Tadi siang saya pergi mencari tukang pas foto karena sedang perlu pas foto terbaru untuk suatu keperluan. Dan saya baru tahu bahwa mencari foto studio saat ini tidak semudah dahulu, di mana ada kios foto kopi, biasanya terdapat foto studionya juga. Sekarang, kios foto kopi kebanyakan cuma menerima cetak doang, itu pun tinta dan kertasnya abal-abal, jauh banget dibandingkan hasil cuci cetak rol film zaman dulu.
Mau tak mau saya terus mencarinya agak jauh dari rumah, sampai nemu kios foto kopi yang ada plang fujifilm professional. Hmm.. mungkin peninggalan zaman film analog dulu tuh. Melihat plang macam itu saya jadi menyimpulkan tempat itu bagus untuk pemotretan, yah minimal untuk bikin pas foto.
Pelayannya mbak-mbak pendek yang tidak mencerminkan bisa fotografi. Dandanannya ala asisten rumah tangga gitu, kaos-kaos ketat dengan manik-manik. Iyeeee, saya emang judgmental, saya kan ISTJ, tukang ngejudge orang, mau apa? Bayar saya juga engga, kan? Bebas lah, ini blog saya, saya nulis sendiri, ide mikir sendiri, domainnya saya bayar sendiri, Anda mau baca syukur, engga baca pun apa sih ngefeknya ke kehidupan saya? (lah ini kok malah marah-marah)
"Bisa pas foto, Mbak?"
"Ukuran berapa?"
Sampai situ, keraguan saya terhadapnya makin kentara. "Maaf, maksudnya bisa jepret-jepret gitu," sengaja saya pilih kata-kata yang awam, "bukan cetak doang." Saya berusaha mengkonfirmasi kemampuannya sebab saya sudah berkali-kali dikecewakan oleh beberapa tukang fotokopi sebelumnya yang mengaku sebatas menerima jasa cetak foto.
"Iya Mas, bisa. Masuk aja ke dalem."
Saya masuk ke dalam. Terbentang kain biru di situ. Tentu saja untuk latar belakang foto. Di depan kain tersebut teronggok kursi plastik. Saya duduk menunggu.
Tak lama, mbak-mbak itu datang dengan kamera. DSLR? Mirrorless? Hasselblad? Absolutely No! Bagusan juga kamera saya. Yang dia bawa cuma prosumer fujifilm yang saya pikir keluaran 2009. So yesterday. Pada detik itu saya menyesal dan pengennya sih pulang aja cari tukang pas foto lain. Tapi ya sudahlah, kasian juga.
Selanjutnya, si Mbak memotret saya. Pake satu dua tiga, gak? Tidak.. tidak ada aba-aba sama sekali. Bayangkan saja temanmu yang sedang memotretmu, bahkan lebih parah dari itu. Semula, saya sudah siap dengan kemeja rapi dan gurat senyum yang sepengalaman saya lumayan cucok untuk difoto. Tapi setelah sepuluh-dua puluh jepretan dari Si Mbak itu, tanpa aba-aba, tanpa ada arahan untuk mengatur muka, bahu supaya enak dipandang, mood saya jadi jelek. Boro-boro senantiasa tersenyum.
Suatu kali Si Mbak itu mencoba-coba sendiri kamera jadulnya, dengan mengarahkan autofokus terhadap tangannya sendiri. Seperti amatiran, atau yah memang sudah jelas kok amatiran, atau saya yakin saya dapat lebih baik mengoperasikan kamera tersebut. Tapi apakah harus saya sendiri yang memotret pas foto saya sendiri? Tukang cukur saja tidak mencukur dirinya sendiri, bukan? Yah kalau instansi-instansi pemerintah menerima pas foto dengan gaya selfie sih that's fine. Tapi itu sungguh tidak mungkin.
Senyum saya yang udah dimanis-manisin lama-lama jadi pait. Duduk makin layu dari kriteria tegak. Hati udah dongkol, ngedongkolin si Mbak yang gak punya etika nyoba-nyoba fotoin pelanggannya tanpa aba-aba, asal jepret, dan gagal berkali-kali. Mungkin baru berakhir pada jepretan ke tiga puluh, akhirnya Si Mbak berkata "Udah, Mas". Saya langsung keluar dengan kondisi mood yang makin ancur. Udah bodo amat sama hasilnya.
Agak lama menunggu hasil foto tersebut karena kedistract sama yang mau ngelaminating, motokopi, dan beli map plastik. Ternyata dia ngelayanin pelanggan lain pun ala kadarnya, gak niat, boro-boro gesit. Menggunting kertas saja lama. Makin lama deh ngurusin pas foto saya. Lima belas menit kemudian baru jadi.
