Ketika Sudah Jauh Berjalan

Okay, lagi-lagi ini akan menjadi tulisan berbau nostalgia.

Sebulan ini saya merasa sangat lelah, mungkin sampai dua minggu ke depan. Kembali dikejutkan oleh tensi darah yang tinggi: 160/110. Mungkin saya memang harus sama sekali meninggalkan gorengan, mi instan, jeroan, percayalah, seharusnya gorengan berada di urutan setelah rendang sebagai makanan terenak sedunia. Kapan mau meninggalkan? Lupakan.

Sejenak, saya tersadarkan bahwa rasa lelah—atau dapat pula dikatakan sebagai kepayahan—ini muncul, mungkin, karena setelah direnungkan, saya sudah cukup jauh berjalan. Mengejar entah stimulus apa yang selalu berkecamuk di kepala, selalu berubah-ubah setiap saat, satu jam mendatang mungkin sudah lain lagi. Yang memaksa kaki saya berjalan, terus berjalan, sulit sekali untuk sekadar menepi sebab selalu dikejar-kejar mimpi yang selalu nisbi.

Waktu yang panjang belum tentu membuahkan hasil yang saya inginkan.

Pada tahun 2006 Italia juara Piala Dunia. Zidane menanduk Materazzi. Dan saat itu, saya lulus SMP, kemudian diterima dengan nilai pas-pasan di SMKN 1 Cimahi, angkatan 33. Ah, sudahlah, saya lebih suka menyebutnya sebagai STM Pembangunan Bandung. Lebih sangar, lebih gagah, lebih berwibawa.

Saya sangat meyakini bahwa sekolah itu telah 80 persen berhasil memahat karakter saya yang sekarang. Doktrin sekolah itu kurang lebih sama seperti tentara: lebih baik bermandi keringat saat latihan daripada bermandikan darah dalam peperangan. Empat tahun lamanya saya di sana, saya merasakan berbagai rasa yang komplet, yang membuat saya meyakini satu hal: tidak ada yang tidak mungkin. Periode selama empat tahun di sana serasa 2 atau 3 kali lebih lama dari seyogianya.

Sekeluarnya dari sana, saya merasa waktu cepat sekali berlalu. Kuliah? Terasa cepat sekali, beda dengan sekolah. Rutinitas, mungkin, memang tidak seperti pendidikan dasar yang melelahkan. Tahu-tahu sekarang sudah 2017, sebelas tahun berlalu. Dan saya masih belum menjadi apa-apa. Selalu kurang rasanya pencapaian yang saya peroleh. Terkadang saya bertanya, kapankah seseorang merasa dirinya sebagai apa-apa? Setelah berhasil jadi seorang Ayah? Setelah menjadi Supervisor? Menjadi Top Management? Direksi? Atau bahkan baru setelah pensiun mereka merasa dirinya berguna?

Yang saya amati, setiap langkah manusia kerap dianggap sia-sia oleh diri mereka sendiri, padahal belum tentu. Mengejar mimpi hanya mempertemukan saya dengan orang-orang yang lebih pandai, lebih rupawan, lebih komunikatif, sehingga saya selalu menjadi orang paling bodoh di antara orang-orang pandai. Dan anehnya saya selalu ketagihan berbaur dengan mereka. Banyak sekali langkah-langkah terlupakan, yang mungkin adalah sebuah nikmat yang besar, yang harus disyukuri. Dan memang apabila kita berjalan, cenderung ingin terus berjalan lebih jauh, lebih jauh lagi, dan enggan kembali ke posisi nol, sebab meski hasil yang dipetik tidak sejalan harapan, hidup harus terus berjalan ke depan.

Dan sekali lagi, mimpi. Atau kalau istilah mimpi berkesan terlalu mengawang-awang, kamu boleh menamakannya sebagai target, tapi saya tetap lebih suka menamakannya mimpi. Hal satu ini lebih sering bikin kita semua kecewa. Kenyataan selalu saja kurang dari target, lebih buruk dari target. Namun anehnya, sudah tahu kita selalu dikecewakan oleh mimpi, kita malah bermimpi hal-hal yang lain, yang lebih tinggi, lebih agung, lebih sulit digapai.

Kapan kita bersedia untuk duduk sejenak? Menengok ke belakang. Meresapi hari ini, saat ini, yang saya percayai lebih baik, jauh lebih baik dari hari-hari kemarin, bulan-bulan kemarin, tahun-tahun kemarin. Menyadari bahwa saya sudah cukup jauh berjalan. Hasil-hasil yang sudah saya peroleh sekarang, saya pikir, malah melampaui harapan-harapan, mimpi-mimpi saya pada masa lampau.

Tetapi, karena mimpi selalu nisbi, karena harapan selalu eksponensial, nikmat-nikmat itu luput saya sadari hari ini, saat ini, sehingga hanya perasaan lelah yang datang setiap saat, bukan rasa tabah. Tahun kemarin memang saya akui, berat sekali, namun membuat saya bersyukur sudah pernah mengalami dan melewati masa-masa sulit itu. Ketika setiap hari seperti hari-hari kosong tanpa tanggal, yang ada di dalam benak hanyalah kebencian terhadap kemampuan diri sendiri yang payah dalam menghadapi kehidupan ini.

Pertengahan tahun lalu saya menemukan harapan baru, berupa sebuah pekerjaan di Bandung, yang percayalah, jauh, sangat jauh dari mimpi-mimpi saya terdahulu. Pekerjaannya aneh, tidak sesuai background, tidak sesuai passion, alur kerjanya tidak lazim, jam kerjanya tak mengenal batas waktu. Namun saya menjalaninya dengan penuh keikhlasan, dan baru memahami bagaimana berperilaku ikhlas itu, yang ternyata nikmat untuk dijalankan, tiada lagi muncul beban-beban yang sesungguhnya tidak perlu dipandang sebagai beban.

Saat itu, berhubungan kembali dengan teman lama melalui Direct Message Twitter, satu-satunya media sosial yang tidak saya hapus. Perasaan itu kembali muncul, malu-malu. Namun pikir saya waktu itu, belum saatnya. Nanti pasti ada waktunya, entahlah, saya kok merasa yakin padahal pada masa itu hidup saya penuh dengan ketidakpastian serta keraguan.

Setengah tahun kemudian, saya kembali menghubunginya. Bersepakat bertemu di suatu tempat yang hangat, mengajaknya makan malam ditemani temaram. Berjumpa seperti sudah puluhan tahun saling mengenal. Tertawa lepas bagai punya referensi pahit-manis hidup yang sama. Bersitatap layaknya dua orang yang sudah saling percaya.

Malam ini saya menyadari, cukup jauh saya berjalan. Bersyukur masih dapat bernapas, bersyukur telah menemukan kamu. Mohon temani saya berjalan lebih jauh lagi ya, Gioveny... sampai kaki saya tak mampu lagi melangkah, sampai tidak ada lagi sudut dunia yang belum terstempeli jejak kita berdua, Cinta.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama