Malas Berpikir


Pada zaman ketika seantero dunia serempak menyibak tirai pengetahuan lebar-lebar, kita malah menutup diri sejak dalam pikiran. Terlalu banyak berpikir, bagi segelintir orang berponsel iPhone yang sebangun pagi menyesap kopi di Starbucks sambil menyembah Macbook, hanyalah kesia-siaan. Memang, berpikir taklah seproduktif menjaring klien sebanyak-banyaknya berkat bualan sehambur-hamburnya. Sejak dahulu pun pemikir lebih sering dicap gila, tidak seperti penguasa yang dipuja.

Saya setuju dengan tulisan Pak Hasanudin Abdurakhman dari kanal Qureta. Saat ini, kita bagai dilarang untuk berpikir, bahkan untuk sekadar memikirkan hidup masing-masing. Perkara paling fundamental seperti mencintai saja, kita seakan wajib untuk menelan secara instan kata-kata mutiara dari lembar-lembar meme motivator atau menyimak tutorial menikung pacar orang dari youtuber pengaku pakar asmara? Bukankah kita punya otak sendiri untuk mengetahui metode mencintai yang paling cocok dengan tampang, pendidikan, pengalaman, dan kocek masing-masing? Jangan dulu suruh kami untuk menyelami teori penciptaan Alam Semesta, masalah cinta yang paling privat saja terbukti belum paripurna.

Menurut Pak Hasanudin, orang-orang dibekap di bawah dogma, berpikir bisa dianggap menentang Tuhan. Padahal kitab suci bukan gudang sains, alam adalah sumber sains sejati yang terhampar untuk manusia telaah, hingga peroleh jawaban dari segayut pertanyaan yang menggelisahkan. Agama kita bikin-bikin sebagai kerangkeng kebebasan untuk berpikir. Padahal seharusnya kita membuat agar ia saling melengkapi dengan sains, saling mendukung satu sama lain, bukan lantas membelahnya dengan sekat gamis dan cadar saja. Agama dan sains adalah saudara. Keduanya harus sering-sering bersilaturahmi meski memang kerap berselisih.

Dan itulah yang dipraktikkan oleh ilmuwan-ilmuwan terdahulu, termasuk ilmuwan Islam seperti Ibnu Sina dan Al-Ghazali. Padahal dulu belum ada Google untuk menjelajahi referensi jurnal internasional. Belum ada Microsoft Word untuk mengetik karya-karya mereka. Belum ada simulasi pengolah variabel-variabel fisik. Mengapa peradaban mereka lebih pesat dari umat Islam kekinian yang hanya berkutat dalam perkara menggordeni warteg, membakar buku-buku, dan mengharamkan golput?

*

Peradaban Barat yang kerap kita kafirkan, mesti kita akui, adalah peradaban paling komplet beberapa abad belakangan. Sudah, kita akui saja. Memang senjata yang teroris todongkan pada batok kepala sandera bule itu bukan produk dari negara yang mereka kecam sebagai kafir? Mulai dari ilmuwan sampai sastrawan, Eropa punya stok melimpah beserta buah ide yang berpengaruh. Dan berapa banyak orang yang bilang ogah nonton sepakbola kecuali klub-klub Liga Eropa yang main? Ranah sepakbola saja, Eropa punya jajaran seniman dan filsuf di lapangan yang mahir menyihir massa, menerabas lintas ras dan budaya. Sementara kita, cuma punya politisi sepakbola.

Maka tidak usah terlampau bangga rendang ternobat sebagai makanan terlezat versi majalah apalah. Atau anak bangsa yang jadi animator di studio Marvel atau ilmuwan penggagas teknologi 4G di perusahaan IT Jepang. Memandang mereka sebagai citizen, memang pantaslah kita bangga kepada mereka yang mampu lolos dari kolam butek pendidikan negara dunia ketiga untuk menembus industri negara maju. Itu tidak mudah, sungguh, salut.

Namun sebagai country, Indonesia masih bukan apa-apa di mata dunia. Masih sebatas pasar basah, surga mereka berjualan sampah-sampah. Yang kesusu membangga-banggakan diri berlebihan pada dunia padahal jauh panggang dari apa-apa. Sudah, kita akui saja masih tertinggal. Mawas diri itu lebih baik. Kecuali kalau kita segera membiasakan budaya berpikir seperti Eropa—dan tentu kemakmuran mesti terpenuhi terlebih dahulu, bukan sebaliknya; memaksakan revolusi—barangkali harapan sedikit terbuka. Cobalah…

Terima kasih Qureta yang mengadakan rubrik Sainstek secara mendalam yang sekarang jarang ditemui di media lain, sebab masyarakat keburu khawatir terdaulat kafir akibat membaca pemikiran-pemikiran termutakhir. Syukurlah masih ada profesional dan dosen pasca sarjana yang rela meluangkan waktu guna menulis artikel-artikel sains populer. Jangan biarkan semua lahan kepenulisan daring direnggut gerombolan remaja haha-hihi penghuni sevel saja. Syukurlah profesional dan akademisi masih rela turun gunung menghangatkan nalar kami, tidak melulu mengeringkan pantai demi proyek reklamasi yang basah… basah.[]

Photo credit: Boris Schrier

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama