Bagi Gojek, belum tentu, bahkan mungkin tidak benar. Buktinya, beberapa hari lalu mereka tidak mesti berepot-repot mendandani reklame vertikal Gojek di kawasan Kuningan dengan sangat menor demi memancing calon pelanggan, mempertahankan pelanggan setia. Cukup berkanvas putih polos, bersenjatakan mungkin sekitar 200 kata yang merangkai paragraf konten iklan mereka. Sekilas tampak sama seperti pekerjaan rumah anak SMP yang baru pertama kali mencetak tugas ikhtisar pada sehelai kertas HVS sendiri.
Bersenjatakan 200-300 kata, apakah menurut Anda iklan Gojek terbaru ini terlalu berlarat-larat, menjemukan, sudah meleset dari teori marketing? Sila baca dengan santai, lantaran menurut saya bahasanya enak sekali dibaca, copy ini lebih mirip curhatan anak SMA yang berandai-andai Jakarta berkondisi terbalik, meski sudut pandang orang kedua ini (kamu) lebih cenderung tertambat kepada young adult yang baru punya anak berusia sekitar 3-4 tahun.
Perusahaan rintisan transportasi dan logistik tersebut dengan lancangnya memajang reklame yang berkesan polos tanpa make-up di kawasan strategis; strategis dalam segi lokasi dan harga pemasangan yang tinggi. Menurut Chief Marketing Officer Gojek, Piotr Jakubowski, hal ini selain untuk menghibur pengendara yang telanjur jengah bermacet-macet tiap hari, pun bertujuan guna mengetes apakah memang pamor sarana promosi fisik sudah melamur sehingga pada era saat ini untuk mengkreasi ads yang efektif dan efisien hanya mungkin berhasil disebarkan melalui media digital?
Sambutan khalayak ternyata positif. Dari mulut ke mulut, bahkan dari jempol ke jempol melalui gawai masing-masing, media cetak berupa reklame fisik itu malah secara cuma-cuma didigitalisasikan oleh para netizen melalui share demi share melalui grup Whatsapp maupun aneka media sosial. Ya, sasaran Piotr melampaui target; ia telah menciptakan iklan media cetak sekaligus media daring, namun sekadar keluar ongkos untuk melansir di media cetak saja! Tercapailah semuanya: efektif, efisien, dan keren di mata netizen dan citizen! Lantas apa lagi yang perlu diperdebatkan?
Ada, rupanya. Segelintir warganet mengatakan bahwa Gojek menyontek iklan di luar negeri yang menggunakan cara serupa dalam mempromosikan produk mereka. Seperti biasa, netizen selalu bersikap politically correct. Apakah meniru sebuah cara adalah salah? Padahal netizen tersebut berkoar-koar dimediai oleh HP Xiaomi yang 90% menjiplak iPhone luar dalam, dan laptop mereka masih pakai Windows bajakan. Seharusnya mereka bermediasosial menggunakan pisang saja yang terang-terang pure orisinal ciptaan Tuhan tanpa campur tangan riset & marketing, kalau mereka ingin konsisten sebagai pemuja keaslian.
Jadi, menurut saya, sangat tidak penting kalaupun Gojek menjiplak atau sebatas terinspirasi dari karya iklan lain. Apabila sasaran atau objektif tim Marketing Gojek tepat bahkan melampaui target, maka tugas mereka sudah selesai. Selanjutnya, kembali berkreasi. Good job!
Namun demikian, metode advertising anti-teori semacam ini sebaiknya tidak usahlah menjadi tren. Saya tidak akan sanggup membaca iklan Meikarta dengan copy sepanjang ini dipasang di Cirebon, atau sepanjang jalan raya lintas Jawa, kalaupun dipaksakan nanti diklaksonin terus diserempet bus Luragung lantaran melaju lambat-lambat. Anda ingin pindah ke Meikarta? Mari kembali ke kenyataan. Makin pusing keingetan cicilan-cicilan? Asikin aja.[]