Sabotase Notifikasi Tinggi


Sabtu malam seminggu yang lalu, saya memaksakan pergi ke dokter sebab sudah tak sanggup menahan rasa sakit di telapak tangan kiri. Walaupun sempat ingin mati, sejujurnya saya tidak berani-berani amat hadapi hidup setelah mati. Jadi, saya periksakan saja kesehatan saya supaya dapat kembali bekerja dengan nyaman sentosa, meski taraf kemakmuran ini masihlah jauh, setidaknya dunia ini selalu menarik untuk ditunggu kelucuannya.

Terdapat tonjolan di telapak tangan kiri. Jika dipencet rasanya sakit. Kurang lebih seperti rasa yang ditinggalkan tisikan jarum donor darah: dua tiga hari kemudian pegal dan kebas seperti ada yang mengganjal, pernah merasakan? Nah, semacam itu: pegal, sakit, mengganjal, ketiga sensasi ini mengganggu aktivitas saya yang lumayan menguras emosi dan iman selama empat hari, dan hari ke empat saya menyerah.

Sebelum masuk bilik periksa, lengan saya dikepit sabuk tensi oleh perawat. Dahinya berkerut saat matanya mengeker jarum tensi. Sekali lagi ia mengulang pengukuran, sebelum beritahukan bahwa tensi saya 160/100. Tinggi sekali, katanya. Pusing tidak, tanya dia. Saya tidak merasa pusing waktu itu. Biasa-biasa saja. Cuma tonjolan di telapak tangan kiri yang sakit. Kepala tidak. Hati, sedikit. Tapi itu tidak penting.

Semasuknya bilik periksa, dokter memindai ulang tekanan darah saya oleh alat tensi digital, lebih akurat tentu saja. Hasilnya: 180/110. Saya mendadak lunglai. Aneh. Tekanan darah setinggi itu, orang-orang termasuk orangtua saya biasanya mengalami gejala pusing luar biasa dan lekas dilarikan ke UGD. Tapi, saya kok tidak merasakan gejala itu. Saya duga ada kabel yang putus pada sistem syaraf sehingga gagalkan transmisi notifikasi tinggi tekanan darah ke otak. Butuh solder dan sedikit timah untuk kembalikan fungsi semula, barangkali.

Dokter bilang gejala sakit di telapak tangan ini bukan berasal dari bisul. Saya pikir juga demikian, toh tonjolan ini tidak berwarna selayaknya bisul yang merah. Namun disebabkan keseharian saya mengendarai motor kopling 55 kilometer pulang pergi setiap hari, dan macet sepanjang jalan, bukan cuma di persimpangan. Dan penyebab tensi tinggi, selain faktor genetik saya yang sungguh jelek, tentu karena kebanyakan makan mi instan, batagor Isan hampir tiap pulang kerja, dan santapan gurih lainnya. Bekerja sebagai kuli data beberapa bulan belakangan memang merangsang selera makan yang maksimal; kalau tidak manis sekali, ya gurih paripurna. Kehambaran cuma kesia-siaan.

Pemuda 25 tahun. Ubanan. Sarjana Kimia tidak terpakai. Bekerja serabutan. Tensi darah 180/110. Indeks Massa Tubuh demikianlah adanya. Masihkah negara ini sandarkan harapan perubahan kepada pemuda? Bukankah yang tua-tua di sana masih ingin terus berbahagia? Ah, baiknya minum obat dulu. Tidur siang. Mimpi yang panjang. Kecup rindu: nasi padang.[]

4 Komentar

  1. Hmm sekarang tema gambar2nya jd monokrom ya #OOT
    btw, jangan mati dulu,cep..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih tepatnya preset creamtone kalo di lightroom :)))

      Semoga ya. Gue pengen ngerasain jadi kelas menengah ngehek dulu sebelum mati. #pret

      Hapus
  2. Kalau kata temen kok malah akurat yang tensi pakai air raksa ya mas.

    Wah, semoga cepet sembuh ya mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hmm, sepertinya sih benar, mas, pernah denger juga raksa lebih akurat. Siplah, thanks doanya.

      Hapus
Lebih baru Lebih lama