Banyak hal baru yang saya rasakan selama tiga pekan menjalani work from home, yang sebelumnya mustahil bisa saya alami di hari-hari biasa sebelum pandemi Corona (COVID-19). Ya, anggap saja hikmah Corona, saya bersyukur saja ketimbang mengeluh tiap hari, maki-maki pemerintah (enak, tapi buang-buang energi), dan cemas dengan masa depan; kapan Corona COVID-19 ini bakalan berakhir di Indonesia?
Dengarkan juga versi Podcast-nya:
Dengarkan juga versi Podcast-nya:
Hari Senin ini saya memasuki pekan keempat bekerja dari rumah.
Bekerja dari rumah versi kantor tempat saya bekerja yaitu satu hari masuk kerja selama delapan jam seperti biasa, kemudian satu hari berikutnya bekerja di rumah dengan
hitungan delapan jam yang sama, dari pukul 8 pagi hingga 5 sore. Sehingga dalam
seminggu saya bisa kebagian dua hari berangkat ke kantor, kemudian pada pekan depannya saya masuk kantor sebanyak tiga hari.
Biar ala-ala Hipwee, saya sebutkan 5 hal saja, ya, berikut ini 5 hikmah work from home atau bekerja dari rumah yang kini saya rasakan.
1. SAYA BISA LEBIH DEKAT DENGAN KELUARGA, TERUTAMA BISA LEBIH DEKAT DENGAN ANAK!
Saking bahagianya sampai-sampai tombol caps lock jebol tuh
haha. Jujur, Bung, sebelum bekerja selang-seling sehari di rumah dan sehari di kantor, saya merasa sulit untuk mencuri-curi waktu agar bisa ngajak main anak, paling
tidak nemenin anak tidur.
Loh, kok bisa?
Bukannya kerja tuh cuma sampai jam 5 sore?
Jam 6 atau paling lambat setengah 7 juga udah nyampe di rumah kan, Cep?
Lo kan
bukan orang lapangan yang tiap hari pulangnya jam 11 malem?
Awal-awal juga saya ngiranya begitu. Ah, pulang jam 5 ini,
nyampe rumah masih bisa makan malem bareng anak, masih bisa bacain buku sebelum
dia tidur, atau kalau dia susah tidur ya ajak maen dia sampai capek agar dia
lama-kelamaan ngantuk dan tidur.
Sayangnya itu cuman teori! Itu cuman khayalan, sulit
sekali untuk diamalkan.
Sampai rumah, raga memang sudah sampai. Tapi pikiran masih di
kantor, masih muter di otak di hadapan anak istri, bahkan detail-detail kerjaan pun sampai kebawa mimpi.
Intinya, saya enggak
100% full berinteraksi bersama istri dan anak sepulang dari kantor. Sesekali masih
dihubungi via Whatsapp, dan kalau saya kepikiran banget, ya kepaksa buka email
kantor lewat hape, meskipun itu tidak urgent dan tidak wajib segera dikerjakan,
tapi karena saya orangnya overthinking, ya penasaran buka isi email.
Jadinya adrenalin masih tinggi, pikiran belum bisa rileks. Alhasil yang mudah saya lakukan sepulang kerja dan makan malam adalah rebahan sambil berselancar di internet. Mencari-cari pelarian dari realitas di layar hape sampai ketiduran besok
paginya.
Kemudian esoknya istri cemberut karena saya dianggap gak bisa manage waktu
buat keluarga, khususnya sama anak. Mendengar pengakuan itu, otomatis saya jadi makin stres, lantaran merasa gagal jadi suami yang baik, merasa gagal jadi ayah yang baik, demikianlah siklusnya berulang pada hari-hari
berikutnya.
Setelah WFH ini saya jadi bisa manage waktu sendiri. Kalau
kerjaan udah kelar ya sudah, saya bisa main bola sama anak di depan rumah,
bantuin istri masak, ngosrek kamar mandi, dan saya jadi punya waktu luang untuk
mencoba hal-hal baru, salah satunya membuat podcast yang saya namakan Podcast Keluar Rumah.
Yang penting, selama work from home atau orang-orang biasa nyingkat sebagai WFH, email kantor dan hape stand
by, siap dihubungi kapan saja.
2. Waktu Luang
Hemat waktu. Hemat bensin. Hemat energi untuk marah-marah
menghadapi kemacetan setiap berangkat dan pulang kerja. Sehingga waktu setiap
harinya terpakai efektif, dan bisa saya gunakan untuk melakukan kegiatan lain
yang saya rasa bermanfaat bagi keluarga maupun bagi diri saya sendiri.
Walaupun tempat kerja saya gak jauh-jauh amat dari rumah, tapi saya tiap hari udah merasa stres mesti menghabiskan waktu minimal 50 menit di jalan. Apalagi kayak sebagian besar tetangga saya yang kerja di Jakarta. Mereka tiap pulang-pergi harus desek-desekan satu jam lebih di dalam Commuterline, berangkat subuh pulang larut malam. Salut pisan lah buat segenap Anker alias Anak Kereta!
