Meninggalkan Jejak di 4 Kota


Selama kamu hidup, pernah tinggal di kota mana saja?
Kalau ditanya pernah tinggal dalam artian menetap cukup lama di suatu tempat, saya pernah bermukim di empat kota. Bandung (Padalarang, Cimahi, dan sekitarnya), Bekasi (Cikarang, Cibitung), Cirebon (Gempol, Palimanan), dan tempat yang sudah saya tinggali selama 8 tahun belakangan yaitu Bogor (Ciluar, Karadenan).

Adakah kesamaan karakteristik kota atau jika tidak boleh dikategorikan sebagai kota, katakanlah daerah-daerah tempat saya pernah bermukim?

Betul sekali. Saya tidak pernah menetap di jantung kota, semisal Kota Bogor atau Kota Bandung. Saya selalu tinggal di pinggiran kota, atau beberapa tahun belakangan saya baru menemukan istilah yang lebih pas: suburban area.

Padalarang

 

 


Saya lahir di Rumah Sakit Dustira di Cimahi, belasan tahun tinggal bersama orangtua di Padalarang. Lokasi yang kurang tepat saya katakan jaraknya dekat dari Bandung, namun demikian, sepertinya 18 kilometer bukanlah jarak yang terlalu jauh untuk dituju.

Cukup sering saya membahas tentang Padalarang, namun saya rasa tidak baik sering-sering saya bahas sebab berpotensi memicu hipertensi saking gemesnya sama kebijakan pemerintahannya. Padalarang adalah sebuah daerah yang dulunya sekadar kecamatan, kini sudah menjadi semacam kota kecil yang berkembang lumayan pesat sekaligus lekat dengan kemacetan.

Walaupun saya lahir dan tumbuh besar di sana, saya tidak pernah cocok bekerja dan berkarya terlalu lama di Padalarang, Cimahi, bahkan di Kota Bandung. Entah mengapa, hawa dingin khas Priangan membikin saya malas mandi sebagai aktivitas pertama untuk memulai hari-hari yang seharusnya produktif. Bawaannya kepengin tidur terus.

Udara sejuk yang bagi orang lain adalah kenikmatan surgawi, bagi saya adalah biang-biang kemalasan. Saya merasa, otak ini tidak pernah mencapai kinerja optimum saat mencoba membanting tulang di Bandung.

Mungkin, lantaran tempo kehidupan warga Bandung yang santai dan cenderung pelan. Kurang cocok dengan karakter saya yang kerap suka menantang diri dalam hal apa pun. Ya, seintrovert-introvertnya saya, tetap butuh dukungan dari orang-orang sekitar yang punya value selingkaran untuk menyelesaikan tantangan-tantangan yang saya bikin sendiri.

Sulit sekali menjawab pertanyaan dari teman-teman tentang apa yang khas dari Padalarang?

Tidak ada yang khas, sama saja dengan daerah-daerah lain. Beberapa tahun belakangan sih orang luar kota lagi gandrung ke Stone Garden di Cipatat, tapi menurut saya masih banyak yang harus di-improve terutama infrastruktur termasuk akses menuju ke sana yang bisa lebih manusiawi, serta menambah fasilitas di sekitar destinasi yang butuh banyak peneduh.

Apa makanan khas dari Padalarang? Bolehlah saya katakan: Kupat Tahu Padalarang. Tetapi, jujur saja, cita rasanya cukup unik sehingga seperti halnya durian, ujung-ujungnya menjaring orang yang sangat suka dan sangat tidak suka.

Seiring waktu, saya mulai menjawab pertanyaan sulit itu dengan: Lanjut masuk ke tol dan exit Pasteur gate. Silakan untuk explore kenikmatan-kenikmatan duniawi di sana saja.

Cikarang

 

 


Saya pun sempat bermukim di Bekasi sekitar 2 tahunan, namun bukan di Kota Bekasi; melainkan di Cikarang-Cibitung, daerah kawasan para pekerja industri dan saya sendiri adalah salah seorang di antara mereka.

Cuaca Cikarang sangat menyengat pada pagi, siang, malam, tak mengenal waktu. Nyamuk terpaksa harus dijadikan teman, dan boleh percaya atau tidak, makin lama saya tinggal di sana, nyamuk-nyamuk yang pada awalnya getol mengisap darah saya, lama-lama berkurang dan nihil. Mungkin memang perlu adaptasi untuk menyesuaikan kulit sehingga menjadi setebal kulit badak.

Cikarang juga adalah suatu daerah yang membuat saya memecah rekor berat badan teringan hingga mencapai 76 kilogram, yang sampai detik ini belum pernah saya samakan alih-alih lampaui rekornya.

Bekasi, Tambun, Cibitung, Cikarang, hingga Karawang, menurut saya lebih cocok sebagai tempat mencari uang. Kurang cocok sebagai tempat tinggal dan membesarkan anak hingga menjalani hari-hari pensiun nanti.

Banyaknya kawasan industri mungkin juga mempengaruhi pola kehidupan penduduk di sana yang cenderung pragmatis. Cepat, gegas, simpel, gak peduli penampilan, mungkin merupakan value yang dianut oleh warga Cikarang yang sebagian besar adalah pendatang.

Apa makanan khas dari Cikarang? Ada sop janda yang belum pernah saya coba. Tapi secara umum, street food di sana enak-enak dan ngangenin; semacam rica-rica entog, dan bebek bumbu hitam ala Madura.

Santapan yang paling saya kenang sampai sekarang adalah gado-gado yang mangkal tiap pagi di samping Koramil jelang mulut gerbang Kompleks Taman Aster; langganan saya sarapan sepulang kerja shift tiga.

Palimanan

 

 


Kota paling sepi yang pernah saya mukimi. Untungnya cuma empat bulan saja saya tinggal di sana saat sedang menyusun skripsi pada pertengahan 2015 silam. Saya baru sadar, orang introvert itu bisa juga kesepian di sebuah tempat yang memang jauh dari keramaian.

Palimanan identik dengan Jalan Pantura yang lebar banget; menggoda bahkan menyuruh siapa pun untuk memacu kendaraannya dalam kecepatan penuh. Meski relatif sepi, jujur saya susah menyeberang di sekitar Palimanan, Gempol dan sekitarnya karena truk, bus, microbus seperti enggan untuk jalan pelan-pelan.

Dengan kebudayaan yang masih kental dan relatif masih belum terkontaminasi budaya dari daerah lain, saya pikir Palimanan, Kuningan, Cirebon adalah tempat paling tepat untuk menghabiskan hari tua pasca pensiun.

Suasana daerah yang tenang dan tempo kehidupan yang cenderung lambat, sangat suportif untuk mendekatkan diri kembali kepada Sang Pencipta melalui ciptaan-Nya berupa bentang alam yang indah serta cuaca yang menenteramkan hati dan pikiran.

Karadenan

 

 


Bagian dari Kabupaten Bogor yang sampai sekarang adalah tempat saya bermukim, bekerja, berkeluarga, dan sepertinya bukan hal yang tidak mungkin saya bersedia untuk hidup di sini sampai menjelang hari tua nanti.

Seperti halnya Kota Bogor yang luas areanya tidak terlalu besar dan hematnya fasilitas publik sehingga segelintir orang Jakarta mengatakannya sebagai kota yang nanggung, mungkin justru nanggungnya itu yang bikin kota ini pas untuk ditinggali. Sebab saya rasa, Jakarta sudah terlalu riuh, Depok sama riuh dan panasnya dengan Jakarta, Cibubur terlalu macet.

Mencapai kota Bogor cukup ditempuh setengah jam saja, 20 menit bila lalu lintas sedang lengang. 15 menit untuk masuk ke kawasan pemerintahan di Pemda Bogor. Dan 45 menit sampai tempat kerja, adalah alasan yang membuat saya betah untuk menetap berlama-lama di sini. Selain itu atas dasar apa?

Lihat saja gambar ilustrasi di atas: saya terpaksa pakai gambar stadion Pakansari. Karena hasil pencarian gambar di Google dengan kata kunci Karadenan, nyaris semuanya adalah foto-foto rumah dari iklan perumahan baru di Karadenan maupun rumah dijual di lokasi strategis dan dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bogor.

Kota Mana yang Paling Nyaman?


Empat kota yang pernah saya tinggalkan jejaknya di atas punya tingkat kenyamanannya sendiri-sendiri, tergantung apa yang sedang saya hadapi pada setiap fase-fase hidup tertentu, dan saya tidak pernah menyesal pernah tinggal di kota-kota atau suburban area di atas.

Menurutmu, di mana kota yang paling nyaman sebagai tempat bekerja dan berkeluarga?[]

Sumber foto: Pexels.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama