Senandika Kembali


Semula, saya berangan lebih baik lebaran tahun ini dianulir saja. Selain lantaran pada awal Ramadan saya masih pengangguran selepas enam bulan, yang tentu akan menjadi jawaban terburuk dari pertanyaan menyebalkan, namun alhamdulillah sekarang sudah bekerja apa saja yang mampu dikerjakan, sehingga harapan saya untuk hidup kembali meremang setelah sebelumnya segelap, sepengap lorong kamp konsentrasi. Sebagaimana impian, lebaran pun bukan lagi termaknai sebagai hari raya agung yang kudus dirayakan. Telah mewujud ritual yang melelahkan. Bukan pembuktian iman, melainkan pameran pencapaian.

Mulai dari puasa. Belum pernah saya dengar ayat Al Quran yang mewajibkan ibadah puasa untuk segenap umat Islam. Apa lagi memaksa kepada penganut agama selain Islam supaya ikut-ikutan tak sarapan nasi uduk pagi-pagi dan santap nasi Padang pada siang hari. Telah jelas, puasa diwajibkan bagi orang-orang yang beriman. Supaya kelak bertakwa. Puasa adalah ibadah paling sederhana yang risiko riyanya paling rendah, kecuali masih memaknai wangi kasturi bau mulut secara harfiah kemudian menebarkannya pada hidung sesama. Sehingga peluang utuhnya pahala sedikit lebih besar dari ibadah lain yang kasat mata. Tanpa harus repot-repot gordeni warteg-warteg. Cukup menjaga hati.

Namun di negeri ini lain. Orang-orang yang tidak beriman disuruh untuk menghormati orang-orang yang (merasa) beriman. Mau berharap apa kepada orang tak beriman? Mereka masih dikasih hidup sama Allah pun syukur. Hidup mereka sudah kepalang sulit, setidaknya sulit dalam takaran amal baik. Tak usah kita perberat dosa mereka dengan menuntut mereka hormati ibadah kita. Baiknya, berpuasalah dalam hening, meski kehidupan semakin jauh dari ketenangan, demi mantapnya keimanan.

Karena rumah kami dekat dengan pasar, sejak kecil saya sudah biasa melihat pedagang-pedagang merokok bahkan dengan nikmatnya menyeruput kuah kupat tahu Padalarang pada siang bolong, padahal pikir saya dulu, semua orang dewasa pasti berpuasa, di mana pada kelas satu SD kala itu saya sedang belajar berpuasa penuh, namun ternyata orang dewasa yang kerjaannya suka menasihati supaya anaknya soleh dan sering nyuruh-nyuruh beli rokok sama terasi itu cuma begitu kelakuannya.

Lama-kelamaan saya malah senang. Baguslah, setidaknya lapak surga berpeluang lebih besar untuk dapat saya masuki kemudian mukimi kalau orang dewasa banyak yang tidak berpuasa. Menghadapi persaingan global dan Masyarakat Ekonomi ASEAN saja saya berdarah-darah dan entah bagaimana pangkal ceritanya, bagaimana nasib pecundang macam saya bila semua orang berlomba-lomba masuk surga? Haruskah periang, berhobi futsal, pandai berkomunikasi dan beradaptasi, dan punya koneksi orang dalam agar dapat lolos seleksi ke surga?

*

Mudik menurut saya adalah ritual paling penting yang penduduk Indonesia khusyuk tunaikan ketimbang puasa Ramadan. Hampir segenap orang-orang pandai dari kampung sudah hidup mapan di kota-kota besar. Yang tinggal di kampung cuma nenek-nenek dan bocah ingusan. Tentu saja orang-orang sukses harus mudik ke kampung halaman masing-masing. Setidaknya untuk informasikan bahwa mereka baik-baik saja di kota. Meski tak selamanya mereka senantiasa menggunakan metode yang baik dan terpuji sesuai titah nenek moyang untuk menggapai kesuksesan, karena dunialah yang berkehendak begini. Segunung parsel dan amplop-amplop berisi angpao lebaran teruntuk keluarga besar dan segerombol tetangga—yang bernasib tak sebaik mereka—telah cukup pancarkan mereka baik-baik saja.

Sudah tak musim mudik ke kampung halaman dengan mengendarai bus berjam-jam seperti zaman paman dan bibi saya dahulu. Kesejahteraan penduduk Indonesia sedemikian melejit. Hampir semuanya punya mobil sendiri. Sayangnya sarana penghubung antar kota dan antar daerah tidak berkembang sepesat rumah toko yang secepat kilat mengurug kebun-kebun dan hamparan sawah laksana makanan pokok mereka bukan beras. Haruskah mengubah pola pikir ke sekian kali untuk tak lagi prioritaskan kendaraan pribadi dalam cetak biru pencapaian hidup ini?

