Cerminan suatu daerah, saya rasa, sulit kita jumpai hanya dengan mengunjungi destinasi wisata setempat. Mau instagramable sampai orang-orang rela berjubel-jubel, tempat wisata tetaplah tempat wisata; tempat orang melarikan diri. Melarikan diri dari penat hari kerja yang melelahkan sekaligus membosankan. Melarikan diri dari udara industri. Bahkan melarikan diri dari diri sendiri.
Di mana tempat yang paling jujur melukiskan wajah sebuah daerah?
Cukup dengan pergi ke pasar setempat. Yang tempatnya mesti dilalui dengan usaha umpel-umpelan, becek-becekan, diliputi hati was-was takut kecopetan.
Pasar adalah tempat warga berkumpul dari beragam etnis, agama, ideologi politik. Penganut mazhab apa pun, cebongers atau kampreters, setiap hari berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar untuk dimasak sebagai penghuni tudung saji di meja makan masing-masing.
Dengan macam tujuan dan kepentingan, pasar merefleksikan perilaku warga yang kemudian mewujud kultur setempat. Mulai dari cara mereka melayani calon pembeli, ragam dagangan yang dijajakan, dan bagaimana mereka melakukan kegiatan jual-beli yang lazim pula ditemui transaksi tawar-menawar.
Dengan macam tujuan dan kepentingan, pasar merefleksikan perilaku warga yang kemudian mewujud kultur setempat. Mulai dari cara mereka melayani calon pembeli, ragam dagangan yang dijajakan, dan bagaimana mereka melakukan kegiatan jual-beli yang lazim pula ditemui transaksi tawar-menawar.
Saya tumbuh di kampung yang berlokasi dekat dengan pasar. Teman sekolah dasar saya hampir separuhnya memiliki orangtua yang berprofesi sebagai pedagang di pasar itu. Pedagang jengkol, pedagang pakaian dalam, pedagang buah, pedagang kain meteran, kuli panggul, hingga preman pasar adalah profesi orangtua teman sekolah saya.
Jika boleh jujur, dulu saya adalah anak yang paling malas diajak ibu atau kakak saya berbelanja ke pasar. Macet, berjubel, becek, pengap, dan kaki pegal lantaran mereka suka lama belanjanya muter-muter mencari yang paling murah, keluh saya kala itu. Sehingga saya tak terlalu mengenal pasar di dekat rumah saya sendiri di Padalarang.
Saya justru menemukan perspektif tentang ajaibnya pasar saat tidak lagi tinggal di sana. Baru saya sadari, wajah nyata suatu daerah terhampar apik pada bingkai-bingkai galeri yang dinamakan pasar. Mulai dari metode marketing luar biasa dari tukang obat, wajah berminyak ibu-ibu belum mandi, rengekan anak kecil minta dibelikan perahu klotok dan burung pipit warna-warni. Dan pemandangan copet yang tak lelah beraksi menguntit ibu haji bergelimang emas.
Aroma pasar, di mana pun, sepertinya sama saja. Khas, abadi membekas di baju yang kita kenakan sepulangnya dari pasar. Bau yang bermuasal dari ruapan bau ribuan dagangan yang tersedia di sana seperti ikan, sayur dan buah busuk, sisa makanan yang dibuang dari piring pelanggan penjual masakan gerobak, hingga pesing air kencing preman di pojok toko yang tutup.
Tidak ada yang berhasil berpura-pura di pasar. Yang tampak berusaha pura-pura pun, seperti ibu-ibu yang tubuhnya keberatan oleh emas, tetap saja mulutnya tidak akan malu menawar jengkol hingga seperlima harga normal, melengos pergi sejenak kemudian menengok kembali berharap dipanggil pedagang dan penawarannya dikabul.
Bila melihat perilaku generasi sekarang yang lebih sering berbelanja online melalui gawai dalam genggaman, apakah Instagram pantas dinamakan sebagai pasar masa depan? Bukankah terlalu banyak orang yang berpura-pura di sana?
Bukankah pasar seharusnya mencerminkan wajah telanjang sebuah komunitas? Atau memang kecanggihan teknologi malah membuat kita harus semakin berpura-pura untuk tampil selalu sempurna?
Bukankah pasar seharusnya mencerminkan wajah telanjang sebuah komunitas? Atau memang kecanggihan teknologi malah membuat kita harus semakin berpura-pura untuk tampil selalu sempurna?
Mungkin, jika saya mengajak anak saya ke pasar nanti buat belanja daging dan sayur buat dimasak mamanya, dia bakalan bingung.
"Ngapain ke pasar? Kan tinggal order di Instagram, Pah."
"Di sana gak bisa ditawar, Kal. Harga pas."
"Ini ada cashback kalau pake *O-Pay."
"Di Instagram cuman bagus gambarnya doang. Aslinya belum tentu seger, belum tentu enak."
"Lah di pasar kita bisa ditipu dan dicopet. Di Instagram kita bisa lihat spesifikasinya. Kalau gak sesuai ekspektasi, tinggal kita komplain dan viralkan."
"Di Instagram gak ada becekan. Kita gak bisa melihat kehidupan."
"Papah aneh."
Mungkin hanya orang aneh yang masih pergi ke pasar nanti.
Apakah nanti kalimat "Ibu pergi ke pasar" dan "Ayah berangkat ke kantor" masih akan diajarkan guru di sekolah?
"Iiibuu beelllanjaaa di Instaaagrammm."
"Paapaa meetiiingg diii coworkiing spacee."
"Seeedaaang aaapaaakaah Lembayuunng Senjaaa?"[]
Pasarnya jauh pah, yang deket pasar swalayan :))
BalasHapusbeli beras pun di pasar swalayan mini itu ya hmm...
Hapus