Perhelatan Tinju Masa Lalu


Menguar aroma masa lalu, angkot hijau menyibak malam. Belum terlalu malam. Kulirik arloji yang kutebus oleh penderitaan lapar berbulan-bulan. Sepuluh menit lagi pukul sembilan. Benakku melayah ke sepuluh tahun silam. Semoga memorimu masih seramah senyummu. Dulu, aku pernah bercerita padamu ihwal teman sebangku bengal di SD. Saking berandalnya, kini aku merindunya. Tidak, lebih baik kita lamurkan namanya, supaya sepasang mata tajam yang dulu nyaris buta itu tak berkedut-kedut malam ini. Kita sebut nama alias. Oleh kawan sekaligus musuhnya, ia dijuluki Geheng.

Bukan! Bukan seperti halnya merindu terhadap mantan-mantan kekasihku yang sering pula kuceritakan kepadamu. Percayalah, anakmu ini masih mencinta dan menghamba perempuan. Dan kau, perempuan yang paling aku cintai. Kini, aku merindukan laku-lampah Geheng terhadap teman pengecut yang sekadar bernyali di balik punggung, menunduk takzim di hadapannya. Sekali, pernah pula ia menggerendel mulut lisutku hingga tak kuasa bertuturkata.

Masih ingatkah kamu, suatu siang sepulang sekolah, air mataku tumpah satu-satu lantaran uang jajan tak seberapa darimu dirampasnya dari kantong celana pendek merah lusuhku. Ia mengingini seribu perak dariku guna ditukar dua batang rokok kretek. Satu untuknya, satu buat abangnya yang putus sekolah. Dibegitukan, hanya angguk bungkamku yang menyahut, dan beberapa tetes air mata yang kubawa pulang ke pangkuanmu.

Dengan tersedu dalam dekapmu, kuharap kau seperti ibu lain yang mengadukan cerita dan derita anak kepada suami. Kemudian suamimu bakal menyatroni rumah orangtua teman yang telah menyebabkan tangis anakmu ini merintih, dan perjudian harga diri antara dua lelaki dewasa pun merebak cuma gara-gara ulah anaknya yang peradang dan anaknya yang pecundang.

Ya, memang, telapak tanganmu yang kasar―sebab bertahun-tahun tak letih membasuh rumah tangga sederhana kita―membelai lembut kepalaku. Bibirmu mengecup keningku. Hangat dan kecut khas tubuhmu sedikit dapat membenamkan kecengenganku. Tetapi aku kecewa, yang kau ucap kadung bijak lagi bajik bagi kekalahan masa kecilku:

“Ia butuh uang, Nak. Dan kasih sayang. Ikhlaskan.”

Usai itu kau tak bertindak seumpama ibu lain. Aku mafhum. Selain lantaran dirimu terlampau tabah sebagai ibuku, sejenak aku pun tersadar dari lupa. Suamimu entah di mana juntrungnya. Dan sungguh aku tak pernah merindu sosok yang oleh anak kecil dalam sinetron biasa dipanggilnya dengan Ayah atau Bapak atau Papa.

Ah, banyak sekali yang berubah. Dulu, saat kau masih menyeberangkanku ke sekolah dasar samping pasar―tempat yang kau biasa sambangi sebelum sayup azan subuh menggelitik telinga mungilku yang lelap di ranjang besi―tak terhidu tubuh-tubuh lelaki berbau arak di terminal serupa malam ini. Telanjur suuzan, tak kuasa kuintip dan kukuping muslihat mereka, sebab berpasang-pasang mata menikamku bagai hendak menebas tubuhku cincang-cincang.

Namun tebersit wejangan yang sempat kau bisikkan sebelum aku merantau guna menempuh studi ke kota yang berjarak empat jam perjalanan dari dusun ini tanpa adangan macet. Bisikmu, andai aku dicengkam takut, hindari beradu pandang dengan mereka yang membuatku takut. Sekali tadi kuamini nasihatmu.

Keterasingan mengebaskan rindu. Malam ini, dalam perjalanan pulang ke rumah kita, aku merindukan telatah Geheng yang membuatnya berminggu-minggu diskors Pak Guru galak itu. Di bangku kelas lima, ia melesap tanpa asap. Rupanya nutrisi-nutrisi menjemukan yang terus disuappaksakan Pak Guru di sekolah tak menggugah seleranya. Ia lebih memilih mengerkah santapan sekeras cadas di perguruan kuli panggul di pasar.

