Sulit sekali memiliki seseorang ketika aku ingin sekali memilikinya. Sesuatu jauh seperti dekat, seseorang tepat di sebelah bagai berlainan belahan semesta, dan berlari sendirian hanya mengundang sayatan angin, semakin cepat berlari angin dari depan kian giras menjangat kulit. Duduk diam dalam jeda menjerang kesadaran bahwa aku bukan siapa-siapa dan tak pantas dicintai siapa-siapa.
Desember adalah duka dari ragu. Suka menuju luka. Ingin kembali beku jadi angan. Sesungguhnya ingin sekali aku jujur namun kejujuran selalu gagal merangsek budaya pop. Aku selalu memulai apa-apa dari bawah tanah dan setelah berusaha mencoba keluar permukaan aku selalu cemas apabila suatu saat sudah naik ke tempat yang terang, tidak kuasa lagi kurasakan kesyahduan dan ketelanjangan di bawah seperti selama ini. Aku mendadak takut memulai sesuatu di ranah terang benderang mungkin karena sudah sejak lama aku terkungkung dalam pekat gelap, dan menganggap alam tidak gelap hanyalah maya dan kefanaannya hanya pantas dicerca bukan untuk dicinta.
Apa yang dapat seseorang lakukan dari jauh apabila segenap rasa mendekap erat kembali. Rumit untuk sekadar bayangkan kembali pelukan yang enggan melonggar dan kecupan yang lebih panas dari neraka. Semua sudah jadi teka-teki silang yang saling bersinggungan ke atas, ke bawah, menanjak dan melandai, satu huruf terlupa atau memang gagal terisi karena aku terbodohi teka-teki, hanya akan jadi selembar alas gorengan, undian hanya cukup dalam angan.
Tapi semua sudah berubah. Hanya manusia yang susah berubah. Mungkin tidak. Tidak akan.[]
Photo credit: Mister G.C.
Tags:
fiksi