Ketika sampai di suatu kota atau daerah yang belum pernah dikunjungi sebelumnya, ekspektasi, mau serendah apa pun, pasti selalu muncul meskipun tiap hari rajin meditasi. Apakah kota itu ada Indomaretnya? Apakah makanannya bikin mencret? Bagaimana kalau tidak ada Grab, kendaraan yang semula diandalkan dalam itinerary saya dan istri? Sampai pada akhirnya kami memutuskan menyewa motor, keputusan yang kami syukuri sampai sekarang.
Seperti halnya bertemu orang baru, mencicipi makanan baru, berada di daerah baru pun butuh keberanian. Meninggalkan rumah yang menurut saya adalah kapsul paling nyaman untuk menghabiskan hari libur. Keberanian untuk mencari tahu perilaku bagaimana yang perlu saya hindari di sana, butuh pakaian berjenis-berbahan sesuai iklim setempat, dan perlukah bawa obat mencret untuk mengantisipasi perut yang menolak selera makanan yang tersebar di sana?
Tampaknya perlu rencana yang matang untuk menciptakan perjalanan menyenangkan. Meskipun sudah semaksimal mungkin (jika Anda masih mempermasalahkan penggunaan kata maksimal atau optimalkah yang benar, sudahlah, pudarnya kecantikan Roro Fitria jauh lebih penting) istri berusaha memetakan perjalanan, tetap saja ada hal-hal yang perlu intuisi tingkat, tidak, saya tidak akan mengatakan tingkat tinggi, biasa saja. Perjalanan diciptakan mungkin untuk mengasah permakluman.
Mulai dari malam perdana kami di sana yang dilebati hujan dari pukul lima sore sampai pukul sepuluh malam, ya, mustahil kami bisa ke mana-mana saat itu. Padahal pada siang harinya saya sudah mengecek ramalan cuaca online, dan dia memampang kondisi cuaca berawan pada sore hingga malam hari di Banyuwangi. Nyatanya, di dalam kamar yang pengap, kami cuma bisa gigit jari.
Kemudian, kamar kami di guest house lebih tepat disebut kos-kosan; tanpa jendela, tanpa kamar mandi dalam, plus ibu-ibu kesepian yang mungkin butuh sekali teman ngobrol sehingga kami dia anggap sebagai saudaranya meskipun kami sesungguhnya lebih ingin menikmati suasana berdua saja. Kamar mandi berada di luar kamar, dan berkatnya, saya lumayan jarang mandi malam karena jarak dari kamar ke kamar mandi cukup jauh, mesti melewati lorong yang di sebelah kanannya terdiri dari beberapa kamar penginapan lain yang belum tentu berpenghuni, dan lukisan-lukisan. Dan lampu salah satu kamar mandi yang padam pada hari kedua. Tanpa perlu mengatakan bahwa saya takut ke kamar mandi sendirian malam-malam, sudah mengerti, kan?
Selebihnya lumayan. Kami bisa tidur. Tidak seperti malam yang panjang di kereta ekonomi.[]