Pengalaman Pertama Kali Saya Mengunjungi Borobudur

Saya belum pernah ke Borobudur.

Iya, pasti dalam kepala kamu,

"Ah, itu kan destinasi wisata mainstream sakendonesa, masa belom pernah? Norak lo! Ke mane aje???"

Ya, jujur, baru seminggu lalu saya ke sana. Dan saya tidak menyesal, kesan saya tidak seperti kelakuan mayoritas gen Z gen Z yang tidak tahu makna dan panjangnya penantian 31 tahun hidup sehingga baru sempat ke sini kemarin, yang di dalam hati mereka mungkin meracau, "Gitu doang ih anjir ya, mending juga ke... (sila isi dengan destinasi atau kegiatan favorit gen Z)"

Menuju Borobudur, kami berangkat dari penginapan di Jogja sekitar satu setengah jam, disuguhkan suasana jalanan yang menyenangkan, istilah jakselnya "fun to drive". Sawah kiri-kanan. Rumah dengan suhunan khas dan tepi atap bertanduk. Langit biru tanpa polusi. Seolah waktu berjalan lebih lambat, padahal tahu-tahu sudah lewat jam makan siang kami berjalan, mendaki, dan mengelilingi Borobudur.

Aroma dan suasana abad ke-8 dan ke-9 Masehi di era Dinasti Syailendra begitu kuat terhidu. Gak kebayang, di abad segitu pastinya belum ada teknologi yang namanya semen, mortar, bata hebel, dan truk molen. Bikinnya capek, bos! Tapi hasilnya sungguh bangunan gagah dan megah begini. Nyaris sempurna, sebelum hantaman bencana alam yang sempat menimbunnya ratusan tahun silam dan baru ditemukan kembali oleh londo Inggris di tahun 1800an.

Mungkin itulah kenapa kuli-kuli Jawa terkenal hasil kerjaannya rapi, kerjanya ulet, tekun, bisa diatur, dan jarang ngapusi kayak kuli-kuli suku kelahiran saya. Lah wong bikin candi aja mampu dan hasilnya no play-play, gak cuman satu pula, banyak di mana-mana. Apalagi cuman disuruh mendirikan kanopi, cukup merem doang bagi kuli-kuli Jawa mah meureun.

Dan kamu nanyeaa, kenapa candi di Jawa Barat atau Priangan dan sekitarnya kok dikit banget, kalo ditemukan pun cuma seuprit?

Selain karena candi-candi kerajaan Sunda umumnya dibangun dengan struktur kayu dan bambu yang tak setahan lama batu, mungkin juga lantaran prinsip hidup kami: "Ah, nu penting mah jadi heula, ke mun ancur mah nyieun deui wehlah, kajeun. Saheulaaneun."

Pesan moral: jadilah orang yang seulet-setekun orang Jawa, sekaligus sefluid orang Sunda.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama