kemarin, aku beli ponsel baru
yang bisa sign in aneka social media baru
ponsel lama tak bisa begitu-begitu
kuno, kata orang-orang yang sebelumnya berponsel kuno itu
aku unduh social media yang konon membuhul kadar gaul
path namanya
mudah saja, tinggal kemukakan nama, surat e, kata sandi
ah, sama saja ya
apanya yang baru?
aku invite orang
yang agak kukenal, yang sepertinya bisa dikenali
betul, cuma kasur yang mengenaliku
hasil penelaahan tiga hari tiga malam
di lubuk kesendirian dibantu temaram
ketika ngepath, kita harus ria
baiklah, aku akan berusaha ria
eh, sebentar, aku bukan orang kaya
apa yang mungkin aku riakan?
setumpukan buku di meja mewujud bukit freeport
aku tak punya rak buku
aku potret buku-buku itu
cukup delapan buku
dari seratus buku
ponsel berdering
notifikasi path
temanku, sebut saja raflesia arnoldi, mengomentari foto buku
“aaaak, pinjam dong.”
sejenak aku bingung sebelum balas
“sebentar, kau sendiri, tak pernah meminjamiku awake-mu?”
“maksudmu?”
“yah, kalau tak mau pinjami awake-mu, boleh kuminta tubuhmu?
esoknya, aku tak melihat lagi awake dia di akun path-ku
sore ini, aku pupus akun social media baru maupun social media lalu
berburu social media yang lebih baru lagi
yang tak ada ria lagi
dan aku menemukannya:
jamban terminal
di sana aku bisa melihat orang yang bangun pagi
anak kecil yang main kecrekan
secara live
yang paling penting
setahuku, preman terminal tak doyan buku.[]
karadenan, 13 april 2014
yang bisa sign in aneka social media baru
ponsel lama tak bisa begitu-begitu
kuno, kata orang-orang yang sebelumnya berponsel kuno itu
aku unduh social media yang konon membuhul kadar gaul
path namanya
mudah saja, tinggal kemukakan nama, surat e, kata sandi
ah, sama saja ya
apanya yang baru?
aku invite orang
yang agak kukenal, yang sepertinya bisa dikenali
betul, cuma kasur yang mengenaliku
hasil penelaahan tiga hari tiga malam
di lubuk kesendirian dibantu temaram
ketika ngepath, kita harus ria
baiklah, aku akan berusaha ria
eh, sebentar, aku bukan orang kaya
apa yang mungkin aku riakan?
setumpukan buku di meja mewujud bukit freeport
aku tak punya rak buku
aku potret buku-buku itu
cukup delapan buku
dari seratus buku
ponsel berdering
notifikasi path
temanku, sebut saja raflesia arnoldi, mengomentari foto buku
“aaaak, pinjam dong.”
sejenak aku bingung sebelum balas
“sebentar, kau sendiri, tak pernah meminjamiku awake-mu?”
“maksudmu?”
“yah, kalau tak mau pinjami awake-mu, boleh kuminta tubuhmu?
esoknya, aku tak melihat lagi awake dia di akun path-ku
sore ini, aku pupus akun social media baru maupun social media lalu
berburu social media yang lebih baru lagi
yang tak ada ria lagi
dan aku menemukannya:
jamban terminal
di sana aku bisa melihat orang yang bangun pagi
anak kecil yang main kecrekan
secara live
yang paling penting
setahuku, preman terminal tak doyan buku.[]
karadenan, 13 april 2014
Tags:
fiksi
wow
BalasHapuswow juga
Hapusdiriku gak kenal path .. gak suka eksis kang soalnya takut ada yang naksir lg hehe
BalasHapushaha gapapa, kang. toh sama aja kontennya kayak socmed lain. selama penggunanya alay ya alay aja wkwkk
Hapus