Sudah jadi apa sekarang? Belum, mungkin tidak akan. Saya masih laki-laki dengan segala ketakutan yang hinggap bergantian setiap sore hingga malam. Jika malam itu konten mimpi saya cukup baik, maka ketakutan segera berganti sebagai keikhlasan pada pagi hari. Sedangkan tatkala mimpi buruk, ia datangkan lebih banyak ketakutan, minta untuk diselesaikan hingga berserakan sebab tak kunjung mampu tertuntaskan.
Saya selalu menghindari tidur siang karena membenci kenangan yang sekonyong datang sebangunnya saya menjelang petang. Apalagi sore yang cerah seperti beberapa hari ini. Langit biru tanpa awan, bulan yang senyum lebih awal, dan waktu magrib yang terlambat, lewat pukul enam, sesekali filter jingga semesta turut bangkitkan suasana melankolis. Mengembalikan ruang ke masa lalu yang belum terlalu dahulu.
Sejak lima setengah tahun lalu hingga akhir 2014 saya biasa berangkat kuliah pada senja hari dan sial sekali mengapa harus senja karena senja adalah cakram penyimpan memori terawet dibanding blu-ray sekalipun, tanpa perlu mesin pemutar sudah terputar otomatis kala atmosfer mendukung, saat layung merundung.
Mengingatkan saya pada masa dahulu biasa keluar dengan seseorang dan sebelumnya saya harus melihat sekaligus meramal kondisi langit saat itu apakah cerah atau mendung karena saya hanya punya satu jas hujan dan itu pun repot membawanya. Masa-masa keluar sendirian tanpa perlu bawa uang banyak-banyak dan akhirnya celingak-celinguk di daerah asing. Tanpa memikirkan apa-apa, dengan siapa, besok bagaimana. So fearless.
Fase ini cukup menyiksa. Saya kira ombak dalam benak cukup menggolak di quarter life crisis kemarin saja, namun faktanya masih ada ataukah memang masih berlanjut dan krisis belum berakhir betul. Ruang selalu kalah cepat dari waktu dalam usaha mengkreasi impian dan harapan.
Tidak boleh seperti ini terus. Tergulung perubahan demi perubahan yang membosankan. Fase hanyalah fase. Baru satu bulan saya pindah kembali ke sini. Entah, apakah tiga bulan mendatang saya masih di sini. Tapi setidaknya harus menyusun rencana-rencana lagi. Agar lekas beranjak dari segala. Saya harus berlari agak jauh lagi setiap pekan atau malah dua kali dalam sepekan. Keluar rumah, pergi memotret, membekukan waktu yang saya yakin bakal makin gila menaklukkan ruang. Mengunggahnya di sini, dan menulis tentang potret paling berkesan hari itu.
Tapi, nanti saja ya. Ah, ya, selalu nanti, padahal waktu enggan sejenak pun berhenti.[]
Photo credit: Cameron Bowles
memang waktu tak terasa ya mas
BalasHapus