Mendengar kabar Geheng jadi kuli panggul pada usia di mana ingus yang menyerupai angka sebelas di bawah hidung belum dapat ia seka mandiri, Pak Guru terbahak membahana, melonjakkan taraf galaknya beberapa harkat. Aku menangis untuknya saat itu. Bersimbah air mata dalam hati, sebab seperti katamu, kepedihan ditinggal manusia seculas apa pun malah membuat sungai air mata mengering, bukan?

*

Bagai resahmu melalui telepon, dusun ini memang banyak berubah. Toko-toko kelontong Tionghoa bersengit minyak curah menjelma mini market dan gerai ponsel. Dua petak sawah Pak Is mewujud tiga lokal rumah toko yang temboknya masih berbedak cat dasar. Angkot yang kukendarai melintasi rumah tua yang merana tak berlampu di ketiak jalan. Pagar karatnya dipagari semak. Tiada terlihat bunga sedap malam bermekaran malam ini. Cat putihnya memudar burik. Kaca jendela antiknya ompong diretas tukang pulung. Kasihan rumah tua itu. Lirihmu, nenek tua itu sudah meninggal, anak cucunya telanjur kerasan diteduhi rumah-rumah megah di kota.

Ada swalayan baru beberapa meter dari rumah tua itu, beberapa ratus meter dari rumah kita, katamu. Sepertinya itu yang membuat laju angkot ini tersendat-sendat, dan dalam hati tak henti aku mengumpat-umpat. Apakah tetangga kita sudah lupa alangkah menyehatkan dan menyenangkan berbelanja ke pasar sebelum subuh sepertimu? Rupanya kini mereka lebih senang berburu sandang dan sembako dengan iming-iming separuh harga hingga malam melarut dini hari nanti. Serupa dusun ini, sifat manusia lekas sekali berubah.

Angkot tiba juga di muka swalayan. Inikah swalayan baru itu? Oh, Tuhan. Aku tak seperti sedang melihat swalayan. Saat ini, diriku bak menonton televisi Minggu pagi berdua denganmu. Ada perhelatan tinju di depan swalayan baru itu. Dua petinju berkostum kontras tengah bergumul di arena yang diselia wasit gemuk berbalut putih hitam berdasi kupu-kupu. Yang satu berperawakan kerempeng, satunya lagi sedang-sedang saja, namun nampak kekar. Di atasnya, membentang spanduk ucapan selamat bertanding dari pemerintah kota teruntuk petinju yang berpartisipasi. Berjejalan umbul-umbul sponsor minuman stamina mengitari arena. Juga penonton dan penjudi.

Angkot yang kini berpenumpang dua―hanya diriku dan sopir angkot pemarah―masih bergeming di bibir swalayan. Terimpit kanan-depan-belakang oleh mobil-mobil dari luar kota yang saban minggu menyesaki dusun ini. Selagi menanti satpam swalayan mengurai kendaraan dan manusia sekitar, mataku menerawangi perhelatan tinju. Menatap, pandangku terus menetap pada arena berpenerangan lampu sorot di keempat sudut. Entah hipnosis apa yang menyeret kakiku keluar dari angkot, mengangsurkan ongkos angkot seadanya, dirutuk sopir angkot tersebab ongkos yang kusodorkan padanya ia rasa kurang.

Sekarang tatapku lekat bertambat terhadap pertandingan tinju di depan swalayan baru kota kecil ini. Berdiri berendengan dengan lelaki paruh baya yang bergempita. Wajahnya berseri-seri, bola mata berkantungnya berbinar. Tangan kiri mengepal ke udara, tangan kanannya menuding-nuding kedua petinju. Sabankali ia merisak dalam bahasa kasar setempat, menggoyah-goyah nyali lawan. Berisik sekali. Mungkin, di ronde sisa, jagoannya nyaris menyesap angin juara.

“Siapa versus siapa?”

“Si Geheng, jagoan saya.”

“Yang merah?”

Anggukan lelaki itu mengiyakanku. “Yang satunya lagi, heh, entahlah, apa peduli saya.”

