Si Kaya yang Akan Terus Berjaya


Otak saya gak pernah berhenti memutar pertanyaan, mengapa saya tidak terlahir menjadi kaya? Karena menurut saya jadi orang kaya itu enak. Makan enak, sekolah di tempat bagus tinggal belajar gak perlu mikir biaya, pengin beli kebutuhan sekolah atau perangkat hiburan tinggal beli, mau kursus bahasa atau musik pun ya daftar aja, weekend tinggal blas jalan-jalan gak perlu mikirin jemuran kehujanan. Kok enak banget jadi orang kaya?

Pemikiran saya akan enaknya orang kaya itu sempat berubah saat prestasi saya di sekolah lumayan, sementara orang kaya justru lebih sering dipanggil guru BK karena kerjaannya mabal selama sebulan. Waktu itu saya bersyukur terlahir bukan jadi orang kaya karena bisa menjalani hidup dengan normal penuh kesyukuran. Tidak seperti mereka, orang-orang kaya yang manja, yang kerjaannya cuma ngabisin duit dan buang-buang masa muda, pikir saya.

Memasuki periode bekerja, saya mulai kembali mempertanyakan kenapa si kaya kembali berjaya? Teman kaya terutama yang berorangtua pengusaha mudah sekali untuk memperoleh pekerjaan. Kalaupun gak kerja, mereka seolah gampang banget buat membuka usaha di lokasi-lokasi strategis di kota Bandung, yang tentu saja harga jual atau sewa lokasi di sana mahalnya minta ampun. Pokoknya, sesengsara-sengsaranya mereka, tetap saja mereka masih mengendarai Kijang Innova. Saya yang udah berbuat baik sesuai citra PPKn, bekerja dengan baik dalam lima tahun masa kerja pun sepertinya berat ya buat ngambil cicilan Avanza.

Kemudian saya baru sadar, orang yang terlahir kaya adalah orang yang beruntung. Beruntung karena mereka cukup melakukan usaha seperempat kali saja dibandingkan orang rata-rata semacam saya untuk mendapatkan sesuatu. Koneksi orangtua, atau bahkan teman-teman mereka sendiri yang sama-sama mapan adalah lumbung uang.

Kesempatan! Ya, kesempatan adalah aset mereka paling berharga yang mereka miliki sejak lahir, mungkin DNA mereka sudah mengandung itu yang tidak dipunyai orang macam saya yang mesti melakukan usaha keras untuk memetik kesempatan, bahkan untuk sekadar mengetahui keberadaan kesempatan itu pun butuh mengerahkan usaha berlipat-lipat.

Bila mengacu asumsi saya tadi: orang kaya cukup melakukan usaha seperempat kali orang rata-rata, bagaimana jadinya jika mereka melakoni usaha hidup satu kali kemampuan mereka atau malahan beyond limit? Ya, kita bisa melihat sekaligus merasakan hasilnya melalui aplikasi Go-Jek dari Nadiem Makarim dan Operating System Windows yang sudah seumur hidup Anda bajak sampai saat ini.

Keabadian kejayaan orang kaya linear dengan pola pikir mereka yang sangat kompatibel dengan dunia kerja maupun dunia usaha sejak mereka lahir. Mungkin nilai-nilai yang diwejangkan oleh orangtua mereka adalah bagaimana membuat mereka siap untuk hidup, bukan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk bertahan hidup.

Simpelnya, orang kaya gak usah mikir buat sekolah di sekolah bagus di negara mana pun. Referensi mereka pun pasti bagus-bagus karena bebas beli buku-buku bagus, ngambil kursus-kursus bagus, nonton film-film bagus, dengerin musik-musik bagus yang katanya mencerdaskan stimulus otak, bahkan tayangan di televisi mereka bervariatif karena mampu berlangganan tv kabel. Jadi gimana caranya bikin mereka bodoh jika kesempatan untuk cerdas melimpah segitunya?

Mereka cerdas karena otak mereka tidak dibiasakan untuk mikirin cara ngirit uang bulanan dan biaya hidup lain yang makin mahal, tapi terus kritis memandang gejala-gejala baru apa yang enggak sreg sama logika mereka, sehingga bukan hal yang heran jika inovasi di segala sektor, kebanyakan lahir dari mereka-mereka yang berlatarbelakang ekonomi mapan.

Mulai sekarang, sebaiknya tidak usah iri menyaksikan rekan kerja atau siapa pun yang latar belakang ekonominya oke, kariernya mudah melesat ke level manajerial atau mungkin masuk jajaran stakeholder. Karena mereka mudah klop untuk berkomunikasi dengan orang-orang kelas atas, memanfaatkan kekayaan referensi yang sejak kecil banyak dituang ke dalam otak mereka. Kasarnya, mereka tidak perlu googling artikel "How to" seperti saya saat hendak melakukan reservasi hotel atau bernegosiasi dengan supplier untuk mendapatkan harga paling murah. Dan mereka tidak sungkan untuk menyuruh dan meminta siapa saja yang merupakan rutinitas sehari-hari di korporasi tanpa muncul perasaan tidak enak hati.

Fakta ini memang kejam, tapi demikianlah. Sudah lelah mengejar yang fana? Pelan-pelan saja, karena orang kaya santai-santai aja menghadapi hidup ini, dan mereka akan terus jaya. Kita?[]

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama