Minke dan Annelies


Membaca Bumi Manusia―meskipun terlambat―seperti membaca dirimu sendiri, bagaimana bila dirimu lahir dan hidup pada tahun-tahun pemungkas abad 19, menjelang abad 20 yang diagung-agungkan sebagai era modern. Modern, dahulu adalah kosa kata baru yang sangat keren katanya di kalangan terpelajar, mungkin sekarang sebanding dengan seven eleven ya di benak alay bercelana dilipat seperti pengungsi banjir.

Membaca roman tetralogi Buru yang pertama ini membuat saya berpikir, apakah Prosais Indonesia cuma punya satu kiblat saja sebagai patokan kekerenan suatu karya yang sangat Indonesia. Saya jadi teringat gaya tutur Okky Madasari, Seno Gumira Ajidarma, Khrisna Pabichara dalam Trilogi Dahlan dan Gadis Pakarena-nya, bahkan Ahmad Tohari sekalipun. Mirip-mirip sedikit. Saya seperti sedang menikmati surabi oncom atau kinca kental dari gula aren yang benaran asli, setelah sebelumnya banyak mencoba surabi-surabi duren, blueberry, Nutella, atau Toblerone bertopping jengkol bila memang ada, dan ternyata yang orisinal adalah yang paling mengenyangkan dan mengenangkan. Mungkin karena pedagangnya sudah wafat.

Minke ada sebagai sosok serba salah di sini. Terjebak konflik dalam ketidaksengajaan akibat coba jawab tantangan Robert Surhoof, yang memang kadangkala kita pun sering berada dalam keadaan sedemikian. Namun tentu Minke lebih menderita daripada kita sebagai generasi instagram. Sebagai Pribumi terpelajar yang meskipun punya darah ningrat tapi ia tak punya nama marga yang biasanya ada sebagai kebanggaan dan pembedaan dengan Pribumi Jelata, ia harus terperangkap di "sarang" Nyai yang hidup sentosa di tengah perusahaan perkebunan beserta anaknya yang Indo, Robert Mellema dan Annelies. Ya, Annelies, perempuan inilah yang merebut hati Minke utuh-utuh hingga ia tak sanggup meninggalkan dara berselimut derita yang harus pula turut ia rasakan setelahnya itu.

Konflik demi konflik lahir begitu alami, puncaknya adalah Minke dan Nyai harus berhadapan dengan hukum Hindia Belanda yang tetap berinduk pada Nederland. Tokoh-tokoh yang muncul, meskipun hidup jauh dari zaman saya yang seharusnya sulit untuk sekadar dibayangkan wujudnya pun, sungguh realis. Sebab manusia di zaman mana pun sama saja, meskipun ia Eropa terpelajar sekalipun, ada yang baik, ada yang jahat, dan ada yang munafik. Mungkin inilah kenapa roman ini berjudul Bumi Manusia dan mengapa Pram disebut-sebut banyak terpengaruh Steinbeck dan Camus: ia lahir seolah bukan di zamannya, terlalu cepat ia lahir sebagai pelopor sastra realis di negerinya yang ternyata sejak dulu kurang menghargai bentuk tulisan sebagai kekuatan, sampai sekarang.

Dan romansa antara Minke dan Annelies yang meskipun bukan porsi utama Pram dalam menulis tetralogi di penjara pulau Buru ini, entah mengapa kok romantis maksimal. Tergambar begitu jernih bagaimana tingkah laku dan metode pacaran pada zaman itu, pada zaman yang belum ada instant messenger kemudian saling berkirim sticker, pada zaman yang masih membeda-bedakan antara Eropa Totok, Indo, Pribumi Priyayi, Pribumi Kuli. Kurang lebih sama romantisnya dengan percintaan Edmond Dantes dan Mercedes ataupun Romeo dan Juliet―padahal belum pernah baca nih roman, cuma nonton versi FTV, dan ujung-ujungnya pun sama-sama harus meninggalkan dan ditinggalkan berkat kematian.

Tiga hari saja selesaikan roman yang menurut orang berat ini. Padahal derita hidup Pramlah yang berat sampai kemudian ia wafat. Sekarang kita cukup membacanya di dalam rumah tipe 36 bersandingkan teh manis hangat, di zaman yang setidaknya kita masih dapat berlindung dari deras hujan dan bisingnya jalanan. Tak harus berpelik-pelik berlindung dari pergolakan zaman. Meskipun masih...[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama