Hidup sebagai Underdog

Kata UNDERDOG mungkin terdengar negatif di benak kalian. Well, UNDERDOG artinya adalah bawah anjing.

Ups, bukan, bukan bawah anjing, UNDERDOG adalah gebetannya HOTDOG yang sudah berwindu-windu terpisah oleh ombak ke-PHP-an.

Ngawuurrr woii!!!

Hehe, UNDERDOG disini saya artikan sebagai orang yang tidak diunggulkan dalam suatu komunitas atau bisa juga disebut "anak bawang". Tipe orang seperti ini tindak-tanduknya boro-boro diperhitungkan, diperhatikan saja tidak pernah. Pokoknya apa yang dikerjakan si tipe UNDERDOG ini dianggap selingan atau humor belaka atau bahkan dianggap "orang gila" oleh tipe lain yang merasa normal.

Nah, saya pikir saya masuk ke tipe UNDERDOG. Sejak kanak-kanak saya sering dianggap tidak normal oleh teman sebaya ataupun saudara sepupu, karena badan saya sangat abnormal, BIGSIZE. Selain ketidaknormalan fisik, pemikiran saya waktu itu dianggap "gila", tidak cocok dengan pemikiran kebanyakan anak-anak seumuran saya. Kepada orang lain saya sering sekali bilang, "Kalo udah gede nanti, aku pengen jadi insinyur, pengen kuliah biaya sendiri, dan pengen bikin orangtua saya bahagia." Bisa dibilang pemikiran saya terlalu visioner.

Lalu mereka selalu membalas omongan saya dengan, "Mana mungkin coy (kecil-kecil udah coy-coyan ya) kita orang ga mampu, cita-cita pengen jadi insinyur, biayanya mahal banget coy, tinggi bener obsesimu gan (padahal belum ada kaskus)".

Ah, saya tidak pernah mempedulikan mereka. Pemikiran tersebut tetap saya pegang teguh, mungkin hingga hari ini.

Ternyata tidak berhenti disitu saja. Dalam bidang olahraga, saya pun menjadi UNDERDOG. You know lah, badan sebesar boneka salju dengan tinggi badan anak SD gimana ga berat tuh kalo dipake buat lari ataupun bermain sepakbola?

Jadilah saya yang larinya lelet, gampang ngos-ngosan, sering dicerca teman karena tidak becus bermain sepakbola, dan banyak lagi kengenesan lain yang menghantui saya yang tidak dapat diceritakan disini karena belum dinyatakan "lulus sensor" oleh LEMBAGA SENSOR INDONESIA.

Masuk SMP pun begitu, pemikiran saya tetap dianggap absurd oleh orang lain. Badan (tentu saja) masih BIGSIZE, semakin BIG. Boro-boro ada yang naksir. Di balik pesimisme yang melanda, saya tetap bersemangat untuk meraih cita-cita. Dan, di SMP inilah cap UNDERDOG saya bertambah di bidang lain, yaitu bidang akademik. Masuk peringkat 5-10 besar saja sudah bersyukur. Tidak ada perlakuan dan perhatian khusus dari guru-guru terhadap saya. Saya hanya dikenal sebagai murid gemuk yang pikirannya "gila", malas berolahraga, dan cupu.

Ternyata UNDERDOGISME saya tidak bertahan disitu. Saya ingin masuk ke STM favorit saja diremehkan oleh banyak teman. Saya dianggap tidak akan kuat untuk bersekolah disana, karena badan saya yang BIGSIZE, sedangkan STM tersebut adalah sekolah yang memprioritaskan kesehatan jasmani yang utama. Ngomong-ngomong kesehatan jasmani, tentu saja kita harus pandai berlari, berenang, dan olahraga lainnya. Tetapi omongan teman tersebut tidak saya hiraukan, saya tetap mengikuti nurani pribadi untuk masuk ke STM itu.

Akhirnya saya masuk ke STM tersebut dengan bobot nilai yang pas-pasan. Hehe, patut disyukuri tentunya. Tetapi, saya masih tetap menjadi UNDERDOG *tepok jidat*. Disini semakin kompleks intensitasnya. Semua mata pelajaran tidak dapat saya cerna dengan baik. Terlebih dengan mata pelajaran eksak seperti Fisika, Matematika, Kimia, dan masih banyak lagi. Di sana saya hanya menikmati mata pelajaran kejuruan, terutama praktikumnya. Selain mata pelajaran kejuruan, hanya ekstrakulikuler yang mampu mengalihkan UNDERDOGISME saya di bidang akademik. Tetapi, di sekolah inilah kemampuan jasmani saya jauh meningkat dibanding saat saya SMP. Ya, lari 2-3 km tanpa berhenti sih saya sudah sanggup.

Saya lulus dari STM tersebut dengan prestasi yang biasa-biasa saja. Tetapi alhamdulilah saya sudah diterima bekerja di suatu perusahaan sebelum resmi diwisuda. Keajaiban UNDERDOG? Mungkin saja, hahaha.

