Aline


“Terima kasih rotinya. Tumben kamu bawa oleh-oleh,” cibir Mama.

Aku sekadar menyahut dengan alis dan rengutan wajah. Mataku menerawangi televisi tanpa hasrat, membuang sesal pada siaran langsung Liga Inggris Sabtu malam. Manchester United versus Stoke City. Heran, biasanya segunung penat gara-gara kuliah, praktikum, dan tumpukan usang naskah cerita anak, mendadak pupus saat menonton tim kesayanganku bertanding dan menang seperti malam ini. Sekarang, beginilah.

Mama tak tahu riwayat roti-roti dalam kotak kuning itu. Pedih. Meskipun sebenarnya nasibku menenteng sekotak roti ke rumah tidak segetir hidup Jaden Smith dalam film The Pursuit of Happyness. Malah lucu, setelah kupikir kembali. Sayangnya, makhluk bernama galau mengenal lucu dan pilu sama baiknya.

*

Aku melompat turun dari bus antar kota. Usai empat jam duduk gelisah di dalam bus sambil terus merutuk kemacetan sepanjang ruas tol, akhirnya aku dapat menghirup hawa dingin kota kelahiranku. Sekali saja naik angkot dari terminal ini, aku sudah bisa bertemu Mama. Melampiaskan hasrat perut dan lidah, usai tiga bulan berlapar-lapar lantaran mengirit amunisi bulanan di kosan.

Tapi, kurasa Mama bakal senang kalau aku membawa oleh-oleh. Sayang sekali, aku bukan orang yang suka menjinjing kresek berisi oleh-oleh khas dari kota tempatku kuliah ke sini. Ribet. Sejak kapan sih laki-laki suka berepot-repot?

Ruas jalan dari terminal menuju rumah Mama cukup lengang. Sambil mengemudi, sopir angkot santai mengobrol dengan penumpang sebelah. Membincang cuaca. Dan sepakbola. Sedang diriku masih kepikiran oleh-oleh untuk Mama. Mungkin lebih baik membeli makanan di sekitar sini, ketimbang tanganku tak menenteng apa-apa; cuma membawa tubuh kurus dan ransel merah lusuh ini ke rumah.

Lampu merah mengadang laju angkot. Pengamen-pengamen bocah berhamburan ke setiap angkot, termasuk ke dalam angkot yang kukendarai. Suara kecrek dan alunan memelas dan fals dari mulut kering bocah kucel bau ludah kering itu seketika memantik ide tentang oleh-oleh. Mataku berbinar melihat toko roti di seberang persimpangan.

*

“Selamat datang di toko roti Kincir,” sapa pelayan laki-laki. “Silakan.”

Begitu masuk, aku langsung disambut wangi sedap roti dan cake, dan sapaan ramah pelayan yang sebelumnya membukakanku pintu, dan setelah ku masuk, pelayan laki-laki itu masih menguntitku. Aku risih.

“Biar, saya pilih-pilih sendiri aja, Mas,” ujarku sambil tersenyum sopan.

“Oh, boleh,” lantas ia menyodorkanku nampan kuning beserta penjepit merah, selaras dengan warna dominan interior toko roti yang serba kuning dan merah hati.

Dua roti sudah teronggok di atas talamku. Sambil menyusuri etalase, pandanganku mengibas ke sudut toko. Meja kasir. Alat hitung. Dan gadis cantik. Kasirnya cantik sekali.

Sebagai lelaki, manakala menyaksikan kasir cantik itu, sontak jantungku berdentam lebih intens, mataku malas mengedip. Tanpa dikomando, sekarang aku sudah berdiri di hadapannya. Kasir itu duluan menyapaku.

“Ada yang bisa saya bantu?”

Ada. Kenapa bukan aku yang duluan menyapamu?

“Eh, enggak,” aku tergeragap. “Pudingnya ada, Mbak?” tanyaku spontan. Aku ingat, Mama suka sekali puding dari toko roti Kincir.