Kemudian ia bersorak mengelukan nama Geheng, manakala mendapati petinju berkostum merah itu sukses meninju dada. Bahu. Dagu. Pelipis lawan. Begitu seterusnya, sampai lawan kepayahan. Sekali lawan terjatuh duduk, namun bangkit lagi. Jatuh lagi. Bangkit lagi dengan sempoyongan.

Rupanya ingatan yang bertandang barusan bersua dengan kenyataan. Aku bertemu Geheng sekarang. Kutelisik sosok lelaki berpelindung kepala, berkaus tanpa lengan dan celana gombrang dan sepatu setengah betis serba merah itu. Ya, aku mengenali matanya. Tajam. Sorotnya menikam lawan tanding yang berkostum serba biru. Lagi, kepalan demi kepalan Geheng layangkan tepat sasaran: ke perut kerempeng; dada ciut; bahu ringkih. Ke wajah lawan yang berpulas lebam.

Ronde ini disudahi denting lonceng. Tersisa satu ronde. Kudengar dari lelaki sebelah, sedari awal Geheng mendominasi pertarungan. Sudah kuduga. Ketahuilah, aku lebih mengenal Geheng daripada Anda, tandasku dalam hati terhadap lelaki pengagum tinju itu; alias lelaki penjudi yang menadah rezeki nomplok dari memar tubuh Geheng.

Aku teringat salah satu bincangan kita suatu malam. Katamu, orang berandal boleh kehabisan simpati, namun tidak untuk satu hal: nyali. Geheng meladeni lawan yang kurasa lebih banyak memutar otak ketimbang memelintir lawan oleh bertubi-tubi kepalan, begitu tangkas mengemudikan arah dan ritme dan tenaga kepalannya, cergas berkelit dari bogem-bogem lawan tak bertujuan, bagai hanya terlahir untuk perhelatan tinju malam ini. Seolah tergolong spesies kucing yang punya sembilan nyawa. Menurutku, setetes pun Geheng tak segan mati.

Dusun ini banyak berubah. Geheng tak berubah.

*

Kurasa, dengan mudah kau dapat menerka juara perhelatan tinju amatir di arena depan swalayan baru ini. Geheng, teman sebangkuku di sekolah dasar, didaulat sebagai juara. Sungguh, rinduku pada teman begundal itu tergenapi malam ini. Sudah kuputuskan menghampirinya usai perut bersimbah keringat dan gurat masa lalu itu dilingkarkan sabuk emas juara. Kuharap ia mengenaliku, yang sama sepertinya, masih begini-begini saja. Tak banyak berubah, sebaliknya dari dusun ini.

Ruap bahagia berkat berjumpa dengan teman lama alhasil mewujud. Aku khusyuk menyaksikan prosesi pelingkaran sabuk emas. Namun seketika gendang telingaku berdentum hebat. Kurasa… itu bukan tabrakan mobil yang risau berkat macet. Astaga, ya, itu desingan peluru! Seperseribu detik berselang, terpekik histeris penonton dan pengunjung swalayan perempuan. Kau benar, dusun ini sungguh berubah.

Tak usah menunggu dua-tiga jenak, detik ini kudapati juri, penonton dewasa, penonton bocah, penjudi berlompatan ke arena, memastikan nyawa Geheng. Lamat-lamat kudengar ia telah gugur di arena oleh peluru. Bukan oleh petinju.

Aku membanting pandang. Motor dua tak yang meraung-raung barusan telah melesat kilat, memburakan asap putih menyesakkan berbau gasolin yang tak terbakar sempurna. Namun tiada sadar mata dan benakku merekam beberapa detail. Pengendara depan bertubuh raksasa, berjaket hitam. Entah wajahnya; tersungkup helm full face. Ia membonceng lelaki kurus berompi kulit cokelat. Dari perawakan bungkuk, hidung bangir, bibir tipis lelaki berompi, ya, aku yakin pernah melihat, bahkan mengenalinya, kau pun pasti mengenali bapak peot bertopi lebar dengan tona suara menyebalkan itu. Setiba di rumah, aku masih gundah, mengapa malam itu Pak Guru menjelma penjudi yang sungkan mengakui sabuk emas Geheng? Dusun ini banyak berubah.[]

Bandung, Oktober 2013

Photo credit: Lucho Vidales

2 Komentar

  1. No comment


    Spam dulu
    Gaya berfoto anak sma jaman sekarang
    http://23to35.blogspot.com/2016/05/gaya-berfoto-anak-sma-kekinian-salah.html

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama