Dedas Resah


Walau benci perubahan teknologi dan zaman, saya malah memaklumi perubahan seseorang. Saya rasa, orang-orang sibuk yang pikirannya penuh dengan dunianya, tampak lebih mudah mengubah sesuatu daripada dirinya sendiri, dan menuntut sekitarnya agar seperti dia. Dunia gegas berubah, seseorang laksana mustahil berubah, kesannya. Padahal realitas tidak selalu seperti itu. Saya mengakui perubahan diri seiring beceknya pengalaman-pengalaman yang ganti-mengganti menggenangi. Dan saya merasa gejala ini baik-baik saja, cukup dengan menjalaninya.

Sayang, orang-orang yang mengenal kita pada masa lalu, mendambakan diri kita yang dulu. Yang culun, lugu, mudah dirayu dan ditipu. Sekarang tiba-tiba datang, bersikap seakan paling mengenal diri kita ketimbang kita memahami diri sendiri. Padahal belum tentu mereka mengenal kita dengan baik, apa lagi berusaha mengenali. Mungkin saja dulu kita belum tahu diri ini siapa dan hendak berbuat apa, maka terus berpura-pura terasumsi baik, dan apa-apa itu baru ketemu sekarang, setelah tak lagi intens bertemu orang-orang masa lalu. Mereka lewatkan puluhan episode-episode kehidupan yang memang tak penting pula untuk mereka tunggu-tunggu dan saksikan, sebab mereka hanya ingin menonton yang baik-baik. Dan tahu sendiri peluang antara nasib baik dan nasib buruk lebih besar mana?

Kita bertambah tua, berpura-pura muda hanyalah usaha sesia-sia memasrahkan tubuh ideal pada teh hijau dan bergelas-gelas jus. Menuanya usia adalah hal yang pasti, kurang menjual untuk diperdebatkan semacam teori bahwa bumi itu datar. Dongeng keresahan lamat-lamat berubah dari penderitaan kesendirian pada malam Minggu menjadi tekanan pekerjaan yang kita tidak tahu kapan terselesaikan. Nafsu makan mulai berkurang setelah sadar bahwa sepincuk nasi padang itu terkalkulasi lumayan mahal bila dibandingkan dengan sallary yang begitulah. Melihat orang terdekat satu per satu menikah, hasrat untuk menikah kian enyah.

Tambah menyadari bahwa nasihat orangtua adalah senyawa damai menyejukkan bagai usapan kabut pagi pada wajah yang kini kian jarang menyaput. Orangtua pun semakin tua, tidak lagi mampu menggebu-gebu menceramahi anak-anaknya seperti dulu. Padahal nasihat menyebalkan pada usia saat ini sangat-sangat dibutuhkan. Mungkin karena sudah memasuki masa pensiun sebagai abdi negara, memilih pensiun pula sebagai abdi keluarga. Dan masih saja saya merasa belum siap berjalan sendiri, padahal waktu selalu menolak untuk berhenti.

Petuah untuk berbuat ikhlas itu benar adanya. Mengharap terlampau besar hanya akan datangkan kekecewaan yang sebanding. Sayang sekali saya hidup pada zaman menerima lalu memberi. Keikhlasan dapat diperjualbelikan. Segalanya tertakar dengan uang. Sayang sekali tidak semua orang berkecukupan menggudangi lembar-lembar hijau yang terkadang panas itu. Dan lagi-lagi, mereka cuma dapat menjual satu-satunya harta: keikhlasan.

Semua akan berubah. Semua harus berubah. Saatnya berinvestasi keikhlasan agar tak sering-sering berbuat ulah, menjaga ritme langkah. Dunia ini sudah lelah mengisap dosa-dosa rasywah.[]

Photo credit: Alex Kiausch

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama