Saya rasa, tak seorang pun yang bersedia menua. Semua ingin berada pada masa sekarang yang dirasa paling nyaman, sudah, begini sajalah, tidak usah ada perubahan lagi, apalagi disrupsi. Nyaman bisa berarti sedikit penyakit, tidak ada masalah-masalah aneh-aneh; yang setelah dipikir-pikir, padahal, kita merasa tidak berbuat aneh-aneh yang pantas dikonversi sebagai karma di kemudian hari.
Lima tahun lalu, saya baru menyadari tentang hal ini, saat acara buka bersama. Sepulang berbuka, beberapa teman termasuk saya menghabiskan malam di warung kopi, susu, dan kawan-kawannya, sebab kepalang tanggung; mumpung ketemu.
Saya melihat dua orang teman sedang bertukar file. Saya hampiri mereka, menanyakan sedang saling kirim film atau musik apa? Kalau ada yang bagus, saya pun kepengin.
Mereka langsung menanyakan apakah hape saya Samsung? Bukan. Hape Cina murah. Memang kenapa? Rupanya mereka sedang berkirim file menggunakan aplikasi sharing khusus Samsung saja. Merek hape lain tidak bisa. Saya jadi rada kesel juga, kenapa berkirim file saja mesti satu merek? Bukankah ada bluetooth?
Lebih mudah, lebih cepat, lebih aman. Ya, demikian, pengakuan mereka sudah seperti ekspektasi netizen terhadap transportasi publik saja.
Ya sudah, karena kepalang dongkol, saya urung meminta film dan musik baru. Cuma mengamati gelagat mereka yang terkesan menganggap hape sebagai Tuhan.
Pada kesempatan sama, saya mengaku bahwa sudah capek mengikuti perkembangan teknologi, khususnya gadget. Mengapa? Bukankah kita masih muda? Mereka heran. Karena belum saya sempat khatam belajar sistem baru, beberapa minggu saja sudah keluar yang baru. Belajar yang baru lagi, tiba-tiba keluar yang lebih canggih dan jauh lebih efisien. Pada akhirnya, saya jadi belajar sepermukaan-sepermukaan saja.
Sampai kapan kita sanggup mengikuti deras (saya belum menemukan padanan yang bermakna lebih gila dari "deras") arus teknologi?
Tidak ada yang tahu. Apakah nasib millenial yang kelak menua, akan sama seperti generasi baby boomers yang dikenal sangat gagap terhadap teknologi sejak kemunculan ponsel pintar yang mau tidak mau memaksa mereka mengubah perilaku hidup secara keseluruhan?
Sebab yang mereka pelajari dan pahami betul, terutama dari nenek moyang adalah bagaimana strategi untuk bertahan hidup, kemudian setelah lingkungan mereka kondusif dari ancaman perang, mereka tentu tidak mau kembali hidup dalam status quo, sehingga stabilitas adalah destinasi paling populer bagi mereka. Bukan sekadar renjana, atau mungkin mereka sampai meninggal pun tidak tahu apa itu renjana. Yang mereka pahami betul adalah rencana, rencana dan rencana.
Akankah tiba waktunya nanti millenial berselisih dengan centennials, sebagaimana halnya generasi X yang berontak terhadap tuntutan stabilitas dari ayah-ibu mereka, yakni si baby boomers, sehingga saat itu gen-X ramai-ramai memilih kebebasan berpikir sebagai barang mewah?
Lima tahun berlalu dari saat saya mendaulat diri lelah dengan perkembangan teknologi. Zaman semakin cepat, mudah, murah. Apakah sudah ada catatan terkait masa kedaluarsa dari kegiatan bernama belajar? Apakah belajar sungguh-sungguh mengawetkan usia?[]