Betul menurut pengantar dari penerbit, roman ketiga ini menyoal pengorganisasian perlawanan Minke yang tentu pula merekam jejak-jejak langkahnya―sebagaimana judulnya―dalam menggapai cita-citanya demi Hindia yang waktu itu masih negeri fana. Yah, utopis sekali sosok Tuan Minke ini. Masih adakah orang pers seperti dia sekarang, di zaman yang kerja media nyari duit melulu dengan mengudarakan sampah-sampah?
Jikapun hidup pada masa sekarang, masa negeri tercintanya sudah merdeka, masa yang katanya sudah memasuki masa reformasi penuh kebebasan berekspresi serta kemerdekaan berserikat. Saya yakin akan gatal-gatal pemerintah apabila tidak menciduk kemudian mengasingkan pemuda sebatu Minke. Apalagi sekarang toh pasal Ujaran Kebencian dan Pencemaran Nama Baik begitu multi guna untuk diaplikasikan penjahat-penjahat kelamin anggaran negara, maupun kelamin benaran.
Pram sungguh pandai menjungkat-jungkit plot. Mula-mula dikisahkan Minke masuk STOVIA di Batavia yang otomatis ia dapat meninggalkan permasalahan hidup selama ini yang selalu berkutat dalam problema Nyai lagi Nyai lagi. Padahal dia toh tak pengin-pengin amat jadi dokter, sebab katanya ujung-ujungnya cuma bakal jadi mantri cacar. Angan lain yang baginya lebih luhur membuatnya bertahan di Batavia.
Belum lama belajar di sekolah kedokteran khusus pribumi itu, ia ujug-ujug gagal begitu saja―tak serta merta ujug-ujug, tentu saja Pram meramu konflik-konflik kecil menjurus padanya―akibat pemecatan oleh Direktur sekolah. Jauh hari sebelum dipecat dari sekolah dinas itu, Minke ketemu tunangan temannya―Terpelajar Tiongkok yang "digugurkan" di Surabaya―di sekitar Pecinan kumuh, dalam waktu singkat tertarik pada kecantikannya yang sederhana, kemudian menikahi perempuan bernama Mei tersebut. Namun sayang nasibnya harus serupa dengan Bunga Akhir Abad―istri pertamanya. Mati.
Pram lebih lihai dibanding presenter infotainment yang suka berteka-teki itu; pemirsa dirangsang untuk mengait-ngaitkan antara kemiripan nama Mei dan May―putri Jean Marais, yang rupa-rupanya berencana dijodohkan oleh Nyai Ontosoroh, Nyai yang kini telah menikah dengan ayahanda May itu. Padahal setelah berpuluh lembar pembaca menghabiskan kepenasaran, mereka urung kawin. Akhirnya malah menikahi perempuan yang seakan diturunkan dari langit untuk tiba-tiba hadir dalam kehidupan si Phyloginik itu.
Memprakarsai organisasi pertama di Hindia yang tiada berusia lama dan kalah pamor dengan Boedi Oetomo. Bikin lagi. Timbul masalah. Ganti nama sedikit supaya agak beda dengan yang menghendaki perpecahan. Seiring itu, Minke merintis majalah mingguan dan harian "Medan". Surat kabar dan majalah pertama yang berbahasa Melayu bukan Melayu Gubermen atau Sekolahan supaya mudah dipahami masyarakat kecil. Ia bagai terlahir untuk merintis segala yang serba pertama. Intinya begitu, tapi saya mumet membaca bagian-bagian yang berbau organisasi; ternyata sedari dulu organisasi itu betapa sulit untuk didirikan dengan tujuan, kepentingan, semangat yang sama antar anggota. Selalu ada yang merasa paling.
Dilahirkan kembali tokoh mata-mata―semacam si Gendut dalam roman sebelumnya―dari pejabat komisaris Polisi, yang pada akhir roman ketiga ini seolah berkhianat terhadap Minke dengan menyekapnya tanpa Pengadilan, padahal semula ia menyamar sebagai pengarang Pitung, memohon-mohon padanya ke sana ke mari agar karangannya itu diterbitkan oleh "Medan".
Yang mengejutkan sekaligus gregetan, roman pemungkasnya "Rumah Kaca" yang baru saya baca pengantar dan sedikit bab pertama barusan, rupanya beralih sudut pandang dari Minke menjadi komisaris Polisi bernama Pangemanan dengan dua n itu.[]