Saya kembali menjadi UNDERDOG di bangku kuliah. FYI, saya resign dari perusahaan untuk mengambil beasiswa kuliah dari perusahaan lain. Di masa kuliah inilah posisi saya yang benar-benar UNDERDOG. Nilai mata kuliah hancur lebur, mendengarkan kuliah dari dosen ora mudeng, nothing special about me today. Tetapi karena sudah terbiasa menjadi seorang UNDERDOG, saya menjalani semua ini dengan pikiran yang terbuka. Toh Allah SWT. tidak akan pernah memberikan ujian kepada umat-Nya melebihi kemampuan umat-Nya tersebut.

"Tim Dinamit" Denmark di Euro 1992

Saat itu saya baru berumur satu tahun sih, belum bisa nonton bola lah. Saya mengetahui kegigihan Denmark di Euro 1992 dari YouTube. Daya juang "Tim Dinamit" Denmark di Euro 1992 sangat menginspirasi saya. Bagaimana tidak, Denmark adalah tim yang sama sekali tidak diunggulkan dalam kompetisi tersebut. Masuk fase final pun mereka harus terlebih dahulu melakukan pertandingan play-off.

Tetapi Denmark mampu memanfaatkan kelengahan lawan yang sudah terlebih dahulu mencap mereka sebagai UNDERDOG. Mereka berhasil maju ke semi final untuk menghadapi tim raksasa Eropa, Belanda. Di mata para pengamat sepakbola seperti Dr. Boyke #what? sudah pasti peluang pertandingan tersebut adalah 70-30 untuk tim Belanda.

Kenyataan berkehendak lain...

Denmark vs Jerman di Final Euro 1992

"Tim Dinamit" berhasil maju ke babak final untuk menghadapi tim raksasa lainnya, Jerman. Tidak ada yang meremehkan kemampuan "Tim Panser" Jerman. Mayoritas pengamat sepakbola yakin kalau Denmark tidak akan bisa mengulangi "keberuntungan" mereka seperti saat menghadapi Belanda.

Hasilnya...

"Tim Dinamit" saat menjuarai Euro 1992

"Tim Dinamit" keluar sebagai juara Euro 1992 mengalahkan Jerman dengan skor 2-1. Jerman hanya mampu membalas satu gol saja. Semuanya adalah buah kegigihan seluruh pemain di tim Denmark yang berani untuk menerima kenyataan dicap sebagai UNDERDOG dan ternyata mereka berhasil memutarbalikkan prediksi dan statistik seluruh pecinta sepakbola di seantero dunia.

Kemenangan itu membutuhkan proses. Stereotype orang wajib kita terima, tetapi kita tidak boleh diam begitu saja. Kita wajib untuk berjuang mendobrak pintu, eh... mendobrak asumsi orang lain tersebut. Jangan sampai kita kalah sebelum peperangan. Lebih baik bermandi keringat saat latihan daripada bermandikan darah saat peperangan.

Apakah saya akan seperti "Tim Dinamit" yang berhasil meraih obsesinya? Entahlah, yang pasti saya tidak akan pernah berhenti untuk berjuang. Mengenai hasilnya, serahkan kepada yang diatas. Lantaran, Allah itu Maha Mengetahui, bro.

#PostingUntukMenyemangatiDiriSendiri: Ditulis saat Hari Kebangkitan Nasional yang ke-104

10 Komentar

  1. Keren,,. heheheh
    ;) ;D
    Jujur ajja, aq sering jg kok d gitu_in. d Underdog_in. smpae skarang malah. mulai dari aQ TK, SD, SMP, SMA, smpe skarang aq kuliah. 18 tahun malah. (Loh_kok_aq_jd_curhat_sih.com)
    tpi kamu tuh hebat banget. bisa ga memperdulikan mereka semua.
    kalo aq ngga. biasa nya aq malah trbwa sma omongan mreka. aq jd nya down. jjur ajja. apa mungkin krna aq cwe kali ya. cwe kn prasaan nya halus???????

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sudah berkunjung dan berbagi cerita. haha, nggak tentu gitu juga kok, annie. saya sering galau sebab diperlakukan oleh teman-teman tidak seperti yang saya kehendaki. tapi, yah, ngapain saya pikirin? rugi waktu, kan? :)

      Hapus
  2. Sama mas bro, kitanya juga seorang underdog, tapi jangan sampai semuanya membuat kita menyerah. Yang perlu dilakukan tu adalah membuktikan, semangat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. senangnya bertemu sama yang senasib. salam kenal, salam hangat :D

      Hapus
  3. Nice article, keep posting, sob... (y) :)

    Semoga Sukses... aamiin...

    BalasHapus
  4. Sangat menginspirasi... (y) boleh sy kutip nggak yg kisah tim Denmark sj utk memberi motivasi ke ank sy yg mau ikut lomba tp selalu dimasukkan ke team yg underdog jg...

    BalasHapus
  5. Tulisannya bagus. Saya ada tulisan senada di http://www.anakadam.com/2016/08/the-rise-of-underdog/ Terimakasih.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama