Kenapa menulis blog?
Kalau dipikir-pikir lagi, awalnya saya menulis di blog untuk membuktikan bahwa saya punya hobi yang lain daripada teman-teman saya. Waktu itu saya selalu kalah kalau main winning eleven di rental PS2, selalu dimaki-maki saat jadi pemain belakang yang gagap di lapangan futsal, dan gak punya cukup uang untuk punya mobil BMW macam Mas Boy lantas ikutan klub mobil gahul di Bandung.
Blog ini pertama kali saya buat pada 2009. Waktu itu baru mau PKL di Coca-Cola Cibitung, dan di sela waktu yang sangat-sangat luang dalam menunggu keberangkatan ke sana (pendek kata: nganggur), saya iseng-iseng ke warnet untuk sengaja bikin blog pertama kalinya. Saya masih ingat satu kalimat yang menjadi postingan pertama blog ini: "Apa kabar Indonesia?"
Bagaimana, terdengar sangat nasionalis, bukan? Pas saya baca sekarang, kok jijay ya, ada anak sekolah aneh macam saya.
Bagaimana, terdengar sangat nasionalis, bukan? Pas saya baca sekarang, kok jijay ya, ada anak sekolah aneh macam saya.
Sama sekali gak kepikiran bakal belajar menulis dengan baik sesuai kaidah Uda Ivan Lanin. Buku fiksi yang saya baca baru satu-dua, satu-satunya buku yang bisa dibanggain selesai dibaca kayaknya cuma Bukan Pasar Malam-nya Pramoedya Ananta Toer. Jarang baca, gimana ceritanya kepikiran untuk jago menulis.
Boro-boro bisa meramal bahwa ternyata blogger bisa jadi Influencer yang menjadi Key Opinion Leader seperti sekarang. Andai saya bisa memutar waktu ke masa itu di mana waktu luang sangat-sangat lapang, mungkin saya bakal rajin curhat di blog apa adanya tanpa tekanan. Tanpa ada perasaan untuk minta dipuji, diapresiasi dalam bentuk komentar, like, share, hingga bentuk materi.
Karena setelah saya rasakan sekarang, sesampai di rumah bada magrib sepulang kerja, cukup sulit buat mencuri-curi waktu untuk sekadar menulis, dan tentu saja untuk membaca buku secara utuh halaman demi halaman, bukan cuma sepotong artikel di internet; agar tulisan saya gak kering dan perspektif makin meluas.
Boro-boro bisa meramal bahwa ternyata blogger bisa jadi Influencer yang menjadi Key Opinion Leader seperti sekarang. Andai saya bisa memutar waktu ke masa itu di mana waktu luang sangat-sangat lapang, mungkin saya bakal rajin curhat di blog apa adanya tanpa tekanan. Tanpa ada perasaan untuk minta dipuji, diapresiasi dalam bentuk komentar, like, share, hingga bentuk materi.
Karena setelah saya rasakan sekarang, sesampai di rumah bada magrib sepulang kerja, cukup sulit buat mencuri-curi waktu untuk sekadar menulis, dan tentu saja untuk membaca buku secara utuh halaman demi halaman, bukan cuma sepotong artikel di internet; agar tulisan saya gak kering dan perspektif makin meluas.
Kalaupun ditarik benang merah, mungkin, alasan kenapa menulis blog adalah karena saya suka. Udah gitu aja. Tapi dalam proses perkembangannya banyak saya temui hal-hal yang membuat kesukaan saya ini menjadi semacam tekanan. Seperti menulis itu harus bermanfaat, menulis itu harus berbobot, gak boleh menulis konten sampah, hingga tulisan yang kita hasilkan itu harus viral dan keharusan-keharusan lain.
Padahal setelah saya renungkan lagi, semua itu: bagus, berkualitas, berbobot, viral; adalah hal relatif yang bisa berbeda di benak masing-masing orang. Namun, jika sebuah tulisan dituangkan dari hati yang tulus dan kemudian disebar dengan niat berbagi, saya yakin akan sampai ke hati siapa pun pembacanya.
Kalau pertanyaan ini dilayangkan sekarang, kenapa menulis blog?
Karena saya ingin belajar untuk melepaskan. Belajar untuk mengikhlaskan.[]
Sumber foto: Pexels.com
Tags:
30daychallenge2019