Selain menyesap secangkir kopi espresso di kafe bernuansa arsitektur industrial, memandangi senja di stasiun kereta mungkin sudah menjadi ungkapan yang terlalu mainstream saat ini.
Namun ketika melihat kereta singgah di stasiun dengan dengusan mesin lokomotif, kemudian melintas perlahan meninggalkan menuju destinasi terakhir, terlebih saat senja pamerkan gradasi jingga keemasan ke merah jambu, saya selalu terkenang seseorang.
Dia sosok yang kadang saya takuti, benci dan segani, namun semuanya terbalut oleh selimpah inspirasi. Semasih kecil, sering terlintas kekhawatiran: apa jadinya kalau dia meninggalkan kami?
Kekhawatiran itu tak datang sebelum kemarin, pada suatu dini hari di hari yang baik, sosok terbaik itu pergi dengan tenang. Meninggalkan yang menyayangi, menanggalkan ilmu-ilmu yang kian deras mengalir, menunggalkan Yang Telah Menciptakan.
Saya berdiri sendirian di ujung peron stasiun. Menabah-nabah diri untuk melambai ke ekor kereta yang kian melamur beranjak, membawanya pergi menuju destinasi abadi.
*
Sejenak hening dari dunia yang bingar, kini saya baru sadar, satu-satunya yang pasti di dunia ini adalah kematian. Kematian, sampai kapan pun, bagi siapa pun, masihlah sewujud misteri. Saya terkadang takut, terkadang lupa, namun saya sadar, bagaimanapun ia pasti datang.
Dulu saya sempat membayangkan bagaimana kalau kau pergi. Tidak ada lagi role model yang dapat saya jiplak dan curi pengalamannya perihal bagaimana membesarkan kami; 5 anak-anak yang karakternya macam-macam dan lebih sering menyebalkan, hingga sekarang kami sudah hidup mandiri sendiri-sendiri.
Karena sudah hidup masing-masing, kami terkadang melupakanmu, termasuk saya. Untuk sekadar membalas pesan singkatmu saja saya memilih untuk melakukannya sepulang kerja sebab menurut saya, pekerjaan jauh lebih penting lantaran bakal menentukan masa depan saya. Padahal dulu, kau selalu memprioritaskan kami di urutan teratas di antara tumpukan kesibukan.
Apa yang sudah saya perbuat untuk membalas kebaikanmu sepanjang waktu pada kami berlima?
Hampir tak ada. Kami terlalu sibuk dengan dunia masing-masing, sampai-sampai kami lupa, bakal datang masanya kau meninggalkan kami menuju dunia baru berupa destinasi abadi.
Tak usah muluk-muluk dengan selendang cumlaude, bahkan saya tidak sempat menghadiahkan toga, yang sedari dulu ingin sekali saya lakukan untuk membuktikan bahwa suntikan impianmu begitu berarti dalam membentuk saya yang sekarang.
Hampir dua tahun belakangan, saya baru merasakan betapa susahnya menjadi seorang ayah. Tak semudah mengerjakan ujian di sekolah yang pasti sudah ada jawabannya, kehidupan berkeluarga sering kali tak datang bersama kisi-kisi jawaban; yang muncul tiap hari justru pertanyaan-pertanyaan baru.
Setiap hari pula saya menyumpah-nyumpah diri, mustahil saya bisa sepertimu. Ayah terbaik yang pernah ada di hati saya hanyalah kau.[]
Sumber gambar: Pexels.com