Dan hasilnya... lumayan. Tapi kemahalan kalau saya mesti bayar 35 ribu cuma dijepret sama kamera prosumer jadul dan hasilnya pun gak bagus-bagus amat. Yang paling bikin kecewa tentu saja saat-saat pemotretan tadi yang bikin emosi. Okeh, mari saya jelaskan hasil yang saya bilang lumayan itu: tona warnanya pucat, resolusi payah karena mungkin sensornya gak semumpuni DSLR, dan pose tubuh saya yang bungkuk. Saya minta softcopy-nya, makin kecewa lantaran yang dikasih malah foto yang resolusinya 300 x 400 pixel, di tengah gempuran zaman kamera hape aja minimal 8 megapixel! Sejuta topan badai deh... 35 ribu dibeliin seblak telor bisa tuh dapet lima porsi.
Ke Mana Perginya Para Expert?
Apa cuma saya yang meresahkan ini? Bahwa sekarang sudah hampir gak ada, atau okelah kalo terlalu ekstrem, jarang orang yang benar-benar menguasai bidangnya masing-masing. Nuklir? Kimia? Nano Technology? Bukan. Muluk banget sih pikiran lu pada, sok-sokan visioner, pintu rumah aja susah nutup sempurna gak diurus-urus.
Misalnya pas foto tadi. Perasaan yah, dulu pas saya masih kecil, gak sembarangan orang bisa megang kamera. Tukang foto studio yang meskipun seringnya cuma nerima pas foto, tapi itu masih bisa jadi jenjang karier, karena itu adalah sebuah keahlian yang harus dipelajari, dan tidak semua orang mampu mempelajari, atau katakanlah tidak semua orang mau. Alhasil mereka pun mengerjakan serta menggarapnya dengan sungguh-sungguh, karena itu adalah suatu keahlian yang membuat harapan hidup mereka tumbuh. Sehingga tidak melakoni secara setengah-setengah seperti Mbak-mbak tadi yang minta digampar.
Semakin mudah teknologi membuat semua orang meremehkannya dengan logika bahwa semua orang mampu mengoperasikan. Technology for all katanya. Ah bullshit. Sesimpel apa pun suatu pekerjaan toh tidak semua orang dapat melakukannya segenap hati. Pekerjaan adalah rutinitas yang dijalankan setiap saat setiap hari, bertahun-tahun, seumur hidup sampai ia lelah bekerja. Pekerjaan harus dicintai. Tidak semata-mata untuk dijalani.
Yah, saya pikir orang-orang zaman dulu lebih fasih dalam menerapkan follow your passion ketimbang millenial yang cuma ngomong doang. Jika begitu, kita cukup fokus dengan meracik mi ayam yang enak saja, sebenarnya urusan revenue tuh ngikut. Tapi, sekarang sih gak gitu ya. Promosi dan branding tetep nomor satu, hingga sekarang saya susah mencari makanan yang benar-benar enak, karena mungkin para pengusaha makanan salah fokus.
Pekerjaan rutin, seharusnya makin sering dijalankan, keahlian kita bakal makin terasah. Tapi sekarang, saya rasa, kita semua bagai disuruh untuk terburu-buru mempelajari segala hal yang baru sehingga tidak paham asal muasal mengapa kita harus melakukan semua itu. Segalanya serba gegas. Dan sialnya memang teknologi lekas berubah yang menuntut kita semua ikut berubah.
Yah, ini adalah keresahan saya. Saya rasa tidak semua orang harus jadi top management yang senantiasa melihat sesuatu dari helicopter view saja. Kita semua seantero dunia toh masih banget butuh orang-orang yang bener-bener ahli di bidangnya, di underground, tidak semua harus jadi generalis yang pengennya nyaman di awang-awang. Memangnya cukup dengan hanya punya pandangan mata elang saja kita bisa menikmati dunia ini? Kita bisa liat apa memang kalau di dasar dunia ini tidak ada satu orang pun yang becus menggarapnya, dan semua orang melakukan pekerjaan separuh hati saja? Cukupkah memang dengan modal public speaking, percaya diri tampil di depan umum, dan lolos audit sana-sini kalau tidak ada seseorang yang sungguh-sungguh ahli mengerjakan hal-hal remeh-temeh?
Sumpah, saya benci banget sama orang yang selalu meremehkan pekerjaan-pekerjaan bertipe rutinitas. Sebab mau bagaimana ditingkatkan kinerjanya kalau kerjaan-kerjaan kecilnya belum dipastikan oke. Arghh... mengapa kepala saya selalu berisik oleh hal-hal begini.[]