Kasir itu menggeleng. Anggun sekali.

“Maaf, pudingnya habis. Barangkali mau coba chocolate cheese cake, Mas? Atau red velvet?” tawarnya mempromosikan produk selain roti.

“Hmm, enggak. Saya pengin roti aja. Ada rasa lain?”

Kasir itu meninggalkan mejanya. Menemaniku mengitari etalase kaca. Dia sungguh cantik dengan rambut kemerahan yang disasak. Berbalut seragam hitam dan celemek merah hati, kulitnya nampak putih, namun tidak pucat. Seputih pualam. Hidungnya tidak mancung, tapi di mataku sangat padu mempercantik oval wajahnya yang sudah cantik. Senyumnya menyejukkan. Apa lagi?

“Udah lama kerja di sini?”

“Tiga tahun, Mas,” sahutnya, “sejak toko roti cabang sini buka.”

“Wah, lumayan lama, ya,” tanggapku. “Tinggal di mana?”

“Enggak jauh dari sini,” dan kasir itu menyebut nama jalan sekitar persimpangan ini. Jalan itu tak jauh dari jalan depan rumahku.

“Oh, ya? Rumah kita berdekatan, dong,” seruku. Kuduga modusku kali ini bakal menuai kesuksesan. Tidak seperti modus-modus di kampus yang acap gagal. Dengan sabar, kasir cantik itu menanggapi serentetan pertanyaan dariku yang beraroma modus. Modus terselubung. Terutama pertanyaanku perihal nomor telepon.

“Nomor telepon toko? Hmm, sebentar, Mas. Saya cari dulu, ya,” sambil melengos hendak mencari buku telepon atau mungkin dus roti yang biasa mencantumkan nomor telepon.

Aku lekas mencegahnya, “Bukan! Maksud saya, nomor hape… kamu.”

Sebenarnya aku tersipu kala menodong nomor handphone. Namun, demi kelancaran modus, apa pun harus diusahakan, kan?

“Oh,” lagi-lagi dia terkekeh. “Boleh. Tapi, buat apa?”

“Ya, kalau tiba-tiba ibu saya ngidam roti, jadi gampang, kan? Tinggal telepon kamu,” kelitku dari motif sebenarnya.

Dengan mulut menahan tawa, kasir itu mengeja angka demi angka yang bila digabung barulah sempurna sebagai nomor handphone.

Setelah itu kami berjalan berdampingan. Aku senang sekali mendengarkan suara gurihnya memaparkan apa-apa produk dan seluk beluk toko roti ini, yang bagiku tidak lebih penting dibanding siapa yang sedang memaparkan.

“Ada lagi?”

“Dua lagi, deh,” pintaku. “Roti cokelat keju kismis sama roti isi jagung manis. Jadi, semuanya enam, ya.”

“Boleh,” katanya sembari mengambilkanku dua roti menggunakan penjepit plastik. Ya, tadi aku memang risih dikuntit pelayan. Namun siapa yang menolak kalau yang menguntit dan mendampingiku secantik kasir sebelahku?

“Udah, Mas? Enam aja?”

Aku mengangguk. Jemari lentiknya cekatan mengemasi roti-roti ke dalam kotak dus kuning bercorak teratai merah hati. Astaga, gadis cantik tetap saja cantik walau sedang sibuk menunaikan tugas. Wajahnya pancarkan ramah. Bibirnya selalu tersungging. Kupikir, tak semua karyawan toko kue atau toko roti atau toko apa pun punya senyum semurah dan seramah kasir cantik ini.

“Biasanya toko tutup jam berapa?”

“Sembilan,” singkatnya. “Kenapa, Mas? Mau nganter saya pulang?” ia cekikikan.

Spontan aku melirik arloji dan menatap jam dinding toko. Lima menit lagi pukul sembilan.

“Sembilan? Pulang bareng aja, yuk,” bujukku.

Dia ketawa. “Enggak usah. Udah biasa pulang malam, Mas.”

Baiklah. Aku takkan memaksanya. Kurogoh dompet dari saku belakang celana usai kasir itu menyebut total harga roti-roti yang kubeli. Mata dan jarinya lincah menelusuri recehan dalam laci alat hitung. Dan ia menyodorkan uang kembalian kepadaku beserta bill. Kasir itu mengucap terima kasih, silakan berkunjung kembali.

Aku masih bergeming di depan meja kasir. Tak biasanya, kuamati bill yang kugenggam. Memindainya saksama, mulai dari nama toko roti hingga nama kasir. Nah! Namanya Laras. Ah, sebentar. Sepertinya aku terkenang masa lalu. Aih, jangan-jangan… kasir ini…

“Kamu Laras? Alumni SMP 5?”

Kasir itu tercekat. Dan mengangguk cepat. “Kok tahu?”

“Wah, dunia itu sempit, ya. Kita kan satu sekolahan, dulu!”

Sembari meringis, Laras melipat-lipat bibirnya, tampak sedang mengingat-ingat masa lalu.

“Sorri. Tapi, kok, aku enggak inget kamu, ya? Atau, aku lupa?”

Ya, ya. Dulu, aku memang tidak populer. Sekali saja populer, yakni saat terjerembap ketika babak penyisihan classmeeting basket. Aku tak pandai bermain basket, namun karena populasi laki-laki di kelasku lebih sedikit dari perempuan, terpaksa aku main. Hasilnya, tim basket kelasku jadi juru kunci pada babak penyisihan.

Barulah saat kudedah peristiwa memalukan itu kepada Laras, nampak dia tercerahkan. Tentu saja Laras mengingatnya. Dulu, aku jatuh mendarat tepat di hadapan Laras yang sedang duduk menonton. Kami pun sama-sama tertawa mengenang kekonyolanku. Dan paras Laras semakin cantik kala tertawa lepas.

Lima menit berlalu. Aku masih terpaku dan terpukau di muka kasir sambil menenteng kresek berisi kotak roti, masih ingin lanjut berbincang bersama Laras sampai toko roti Kincir tutup, dan ia pulang. Bersamaku, kuharap.

“Udah pukul sembilan. Beneran enggak mau pulang bareng?”

Laras menggeleng. “Kamu duluan aja. Biar cepet istirahat. Capek kan empat jam duduk melulu di bus?” tuturnya manis.

Ah, Laras perhatian sekali. Sudah kuputuskan untuk menghubunginya melalui chat nanti malam. Dan kuharap, reaksi selanjutnya bakal bergulir seperti yang kuharap. Semoga.

“Wah, Aline ikut jemput? Duh, Aline pasti kangen, ya, sama Mama? Mama juga…,” seru Laras sekonyong-konyong. Wajahnya semringah melihat siapa yang baru saja datang ke toko ini. Laras semakin cantik kalau bahagia.

Mataku turut bertambat pada siapa yang sedang disorot Laras. Lelaki muda berperawakan tinggi kekar tengah menimang anak kecil bergelimun jaket tebal pink. Tersemat bando merah hati pada dahi mungil anak itu. Kuduga, usianya belumlah genap dua tahun. Dan lelaki berkulit bersih, berpipi kasar sebab cambangnya nampak subur itu tersenyum padaku. Aku terlongo, namun lekas membalas senyumnya.

“Aline, ini ada Om. Temen lama Mama,” tutur Laras seperti bernyanyi, seraya meraih anak kecil dari lengan lelaki muda berambut kelimis berombak itu. Beberapa kali Laras mengecup pipi, dahi, dan segenap sudut kepala mungil Aline. Seandainya aku jadi Aline, enak sekali.

Aline sama cantiknya dengan Laras, Mamanya.[]

Bandung, Oktober 2013

Photo credit: Callie Elizabeth C

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama