Jatuh, Bangun, Coba Lagi


Siapa yang ragukan kemajuan teknologi saat ini? Zaman now rasanya agak naif apabila melakukan aktivitas tanpa bersinggungan dengan teknologi. Bayar listrik, ngapain harus mengantre di loket pembayaran bersirkulasi asap rokok, dan sepulang bayar listrik kita selalu curiga kalau-kalau si petugas loket merekayasa data lantaran ongkos listrik bulan tersebut tiba-tiba mahal.

Sekarang, seribet-ribetnya membayar listrik adalah cukup melipir ke gerai minimarket atau ATM, memanfaatkan jaringan yang terhubung dengan pusat data milik PLN, kapan saja, di mana saja. Cara yang sama dapat dilakukan saat mengisi pulsa atau paket data internet. Malahan sekarang, beli paket data internet bisa beli di toko online melalui jaringan internet.

Urusan perut pun, saat datang waktu makan, kita tak usah memasak sendiri, bahkan tidak perlu panas-panasan beli makanan ke luar. Cukup aktifkan GPS di hape kita (atau malah setelan GPS kamu selalu disetel always on), buka aplikasi kurir makanan yang secara otomatis melacak destinasi pemuas lapar terdekat dari lokasi kita leyeh-leyeh kelaparan.

Andai ada penyedia makanan bermenu sama beberapa, kita bebas membandingkan dan memilih yang menurut kita paling sesuai dalam segi rasa, harga, penampilan. Kini pelanggan betul-betul diperlakukan sebagai raja: Raja Paling Malas Sedunia.

Pernah kepikiran perilaku ini bakal menimbulkan efek samping beberapa tahun lagi?

Kerja keras mungkin nanti dianggap sebagai lelucon; sebuah kegiatan tidak efektif yang sia-sia. Menghafal adalah keahlian yang dianggap bodoh, sebab apabila lupa sesuatu hal, tinggal me-recall melalui mesin pencari. Anak-anak zaman future sontak kebingungan ketika mengetahui bahwa menunggu adalah sebuah kegiatan. "Ngapain nunggu? Yang lebih cepet banyak!" katanya.

Apakah perilaku gak mau nunggu lama ini yang bikin penemuan-penemuan terkini impact-nya tidak sesignifikan era Renaissance atau revolusi industri? Era ketika seorang saintis melakukan riset, benaran fokus sama yang ia teliti. Mereka fokus sama kemampuan dirinya sendiri sebab referensi belum terlalu melimpah, dan cara memperolehnya pun ribet, gak bisa di-googling atau menonton tutorialnya di Youtube. Eksplorasi kemampuan diri mereka lakukan sepenuh hati. Maka saya gak heran menyaksikan penemuan pada era itu dibilang sebagai karya orisinal yang belum pernah ada.

Cara kerja mereka simpel. Kalau salah, perbaiki, coba lagi. Kalau jatuh, bangun lagi, coba lagi. Sampai pada satu titik progres penemuan mereka berhasil setelah ribuan kali mencoba. Taktis. Gak pake ribet.

Keberlimpahan informasi dan referensi yang makin silau lumayan bikin kita insecure sama kemampuan diri sendiri. Belum-belum dilakukan, baru dalam bentuk rencana, sudah dibantah dan didaulat sebagai sesuatu yang ngaco, mustahil dilanjutkan. Seolah-olah, yang menurut teori begitu, maka semuanya harus begitu, hasilnya mesti begitu.

Ya, buku memang jendela dunia. Tapi dunianya siapa? Dunia penulisnya? Belum tentu mewakili sudut pandang penduduk dunia secara keseluruhan. Sisi lain dari sudut dunia itulah justru yang perlu untuk digali, bukan cuma terus-menerus menggali lubang yang sudah telanjur dalam, padahal kita belum tentu membutuhkan lubang sedalam itu.

Mengapa begitu mudah mematahkan mimpi seseorang? Karena takut. Mereka takut. Kita semua takut. Takut jatuh, tidak bisa bangun lagi. Takut saat bangun, mendadak jatuh lagi. Takut setelah kembali mencoba, jatuh lagi dan tidak bangun-bangun.

Padahal, siapa yang menjamin bahwa kita hidup saat ini benar-benar bangun? Yakin kamu benaran bangun? Kalau kita kerap bersepakat bahwa dunia ini fana terutama saat datang kecewa, ya sudah, kenapa takut gak bisa bangun lagi? Mainkan.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama