip di warung kopi kami sore ini hening seketika: mandul. Istilah barusan menyelip di dalam bahan omelan malam itu. Si kuli mengaku mendengar bahkan mencatat dalam hati berapa kali kata itu keluar. Dasar, jadi kuli masih saja perhitungan. Pantas saja nasibnya kerap diperhitungkan cermat oleh Tuhan.
“O, Si Rofi mandul.”
“Kelihatan, sih, dari cara jalannya.”
“Pantas saja ogah gabung sama kita-kita. Tengsin dia, susah ngaceng!”
“Rofi, Rofi… Mending istri montokmu yang kabur duluan itu buat kita saja, ya? Daripada mubazir.”
Satu per satu cemoohan mereka merubungi warung kopi kami. Aku cuma ikut menertawakan perihal yang sedang ditertawakan oleh mereka, supaya dianggap bersepakat dengan mereka. Padahal tak sepenuhnya aku setuju. Entah, bagaimanapun nyatanya, aku telanjur iba terhadap Pak Rofi. Segala tentangnya terlalu putih bagiku.
“Sampai jam berapa istri si Rofi ngomel-ngomel?” salah seorang melemparkan tanya dengan mimik yang lucu. Baru kali ini aku menyaksikan para lelaki begitu antusias menggeledah perkara orang lain.
“Entah. Saya tidak punya jam dinding, jam tangan, hape sudah saya gadaikan. Lagi pula, saya kebanyakan nenggak Cap Orang Tua malam itu. Agak linglung,” pekiknya sambil meringis, “yang paling saya ingat yah, cuma itu: mandul. Si Rofi Mandul!” setelah melafalkan kata terakhir dengan lantang, meledaklah tawa si kuli. Tawanya sungguh tak enak didengar, namun hadirin ikut terkakak-kakak puas.
Wah, alamat! Berarti sedari tadi dengan polosnya aku mencerapkan cerita sinting dari lisan orang yang sedang teler malam itu? Sialan. Sudahlah, magrib sudah melindap. Pulanglah, kalian!
*
Obrolan warung kopi sore tadi memang kurang baik andai aku teguk seutuh-utuhnya. Namun demikian, sedikitnya aku dapat memilah-milah igauan si kuli, kemudian meruntutnya sampai perkara Pak Rofi terang-benderang. Duh, kini lagakku sudah macam pengacara tukang nyinyir itu. Memalukan.
Aku memastikan seisi rumah telah terlena dalam lelap. Tanpa mengintip pun, aku menyimpulkan arwah Bapak telah melayah ke alam entah, cuma dari irama dengkurnya yang konsisten. Namun, lebih baik kupastikan Emak pun sudah pulas. Kuintip tirai kamar mereka. Aman. Keduanya tidur dalam dekap pelukan. Aku tak mau mengusik keintiman mereka.
Cermat, kutengok jam dinding. Sebentar lagi pukul 12. Ya, jangan sampai misiku melampaui setengah satu, apa lagi lebih. Biasanya pukul satu ada ronda. Kendati petugas ronda di gang ini cuma satu orang, yakni seorang duda yang ditinggal bininya ke Taiwan. Andai aku sedikit teledor, ia mesti bakal mendapatiku sedang mengubek-ubek rumah orang larut malam ini, sehingga nanti Pak RT pun tahu. Gawat.
Pintu rumahku sudah kulalui tanpa membunyikan derak, sebab selepas magrib tadi aku melumasi engselnya oleh beberapa tetes minyak jelantah. Ciamik, bukan? Kini aku sudah berdiri di antara rumah kami dan rumah Pak Rofi. Ditiupi angin malam, dingin. Hih. Lumayan juga. Aku agak merinding. Kakiku melangkahi rumah tanpa pagar dan halaman itu, tentu dengan perasaan was-was. Betapa malangnya Pak Rofi, akulah tetangga pertama yang menjejak teras rumahnya.
Mataku menerobos celah pintu. Gelap. Aku menghela gagang pintu. Gagal. Kampret. Kali ini aku mencoba mendorong. Dan berhasil. Lega. Kepekatan pun menghampar, dan bau-bau asing alangkah menusuk hidungku. Hmm, mungkin bau rumah yang lumayan lama tak dihuni, begitulah aku mencoba menabah-nabah diri. Sesudah masuk dan lebih dulu merapatkan pintu, aku baru bernyali menyalakan senter, kemudian mengedarkannya ke segala penjuru rumah Pak Rofi. Tidak ada apa-apa, sebatas perabot usang. Syukurlah. Eh, lho, bukankah aku ke sini supaya menemukan apa-apa? Baiklah, sebentar, kutitipkan dahulu rasa takutku. Sip.
Dengan mengendap-endap, aku terus menggeledah rumah ini. Wow! Sepertinya aku menginjak benda padat. Aku menunduk, senterku turut merunduk. Wah, selain tekun menembok, Pak Rofi pun rajin mencipta prakarya dari adonan tembok. Aku berjongkok, meraih benda itu dan meraba-rabanya. Tak pelak lagi, itu memang adonan abu-abu gelap, berbentuk silinder panjang, yang… Tunggu, bentuknya agak aneh. Ya, semen ini menyerupai batang silinder, namun, salah satu ujungnya beroleh tongolan seperti jamur. Hmm, aku menebak-nebak, apakah ini bentuk… roket? Bisa jadi. Ataukah, jamur? Batangnya terlalu panjang. Ataukah, hah? Pak Rofi membentuk adonan semen menyerupai benda itu? Untuk apa?
Di depanku, sorot senter masih membulat seperti bulan, aroma aneh semakin sengit. Aku memutuskan berjalan jongkok, sesekali merangkak, barangkali ada yang kutemukan lagi. Ada! Benda keras itu lagi. Bentuk sama, bahan baku sama, dimensinya bahkan persis. Ada apa ini? Mengapa bertebaran batang-batang semen di rumah yang tak pernah selesai ini? Selanjutnya, lagi-lagi kutemui benda serupa. Ada sebelas.
Jantungku tak lagi tenang berdebar. Segala pradugaku berputar-putar. Sinar senterku berdenyar, menyorot batang segenggaman dari adonan tembok itu. Aku terus merangkak, tanganku menggapai-gapai lantai. Sinar senter mencengkam sebuah batang, mirip batang barusan. Aku menyambarnya. Agak keras, kenyal, dan jauh lebih empuk tinimbang sebelas batang semen yang kujumpai tadi. Kukuasakan diri melangkahkan jongkokku, selangkah. Berlumur cahaya senter, terdapat wajah pasi yang bergeming. Lho, Pak Rofi? Bukankah ia sudah pergi dari rumah yang tak selesai-selesai ini? Sontak kutelisik sekujur tubuhnya; dada, perut, bawah perut. Astaga! Kenapa, kenapa itunya tidak ada? Kenapa di situ rata, cuma ada rona merah luka, serupa bekas keran yang patah atau dipatahkan? Aku ingin, aku ingin, lekas siuman dari pingsan. Sudah pukul satukah? Petugas ronda, kaukah itu? Bangunkan aku![]
Bogor, November 2013
Photo credit: Dave Redden
Tags:
fiksi
"Two thumbs up!"
BalasHapus