Pernikahan di Solo: Pengalaman Menghadiri Undangan di Solo


Pertengahan tahun 2019 lalu kami menghadiri undangan pernikahan sahabatnya istri ke Solo, Jawa Tengah. Solo adalah tujuan yang belum pernah kami kunjungi, sehingga kami sekaligus bervakansi singkat ke sana menghirup suasana baru setelah saya ada tugas kantor ke luar kota pada empat hari sebelumnya. Kereta yang kami tumpangi berangkat pukul 11.30 dari Stasiun Senen dan tiba di Solo sekitar pukul sembilan malam.

Esok paginya, dari hotel kami sudah bersiap-siap berangkat ke acara resepsi yang dijadwalkan dimulai pukul sembilan. Sekitar pukul delapan lewat kami pergi ke sana.




Setibanya kami di sana suasana masih sepi. Para undangan belum banyak yang datang. Kami foto-foto dulu di beberapa spot yang menurut kami unik khas ala pernikahan adat Jawa. Setelah mengamati satu per satu undangan menghampiri meja tamu untuk mengisi buku tamu, baru kami ikut-ikutan ke sana.

Tidak Ada Prasmanan di Resepsi Pernikahan Orang Solo

Ini adalah pertama kalinya saya jauh-jauh menghadiri undangan pernikahan sampai ke Solo, sebelumnya paling jauh juga ke Jakarta atau daerah-daerah yang masih berada di Jawa Barat. Sehingga saya sudah memprediksi akan ada semacam pengalaman baru yang bisa saya bawa pulang dari sana.

Pelayan Menuangkan Teh Manis ke Dalam Gelas untuk Para Undangan

Hal baru yang pertama saya temukan dari acara pernikahan orang Solo adalah tidak ada prasmanan di sini. Kursi-kursi undangan ditata rapat-rapat, terdiri dari 2 sayap yang saling menghadap. Di antara sayap kerumunan kursi tersebut terbentang karpet merah seperti acara peragaan busana untuk jalur kedua mempelai dan keluarganya berjalan ke pelaminan.



Dua-tiga saf kursi paling depan diperuntukkan khusus keluarga kedua mempelai, adapun undangan umum ditempatkan di kursi-kursi belakangnya. Pada setiap jarak tertentu, ditempatkan meja kecil khusus untuk meletakkan gelas-gelas teh manis. Siapa pun bebas untuk mengambilnya, jika sudah habis, para pelayan dengan sigap meletakkan gelas-gelas teh manis baru.

Kalau kata istri, undangan pernikahan di Solo ini juga sebenarnya menjadi wisata budaya bagi kami, karena baru pertama kali dia merasa dimuliakan sebagai tamu.

Menu Makanan Dihidangkan Satu Per Satu

Tradisi piring terbang.
Demikian istilah yang saya ketahui kemudian. Tradisi piring terbang, yaitu makanan demi makanan mulai dari makanan pembuka hingga makanan penutup dihantarkan satu per satu ke tangan masing-masing tamu, sangat memanjakan dan memuliakan kami sebagai tamu undangan, terlebih bagi kami yang membawa anak kecil.

Hidangan Pembuka Berupa Sup Matahari

Kami tinggal datang, menulis nama di buku tamu, sudah boleh dan dipersilakan duduk manis di kursi yang tersedia banyak dan juga dipersilakan menikmati teh manis hangat.

Kontras sekali dengan jamaknya pernikahan di Jabodetabek yang lebih sering mengusung konsep standing party dengan durasi resepsi hanya dua jam demi efisiensi biaya sewa gedung, sehingga untuk menghadiri undangan saja, kami harus berkompetisi dengan tamu-tamu lain, dulu-duluan menyerobot antrean lantaran takut kehabisan makanan di gubukan.

Hidangan Utama

Orang-orang kota dalam kesehariannya seolah disengaja untuk bersaing sikut-sikutan hingga harus melahirkan pemenang dan pecundang, bahkan di pesta pernikahan orang. Hidupnya gak mau banget rugi.

Keluarga Kedua Mempelai Menari Bersama

Karena Ayah mempelai laki-laki berasal dari Batak, di penghujung acara resepsi terdapat acara menari bersama. Sepertinya lumayan lama mereka nari-nari bareng, hampir 15 menit, mulai dari tarian tor-tor hingga tarian maumere, yang menghadirkan kemeriahan di akhir acara resepsi.

Keluarga dan Kerabat Kedua Mempelai Menari Bersama

Perihal seluk beluk pernikahan di Solo dan perbedaannya dengan tata cara resepsi pernikahan di sekitar Jabodetabek ini beberapa tahun silam ternyata pernah diulas oleh teman saya yang memang asli kelahiran Solo. Dan baru tahun kemarin saya melihat sekaligus membuktikannya secara langsung. Saya sadari betul, perbedaan kultur dan budaya itu begitu indah sekaligus menimbulkan kesan abadi sampai hari ini.[]

*

Dengarkan juga versi podcast-nya di Podcast Keluar Rumah Episode 1:


Podcast Keluar Rumah dibawakan oleh saya, Cepy, merupakan podcast yang membahas sisi lain kultur dan kebiasaan masyarakat daerah sekitar ketika saya keluar rumah; kegiatan yang sebenarnya malas saya lakukan.

Klik di sini untuk mendengarkan langsung di platform Spotify.

----

Credits: Musik yang dipakai di episode ini adalah "Sweeter Vermouth" karya Kevin MacLeod (incompetech.filmmusic.io). Licensed under Creative Commons: By Attribution 3.0 License

2 Komentar

  1. iya tho,
    ndak ada prasmanan,
    "tamu di muliakan" dengan dilayani

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener min, petugas piring terbangnya biasanya para saudara & sanak keluarga ya? butuh banyak orang pasti ya.

      Hapus
Lebih baru Lebih lama