Idealnya, kita dapat memproyeksikan akan menjadi apa sejak memilih sekolah, terutama Sekolah Menengah Atas. Kalau mau jadi tenaga ahli atau expert yang menggeluti satu bidang spesifik, masuklah ke SMK Teknologi, Analis Kimia, Pariwisata dan sebagainya. Namun bila kamu kelak ingin menjadi seorang generalis yang nantinya memimpin sebuah perusahaan sebagai seorang Manajer, pilihlah jalur SMA untuk kemudian melanjutkan kuliah S1.
Namun itu idealnya. Kenyataan yang terjadi, saya yang dahulu anak STM, ternyata sekarang bekerja di lingkup administrasi manajemen. Di negara ini, saya rasa, walau sudah diproyeksikan dengan matang sejak dini, tidak ada yang tahu bakal seperti apa masa depan kita; apakah bakal tetap di jalur yang kita pilih, atau sama sekali berseberangan. Sebab menurut saya, karakteristik negara berkembang memang dinamis, apa yang profitable hari ini belum tentu sama tiga tahun lagi. Apalagi pada era Disrupsi yang benar-benar mengudak-udak peta bisnis di hampir setiap sektor.
Impian-Impian yang Datang Bergantian
Kalau saya kenang kembali, pekerjaan impian saya berubah-ubah pada fase-fase tertentu. Semasih SMP saya bercita-cita ingin menjadi ilmuwan karena terinspirasi Pak Yohanes Surya yang rutin mengisi kolom Sains Populer di harian Kompas. Menurut saya keren sekali menjadi sosok seperti Pak Yohanes yang serba tahu asal-usul dan sebab akibat sesuatu bisa begini, kok bisa begitu dan piawai memaparkan penjelasannya dengan enak dan mudah dimengerti orang awam seperti saya.
Begitu masuk jurusan Instrumentasi di SMK Teknologi, pekerjaan impian saya berubah. Kepengin "kerja di minyak": kerja 2 minggu di lepas pantai kemudian off alias libur 2 minggu, dan siklus unik ini begitu menghantui benak saya yang pengin kerja selayaknya pelesiran, hari liburnya sekaligus dua minggu pula.
Privilege paling menggiurkan dari bekerja di perusahaan oil & gas tentu saja perkara uang. Gaji di perusahaan oil & gas untuk lulusan STM saja, waktu masih sekolah dulu pada tahun 2006-2009 saya sering mendengar dari alumni-alumni Instrumentasi yang udah kerja di oil & gas, minimal dapet lah 15juta sebulan. Itu gaji di perusahaan oil & gas selain Total E&P atau Pertamina yang tentu saja nominalnya bikin air liur lebih membanjir.
Privilege paling menggiurkan dari bekerja di perusahaan oil & gas tentu saja perkara uang. Gaji di perusahaan oil & gas untuk lulusan STM saja, waktu masih sekolah dulu pada tahun 2006-2009 saya sering mendengar dari alumni-alumni Instrumentasi yang udah kerja di oil & gas, minimal dapet lah 15juta sebulan. Itu gaji di perusahaan oil & gas selain Total E&P atau Pertamina yang tentu saja nominalnya bikin air liur lebih membanjir.
Namun setelah memasuki dunia kerja di pabrik manufaktur, saya malah berganti haluan untuk memilih jalur akademisi. Mengejar S1, S2, bahkan mungkin S3. Terbayang, menjadi seorang Dosen sekaligus Peneliti adalah pekerjaan yang keren bagi saya waktu itu. Sembari terus berutinitas sebagai Teknisi Instrumentasi, mulailah saya melayangkan lamaran berkategori Internship, Ikatan Dinas, dan program-program pendidikan lain baik dari swasta maupun pemerintah yang dirasa sesuai impian saya saat itu.
Baru beberapa lamaran dilayangkan selama beberapa bulan, saya dipanggil dan diterima oleh program beasiswa yang diselenggarakan oleh perusahaan yang kelak menjadi tempat saya bekerja sampai saat ini. Jika saya ceritakan lebih detail, proses pendidikan di sana lumayan berdarah-darah, cenderung terjal, naik turun, bahkan sempat terjun bebas. Namun mustahil kita berjalan mundur dari perjudian, mau tidak mau yang dapat saya lakukan adalah terus berjalan.
Baru beberapa lamaran dilayangkan selama beberapa bulan, saya dipanggil dan diterima oleh program beasiswa yang diselenggarakan oleh perusahaan yang kelak menjadi tempat saya bekerja sampai saat ini. Jika saya ceritakan lebih detail, proses pendidikan di sana lumayan berdarah-darah, cenderung terjal, naik turun, bahkan sempat terjun bebas. Namun mustahil kita berjalan mundur dari perjudian, mau tidak mau yang dapat saya lakukan adalah terus berjalan.
Terus Berjalan, Mulai Mengamati Sesuatu 360 Derajat
Usai masa program pendidikan itu mustahil saya dapat meneruskan impian saya ke jenjang S2 & S3, karena saya pun gak pinter-pinter amat di bidang kuliah yang saya jalani, roda usia yang terus bergulir dengan kejam, dan belum punya ijazah resmi.
Jelang kuartal 2 tahun 2016 saya sempat bekerja sebagai data entry sekaligus data analyst di sebuah konsultan pajak di Bandung, dan awal 2017 hingga sekarang saya bekerja sebagai Officer di salah satu bagian perusahaan yang mengelola Performance Management. Jika dikaitkan dengan pekerjaan yang pernah saya impikan dulu-dulu, gak pernah kepikiran berkecimpung di ranah ini yang sangat lekat dengan Industrial Engineering, Business Development, dan sedikit nyerempet bidang Finance.
Jelang kuartal 2 tahun 2016 saya sempat bekerja sebagai data entry sekaligus data analyst di sebuah konsultan pajak di Bandung, dan awal 2017 hingga sekarang saya bekerja sebagai Officer di salah satu bagian perusahaan yang mengelola Performance Management. Jika dikaitkan dengan pekerjaan yang pernah saya impikan dulu-dulu, gak pernah kepikiran berkecimpung di ranah ini yang sangat lekat dengan Industrial Engineering, Business Development, dan sedikit nyerempet bidang Finance.
Namun setelah saya jalani, ternyata asyik juga bisa mengamati sesuatu bekerja dari helicopter view, dan belajar untuk tidak mudah mengambil kesimpulan sebelum selesai menganalisis gejala-gejala sampai benar-benar mentok hingga akar-akarnya.
Karena pekerjaan sehari-hari yang lekat dengan mengamati gejala-gejala di ranah bisnis, pekerjaan impian yang sempat mengambang dalam pikiran awal 2018 ini adalah bekerja di konsultan manajemen terkemuka semacam McKinsey, BCG, atau Accenture.
Setelah saya renung-renung kembali, saya mesti sadar diri. Saya sudah tidak muda lagi, lazimnya yang masuk konsultan keren barusan adalah fresh graduate, minimal lulusan dari universitas yang namanya adalah nama negara ini, pola pikir taktis, dan tentu syarat mutlak yang saya tidak punya: ijazah resmi. Saya tidak akan mungkin lolos bahkan pada tahap penyortiran dokumen di meja HR mereka.
Setelah saya renung-renung kembali, saya mesti sadar diri. Saya sudah tidak muda lagi, lazimnya yang masuk konsultan keren barusan adalah fresh graduate, minimal lulusan dari universitas yang namanya adalah nama negara ini, pola pikir taktis, dan tentu syarat mutlak yang saya tidak punya: ijazah resmi. Saya tidak akan mungkin lolos bahkan pada tahap penyortiran dokumen di meja HR mereka.
Menjelang 2019, sepertinya pekerjaan impian saya perlahan menggeliat lagi. Saya masih tertarik di bidang Performance Management, namun suatu waktu saya ingin mengaplikasikan ilmu-ilmu strategis yang baru secuil ini ke dalam unit bisnis kecil yang mungkin saya bikin sendiri, di ranah yang saya sukai.
Namanya juga pekerjaan impian. Saya yakin setelah tahun depan berjalan, bakal ada pekerjaan-pekerjaan impian lain yang bakal menggoda saya sehingga saya terus mencari-cari pekerjaan impian yang benar-benar akan menjadi kenyataan.[]
Sumber foto: Pexels
Tags:
lifehack