Sumpah. Saya baru benar-benar merasakan, saya baru
benar-benar menyadari, sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui itu adalah
waktu. Sebab waktu tidak bisa diputar kembali, dan waktu juga tidak bisa
dipercepat. Waktu tidak bisa diciptakan kembali. Waktu tidak bisa diolah dengan
sumber daya alam lain sehingga mewujudkan sumber daya yang baru. Waktu hanya
bisa digunakan, ia jalan terus ke depan.
Dan sayang sekali kalau kita, khususnya saya, hanya melewatkan
waktu, menit demi menit, hari demi hari begitu saja. Kini perlahan saya bisa
lebih menghargai waktu dan ingin terus memaknainya dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan
yang bermanfaat bersama orang-orang yang saya sayangi.
3. Berani Mencoba Bahkan Merealisasikan Hal Baru
Seperti saya sebut tadi, akhirnya saya jadi punya waktu
untuk mencoba hal-hal baru bahkan merealisasikannya, salah satunya adalah Podcast Keluar Rumah. Bukan karena banyaknya waktu luang alias magabut, karena ya
kerjaan tetep saya kerjain di rumah.
Saya jadi bisa merealisasikan hal baru yang belum pernah
saya coba karena saya jadi bisa curi-curi waktu setelah pekerjaan selesai, yang
sebelumnya tidak mungkin dilakukan di kantor tersebab terikat dengan
aturan-aturan.
Intinya, otak nakal saya untuk icip-icip barang baru udah
mulai jalan lagi, setelah sebelumnya macet, tersumbat, dan sempat mati suri ditelan entah apa, saya belum tahu penyebabnya.
4. Baru Sadar Kalau Kita Tidak Bisa Menggantungkan Diri pada Orang Lain
PHK di mana-mana. Tidak sedikit karyawan perusahaan yang
dirumahkan. Lebih banyak lagi karyawan yang diliburkan tanpa dibayar (unpaid
leave). Semua hal ini karena terhentinya siklus bisnis yang sebelumnya berputar
lancar menggerakkan ekonomi rakyat.
Banyak orang yang kurang beruntung itu kebingungan mau cari
nafkah ke mana lagi. Sementara cicilan KPR, cicilan mobil, bahkan mungkin
cicilan hape jalan terus. Mau cari pekerjaan baru susah karena banyak
perusahaan yang stop sementara sampai waktu yang belum ditentukan, selama pandemi
COVID-19 belum berakhir atau setidaknya kurvanya menurun.
Mau ngasah skill baru, udah telanjur terlambat, karena seseorang mustahil bisa langsung menguasai suatu keahlian
sampai ia pantas dibayar dalam waktu yang singkat, pasti butuh jam terbang dan portofolio.
Saya memang beruntung masih bisa bekerja dan terima gaji
setiap bulan. Melihat gejala-gejala sosial di sekitar saya tersebut, saya jadi
tersadarkan tentang beberapa hal.
Kita gak bisa menggantungkan nasib hidup kita ke
orang lain.
Kita gak bisa menggantungkan nasib hidup diri dan keluarga kepada
sebuah perusahaan atau badan usaha. Bahkan kita gak bisa menggantungkan hidup pada customer atau klien.
Kita harus punya keahlian di mana keahlian
itu diperlukan bukan oleh satu perusahaan saja, tetapi bermanfaat juga untuk
orang lain, yang pada suatu hari mungkin benih-benih kebaikan di masa lalu bisa menyelamatkan kita ketika situasi terpuruk pada kondisi terburuk.
5. Semakin Yakin Bahwa Tidak Ada yang Abadi
Keuntungan atau profit itu tidak abadi. Ada naik dan ada
turun.
Bahkan, saya membayangkan situasi saat ini, warga dunia seolah-olah
disuruh terjun bebas dari corong pantat pesawat Hercules. Banyak orang yang kaget dan
pingsan duluan sebelum sampai ke daratan, ada juga yang ogah-ogahan untuk
terjun bebas, takut menolak realitas, tapi ujung-ujungnya dia tetap ditendang sama si
pelatih.
Betapa beruntung orang-orang yang sudah punya persiapan sebelumnya
untuk terjun. Baik persiapan fisik, materi, dan yang paling penting adalah
persiapan mental.
Kalau kamu masih termasuk golongan yang masih ogah menolak
realitas, sesekali saya pun masih berperasaan begitu. Masih belum menerima kalau sekarang adalah saatnya untuk terjun bebas. Ya, mungkin satu-satunya kunci yang sulit dilakukan namun sebenarnya bisa dilakukan adalah
satu hal saja: ikhlas.[]