Keluyuran Akhir Bulan 1: Suryakencana


Apa yang dilakukan pria ISTJ pada akhir bulan? Bagaimana dia merayakan (ataukah meratapi) akhir bulan? Sebagai yang sok-sokan merasa ISTJ, mulai akhir bulan ini saya hendak menceritakannya pada kalian. Semoga menyenangkan, paling tidak untuk diri saya sendiri. Atau mungkin ada yang mau ikut keluyuran, boleh juga janjian sama saya. #modus

Terinspirasi dari lagu Akhir Bulan-nya Kunto Aji, saya pikir bagus juga apabila akhir bulan dirayakan, bukan cuma disesalkan. Justru lantaran akhir bulan itulah, kita atau khususnya saya dapat bebas merayakannya. Dengan remah-remah gaji yang syukur masih menyisa, maka pilihan pun gak banyak. Tapi, biasanya pilihan yang sedikit cenderung mudah untuk dijalankan sebab jadinya tak terlalu banyak pertimbangan apalagi perhitungan. Dan saya pikir destinasi keluyuran tidak usah muluk-muluk. Kebun singkong dekat rumah pun jadi. Prasmanan kondangan temen apalagi.


Sabtu siang kemarin saya ke Suryakencana, Bogor. Niat ke sana supaya kaki berjalan saja karena sehari-hari seringnya duduk melulu. Sayang sekali saya bangun kesiangan padahal kawasan pecinan itu justru ramainya pada pagi hari dan saya ingin sekali merasakan suasana semarak aneka street food di sana. Tapi apa boleh buat. Cucian minta untuk dicuci. Perut minta diisi, yah kamu tahulah saya harus masak nasi sendiri, ngangetin lauk sisa kemarin sendiri. Belum beres-beres, bersih-bersih. Intinya ya males keluar pagi. Baru setelah makan siang saya cus ke sana. Iya, saya emang gak niat cari makan sih ke sana, soalnya,... nanti juga kamu tahu sendiri lah. 


Lama tidak ke pelat F kota karena sehari-hari cuma muterin Citeureup, Cibinong dan sekitarnya, meskipun sama-sama pelat F, kastanya sih timpang. Dan baru sadar kalau Sistem Satu Arah (SSA) malah diterusin programnya. Gak sebatas percobaan. Dan itu menyebalkan. Macetnya malah jadi menyebar. Mau ke A dari B mesti muter dulu ke C dan kejebak macet di D. Tapi udahlah, ngapain juga saya marah-marah di sini. KTP aja masih Bandung.


Setiba di di sana, baru tahu kalau sekarang Suryakencana punya lawang. Dulu mah boro-boro. Masih pahibut sama pedagang kaki lima dan jalannya pun ancur-ancuran. Sekarang lumayan rapi dan agak nyaman dipandang. Kalau macetnya sih, makin. Nyari lapak parkir motor yang lowong pun lumayan lama. Tapi akhirnya dapet juga.


Imlek tinggal seminggu lagi. Mungkin ini yang bikin suasana di sana kemarin kian dominan sama merah dan kuning. Lampion menggantung di hampir setiap toko dan rumah makan. Ada beberapa yang jualan petasan dan rerupa kembang api. Ada yang menggelar lapak bunga-bunga. Sebagian ada yang jualan cangkang ketupat. Entahlah tukang kembang dan cangkang ketupat itu jualan setiap hari ataukah musiman pada saat menjelang imlek saja.


Wara-wiri motret-motretin yang ada di depan mata, ternyata lumayan bikin kaki pegel juga. Maklum jarang banget jalan kaki. Tapi karena merasa belum dapet foto yang sreg, saya terus berjalan dan memotret apa-siapa saja yang tersedia bebas di depan mata (iya, ceritanya ngikutin tips-tipsnya Erick Kim). Blusukan ke Jl. Roda yang sepi, lanjut ke Gg. Aut yang konon kalau pagi-pagi ramai oleh penjaja kenikmatan (perut). Waktu itu sekitar pukul dua siang sih sudah lengang. Kuliner yang tetap eksis sampai siang, ehem... tetep: sate babi.


Cukup banyak bangunan zaman baheula di kawasan ini yang mungkin sudah jadi milik pemerintah kota demi pelestarian bangunan kuno. Sebagian masih dimiliki keturunannya sebagai rumah makan warisan keluarga atau toko sembako atau bahkan sudah jadi milik orang lain.


Sampai di ujung Jl. Suryakencana dan sepi dari objek foto yang menarik, saya memutuskan putar balik, berjalan kembali ke gapura bertuliskan Lawang Suryakencana, beberapa meter dari mulut lawang ada angkot yang mogok lantas didorong sama dua orang. Ketika hendak pulang nyamperin motor ke parkiran, saya sempat berpapasan dengan rombongan berwajah kearab-araban. Kompak pada senyum pula. Toko di pinggir yang saat itu mereka lintasi ada gantungan lampion-lampionnya pula. Terus? Ya bagus aja, kali bisa jadi representasi kesatuan dalam keragaman. #empret


Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson kenceng banget dari mobil-mobil di samping saya, mending kalo telolet bikin bocah-bocah hepi. Ternyata dua abang ojek online dari dua perusahaan berbeda lagi parkir sembarangan. Sebenernya sembarangan itu biasa aja di kita, tapi mereka parkirnya di sekitar pertigaan sih. Ah, entah kliennya yang gak tahu diri menentukan pick up point, entah apalah. Saya gak peduli. Mending pulang. Eh, motret kelakuan mereka dulu sih.


Apa yang didapat dari keluyuran akhir bulan kali ini? Tidak ada sepertinya, cuma badan yang terasa fit karena digerakkan beberapa jam dan kulit yang gak terlalu pucat terpapar ultraviolet bebas. Eh, ada sih. Aroma asap panggangan sate babi ternyata mirip-mirip sama sate sapi. Dan jaket abang ojek online makin kumal aja, udah gak keren kayak testimoni-testimoni yang mewujud ads setahun lalu, saya gak yakin mereka itu wangi-wangi sekarang.


Oh ya satu lagi. Nci, sendirian aja? Saya ikhlas kok nemenin Enci makan bareng B2. Berdua maksudnya...[]

PS: Foto-foto berkualitas biasa aja seperti di atas selengkapnya dapat dilihat di sini. Terima kasih.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama