Piknik itu Pelik

 

Manusia itu makhluk yang rumit. Kerja eight to five Senin sampai Jumat, kadang pulang telat demi loyalitas. Memasuki akhir pekan, pengin berenang pun, mesti nyampur sama om-om, tante-tante, cabe-cabean dalam satu kolam. Kayak cendol. Macet-macetan dan menginvasi Kota Bandung yang sekarang lagi Instagramable dan Pathable banget, bikin orang Bandung asli jadi mati gaya gak bisa ke mana-mana. Tapi atas nama refreshing, kita seolah wajib menunaikannya setiap pekan, kayak salat Jumat.

Pada hari Minggu beberapa waktu lalu saya ke Taman Bunga sama Si M. Ceritanya melepas stres sejenak sepulang dari presentasi pra sidang sama Pembimbing di Cirebon pada pekan itu. Ketenteraman memang terasa, di sananya doang tapi, cuma tiga jam pikiran ini rileks (dan selfie berdua). Sementara sepanjang jalan menuju ke sononya wuuhh... malah bikin tambah stres. Kami mesti menempuh tiga jam perjalanan dari Citeureup, tapi itu belum apa-apa. Kalo kami terlambat berangkat setengah jam aja, bisa lebih molor lagi tuh.

Sudah rahasia umum jika kita ingin liburan ke Cisarua, Puncak dan sekitarnya, pasti macet. Akibat jumlah kendaraan menuju ke sana tidak sepadan dengan lebar jalan. Sehingga sudah pasti muncul kebijakan buka tutup jalan antara dua arah secara bergantian. Biasanya berselang satu jam, atau kalo udah parah banget, bisa gantian dua jam sekali buka tutupnya. Itu untuk kendaraan beroda empat ke atas. Kalo buat motor sih gak terlalu kepengaruh, sebab kendaraan roda dua ini masih diperbolehkan melaju dari kedua arah oleh Polisi. Tapi..

Ya.. gitu deh. Kudu waspada pisan, apalagi kalo kita melaju berlawanan arus dengan jalur yang sedang dibuka. Saya biasa cari aman memacu motor dengan lambat asal selamat, mendekati garis putih bahu jalan. Gegara ini, waktu tempuh pulang dari Cibodas ke Ciawi yang normalnya satu setengah jam siang itu, bisa lebih molor satu jam karena saya mengendarai motor secara pelan-pelan dan lumayan sering berhenti. Minggir sejenak ngasih jalan Fortuner, CR-V, bahkan bus yang gak sadar bodi ngebutnya minta dibaledog sapatu.

Tapi atas nama refreshing, kita seolah wajib menunaikannya setiap pekan, kayak salat Jumat.

Itu kalo naek motor. Gak tau deh kalo naek mobil pribadi kayak orang-orang berpelat B itu. Mungkin dua jam hanyalah waktu tunggu yang tersia-sia. Setelah dua jam, baru deh bisa nyalain mesin mobil. Itu pun nyetirnya mesti konsentrasi dan ekstra hati-hati, karena dapat dibayangkan suatu arus yang sebelumnya dipaksa berhenti, kalo mendadak dibuka sekonyong-konyong akan menderas lah, paheula-heula, khawatir jalur keburu ditutup lagi. Kayak emosi yang dipendam, sekalinya diumbar, rumah Syahrini bisa berubah jadi rumah-rumahan barbie.

Dan nyetir mobil itu bikin pegel tumit, betis, dan emosi. Saya pernah ngerasain. Apalagi berjam-jam bahkan seharian kedua tumit ini intens menginjak ketiga pedal (kalo yang transmisi manual) gegara jalanan padat diem, bukan padat merayap lagi. Padahal hari Minggu. Besok Senin mesti kerja lagi. Kerja itu capek, menguras tenaga dan pikiran. Selama kerja pikiran mendesak pengin cepet-cepet hari Jumat biar cepet weekend. Begitu hari Sabtu tiba, kita nyetir mobil lagi dari Jakarta ke Bandung, macet-macetan belasan jam. Dan hari Minggu macet-macetan lagi di Puncak. Besok Senin lagi. Dan siklus berulang.

Saya jadi bingung kalo gitu. Apakah rekreasi atau piknik yang kita tunaikan pada akhir pekan membuahkan tujuan rekreasi itu sendiri? Usai piknik, rilekskah pikiran kita? Segarkah raga kita? Bersemangatkah kita menyongsong Senin esok, hari yang selalu penuh kecencian?

Seringkali akhir pekan memerlukan effort yang lebih sinting dari hari kerja. Biasanya pada hari kerja agar seseorang hanya fokus ngurusin kerjaan, gak mikirin hal gak penting semacam kemacetan, ada supir yang sigap antar jemput ke mana pun. Sementara pada akhir pekan seseorang rela nyupir sendiri ratusan kilometer ke Bandung hingga pulang tengah malam demi rekreasi. Apakah kita bekerja lebih keras, mengerahkan segenap batas kemampuan manusia justru pada piknik akhir pekan? Bukan hari-hari setelahnya yang bernama hari kerja?

Jika ya, barangkali benar, kita memang makhluk yang rumit. Menganggap berakhir pekan dengan leyeh-leyeh di rumah terlalu sederhana.[]

4 Komentar

  1. Aku sering menyempatkan berakhir pekan bukan hanya bertiduran di kamar. Tapi sebisa mungkin keluar naik sepeda atau naik bis menju suatu tempat yang tidak terlalu jauh :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. mantap broh. emang kegiatan dalam rumah dan luar rumah sama pentingnya. kudu seimbang :)

      Hapus
  2. piknik weh depan rumah hahaha biar ga macet :p

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama