Rumah Kaca yang Kemudian Retak


Cukup lama roman pemungkas ini saya selesaikan. Sebab begitu menggemaskannya tokoh Pangemanan dengan dua n ini yang bertindak sebagai sudut pandang Aku di dalamnya. Sehingga kadang saya muak, kemudian menutup hingga melemparkan buku ini, namun kemudian saya pungut lagi karena saya sadar kalau keempat jilid buku ini telah saya idam-idamkan sejak 2006, baru kesampaian sepuluh tahun kemudian.

Melalui Rumah Kaca, saya jadi paham, rupanya Polisi dan Jaksa dan aparatus-aparatus apalah itu memang diajarkan untuk "begini" oleh pemerintahan kolonial sejak dahulu kala. Saya jadi tak merasa heran dan sungguh takkan merasa heran bila menyimak berita-berita perihal hukum yang jauh dari logika lurus yang semestinya orang waras pikirkan serta putuskan, namun demikianlah kenyataan.

Gubernur Jenderal Idenburg adalah kunci yang menakdirkan ritual bersih-bersih di tanah air jajahannya dari orang-orang serevolusioner Minke. Pangemanann ia pensiunkan dari Kepolisian usai keberhasilan Komisaris Polisi itu menumpas Minke, kemudian mengangkat Pangemanann ke tempat yang lebih mulia di Algemeene Secretarie. Kerjaan Pangemanann di sana tak jauh-jauh dari mengurusi orang-orang organisasi yang bagai cendawan banyaknya, muncul satu per satu pasca Raden Mas Minke dibuang dari pulau Jawa.

Namun bergantinya masa bakti Idenburg di Gubermen menjadi titik balik nasib Pangemanann. Kebijakan Gubernur Jenderal yang baru amat lain dengan Idenburg yang biasa mengambil jalan sekeras batu guna menumpas pembaharu di Hindia semacam Minke. Langkah-langkah yang ia ambil malah mirip dengan Gubernur Jenderal selang satu periode sebelumnya―Van Heutz―yang suka mengambil jalan lobi dengan tokoh-tokoh Terpelajar Pribumi sehingga keadaan bangsa jajahannya takkan memburuk seperti masa kekuasaan Idenburg di mana terjadi penggelumbangan arus massa yang menghendaki revolusi, meski memang tak berakar sekuat prinsip-prinsip Minke Sang Pemula.

Jika mengenyampingkan emosi yang terudak-udak selama membaca Rumah Kaca, sebetulnya menarik menyaksikan tingkah laku mantan Komisaris Polisi itu dalam menghadapi persoalan-persolan. Termasuk masalah rumah tangganya yang hancur lebur akibat terlalu batu mengejar-ngejar jabatan tanpa menambatkan perhatian pada istri dan anak-anaknya. Padahal setelah bertahun-tahun, puluhan tahun bahkan karena ia mengaku sejak muda sudah seambisius demikian, hasil yang ia tuai dari pengorbanan tersebut sekadar ketersisihan dari pemerintahan Gubernur Jenderal baru. Kebijakannya yang berbeda membuat peranan "algojo" pembaharu-pembaharu organisasi di Hindia ala Pangemanann tak lagi dibutuhkan.

Juga bagaimana jantung dan kehidupan Pangemanann berdegam-degam ketika Rientje De Roo―pelacur kelas atas langganan yang mestinya melayani ia malam itu―ternyata terbunuh dan ditemukan oleh Agen Polisi klas satu beserta buku harian sang pelacur yang mencatut nama Pangemanann di situ. Ia kemudian dengan susah payah, mengerahkan segala upaya semacam mengutang ke Bank guna menyuap mantan juniornya di Kepolisian bernama Sarimin itu agar segera memutihkan namanya dan menghanguskan alat bukti berupa buku harian si pelacur itu.

Konyol sekali menyaksikan si Pangemanann megap-megap dan memohon-mohon terhadap juniornya sendiri―junior yang kini lebih lihai "bermain" dibanding ia sekalipun, semuanya demi mengutuhkan kehormatan diri yang semenjak lima puluh tahun lalu ia jaga senantiasa. Selamanya mungkin kelemahan laki-laki adalah pesona lawan jenisnya. Dan bajingan selamanya takkan sama-sama menyadari dirinya sebagai bajingan.

Pembebasan dan kepulangan Minke dari pembuangan rupanya bukan jalan yang baik baginya. Barangkali memang sudah diprediksi dan diharapkan oleh Gubermen. Kommers yang telah meninggal, Nyai dan Jean Marais yang jauh di Eropa sana permukimannya, Prinses Kasiruta yang konon dibuang ke Ambon. Dan rumah hasil jerih payah beserta isinya di Buitenzorg yang telah dikuasai oleh Pangemanann. Kebebasan Minke adalah pembuangan yang ternyata lebih jauh lagi, dan... hanya Tuhan yang Maha Berkehendak.

Nasib Pangemanann tentu tak lebih baik. Pada akhirnya dia pasrah mengakui dosa-dosa dan kebebalannya, justru hanya di hadapan seorang perempuan bernama Madame Sanikem Le Boucq alias Nyai Ontosoroh. Nyai yang ditakdirkan atau malah diharuskan untuk tabah sepanjang hidupnya itu mampu menembus jantung dan hati Pangemanann, lantas daripadanya dapat ia putar rekaman penderitaan Minke belakangan ini yang ditentukan hanya oleh tanda tangan sang pejabat Algemeene Secretarie itu.

Memang Pram tidak menasibkan tokoh picik yang membuat saya beberapa kali mengempaskan buku ini dengan kematian, padahal saking gregetnya saya berharap Pangemanann lekaslah mampus. Hidupnya cuma bikin menderita seantero Hindia saja. Namun barangkali, kematian adalah hukuman yang terlalu mudah. Sisa-sisa kehidupan seseorang, sendirian, pada senja usia tanpa keluarga yang mencintainya, tanpa jabatan, tanpa teman, tanpa harta benda yang telah begitu saja menguap, justru adalah hukuman yang paling adil di Bumi Manusia yang dibuat-buat begini oleh keserakahan manusia sendiri.

Melalui roman terakhir Rumah Kaca yang diretakkan sendiri oleh si Pemiliknya―Jacques Pangemanann, Pram mungkin menyelipkan pesan: bila kau ingin saksikan kehidupan tanpa kosmetik kemunafikan dengan segala kebebalan yang dirias-riaskan, belajarlah dari seorang bajingan![]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama