Mula-mula saya tidak tertarik. Apakah lantaran saya merasa jauh lebih indie dari anak indie yang kata orang-orang yang merasa sangat keren itu mengatainya sebagai anak yang cuma tahu kopi dan senja? Mungkin saja.
Ya, awalnya istri saja yang beli, saya cuma icip sedikit. Terasa biasa saja: kopi kekinian dengan bubble-bubble (atau cincau, saking tidak berkesannya, saya lupa) yang rasanya manis gula plus gurih susu dengan sensasi kopi yang tipis. Tidak berkarakter, apa lagi strong.
Kesan demikian berubah tadi sore. Eh, maaf, senja. Saya kok ya lagi kepengin es kopi di sebuah mal lain yang kebetulan terdapat kedai kopi Janji Jiwa. Pesanlah saya Ice Latte; berupa espresso dan susu segar, tanpa gula. Tanpa gula. Tanpa gula. Tanpa gula.
Pahit lho, Kak, gak apa-apa? Barista begitu baik hati memastikan pesanan saya. Justru itu, saya kepengin mencoba sekaligus membuktikan cita rasa kopi Janji Jiwa tanpa kebanyakan embel-embel cincau, bubble, gula aren, hingga alpukat.
Sedotan pertama. Ini sungguhan. Saya seperti terlempar kembali ke masa-masa muda delapan tahun silam di mana energi meletup-letup dan inspirasi membuncah begitu saja tanpa harus dipaksa dengan cara dipancing-pancing ataupun dipantik-pantik sampai depresi.
Masa-masa ketika saya sedang gandrung ngopi tubruk tanpa gula yang rasanya pahit sekali untuk bekal bergadang semalaman suntuk untuk menulis apa pun di halaman kosong pengolah kata.
Saya jadi teringat kembali impian-impian saya pada masa itu, harapan-harapan yang entahlah apakah menjadi kenyataan ataukah pantas disebut sampah saat ini, kini kembali merasuki jiwa saya.
Tak berlebihan memang kalau tagline kedai kopi Janji Jiwa adalah Kopi dari Hati. Sebuah karya atau produk yang dibuat dari hati, akan sampai juga ke hati.[]