Seandainya kesejahteraan mudah ditemukan tidak di kota-kota besar saja. Atau malah kita yang keliru persepsikan standar dan sesuaikan parameter kemakmuran ini, sehingga jadilah begini. Orang-orang pandai hanya kita temukan di kota-kota besar. Mungkin office boy yang biasa Anda suruh-suruh memfotokopi notulensi meeting itu dulunya adalah langganan rangking satu di kampungnya. Dan penjaga warnet pengap bau rokok dan peju itu dulu anak kesayangan guru yang terpaksa bekerja karena tak punya peluang kerja lain, terlebih di kampungnya, selain kemauan untuk bekerja apa saja di kota.

Sekali lagi, yang kita temukan di dusun-dusun dan pedalaman selain lansia dan bocah bau matahari adalah orang yang kurang kuat mentalnya meski lumayan pintar—yah walau tak separipurna kecantikan, kepandaian, dan kesejahteraan Dian Sastro. Remaja putus sekolah yang kadar brengseknya nanggung, tidak sekhaffah teman brengsek yang sukses di kota. Anak yang terpaksa tinggal serumah dengan orangtua karena orangtuanya sakit keras sehingga butuh dirawat sepanjang hari, atau orang gila yang keluarganya tak lagi sanggup sekolahkan ke rumah sakit jiwa. Tak apa, sebagian besar yang hidup di kota-kota besar, sepintas jiwanya jauh lebih sakit tinimbang orang sakit jiwa sungguhan di kampung.

*

Tahun ini saya merasa lebih hidup. Betul sekali, seperti pernah saya tulis, apalah guna hidup bila semata alami kebahagiaan. Semula saya sempat membenci Tuhan. Kenapa kok rasanya keadilan terkesan malas untuk mampiri saya termasuk keluarga saya. Tiap jam temukan keanehan. Setiap hari merangkak lalui tanjakan curam, terpelanting saat turunan tajam, luput lompati renggang jurang. Setiap malam rutin hinggap keputusasaan. Hingga pagi datang menyitir-nyitir segumpal penyesalan masa lalu, berulang.

Kemudian ada satu titik balik atau kalau di Just Alvin biasa disebut “Turning Point” yang terjadi tiga bulan silam. Titik pembalik impian-impian saya. Pengelap lensa mata saya setelah sebelumnya terburami fana dunia. Titik penol jiwa raga yang tiada lagi berdaya berdiri tanpa senderan apa pun sehingga saya mantap untuk bersandar kembali kepada Allah. Bukan lagi memasrahkan harapan pada seseorang atau menyerahkan masa depan pada korporasi. Sebagai insan yang dilahirkan, manusia dibekali kertas kosong yang kelak kita isi sekehendak masing-masing. Kembali tersadarkan, mau-maunya nasib saya didikte sama korporasi yang sok kenal sok dekat sama kita sekadar dari psikotes dan uji-uji instan lainnya. Allah saja yang menciptakan saya, toh memberi berlimpah kebebasan pada saya untuk menentukan tujuan dan alur hidup meski tentu tak selamanya saya berbuat kebajikan.

Sekarang saya mulai memandang hidup dengan biasa saja. Tak gampang kepengin menyimak gadget keluaran terbaru, motor berdesain futuristik, perempuan-perempuan cantik yang memang mana mungkin sih mau sama saya. Melihat orang berkaos My Trip My Adventure atau Nesyenel Jeojrefik sudah berhasil travelling dan mengotori langit ke tujuh pun saya meliriknya biasa-biasa saja. Tidak seperti dulu. Memangnya untuk bahagia, cuma harus melakukan yang orang lain lakukan? Saya sudah sampai titik di mana hari ini mau makan dengan apa pun sudah dapat menentukan sendiri tanpa harus bingung berjam-jam dan bilang terserah. Apa lagi dalam gulirkan roda aktualisasi diri. Kurang merdeka apa hidup bebas di era reformasi, kalau kelakuan masih saja menghamba tren demi tren berkedok modernisasi yang begitu lekas berubah, namun demikian sebatas suguhkan basa-basi dan sensasi dengan nir-esensi.

Selamat hari raya Idul Fitri. Sucikan hati. Mari rayakan tanpa embel-embel jabatan korporasi.[]

Photo credit: Fredy Wijaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama