"Cepy! Bapak Cepy!"
Segera saya masuk kamar konsultasi dengan kepala kliyengan lantaran sudah menunggu Dokter datang sejak sejam lalu dan tenaga yang semakin apa adanya.
"Kenapa, Cepy?"
Dengan mesem terlebih dahulu, saya menjawab, "Awalnya masuk angin, Dok... terus..."
"Badan segede gini bisa juga masuk angin ya," Dokter sipit gemuk itu menyela.
"... terus berlanjut ke perut. Perih banget rasanya. Dugaan saya asam lambung naik."
"Hmm.. gak bener nih kamu makannya pasti."
"Hehe.. seminggu kemaren pola makan saya kacau, Pak, eh Dok..."
Memang demikian, bila saya ingin sepenuhnya jujur, seminggu kemarin saya memang jarang makan nasi. Saban pagi saya minum segelas susu dan mengudap berpotong-potong gorengan. Siangnya makan mi instan dengan nasi. Sorenya saya malas makan nasi, paling-paling.. yah, mi instan lagi, atau kebab, atau cimol, atau... gorengan lagi. Mumpung libur, jadi turut pula meliburkan pola makan sehat yang sudah susah payah saya jaga. Tapi mustahil saya mengutarakan serinci demikian kepada Dokter tua galak namun kadang jenaka ini.
"Muntah-muntah, nggak?"
Saya mengangguk.
"Hamil jangan-jangan?"
"Enam bulan sepertinya, Dok.."
"Enam bulan apanya, dua tahun itu!"
Setelah tuntas membaca riwayat kesehatan saya, Dokter tionghoa itu menghela napas, "Ya sudah... silakan berbaring, Cepy."
Saya berbaring dan menyingkapkan kaus untuk memudahkan Dokter memindai kondisi pencernaan dengan stetoskopnya. Beberapa titik beliau periksa, kemudian menggeleng-gelengkan kepala, "Mi instannya habis berapa bungkus, Cepy?"
"Emm.. ya, gitu deh, Dok." Sialan, kok beliau bisa tahu saya kebanyakan makan aneka rupa mi semacam mi instan goreng, mi ramen instan, mi ramen di Pemda, dan mi-mi yang lain. Sepertinya muka saya semakin merah dan dekil (lantaran nggak mandi) dilontari pertanyaan headshot barusan. Selesai memindai, Dokter mempersilakan saya untuk bangkit dan kembali duduk di kursi konsultasi.
"Mencret-mencret juga, ya?"
Saya mengangguk. Hmm, jangan-jangan kondisi keuangan saya yang lagi minus ditambah kamera prosumer saya yang baru berumur tiga bulan dicuri orang sebulan lalu pun, Dokter itu tahu. Nanti saya ingin bertanya perihal nasib ah: Sepuluh tahun lagi, dapatkah berat badan saya seideal Matt Demon dalam film The Martian?
"Begini, Cepy. Jangan mentang-mentang badan gede ya. Makan teratur! Jangan makan mi melulu!"
"Kalau buah, gapapa, Dok?" tanya saya, sok gemar menerapkan hidup sehat, padahal akhir-akhir ini paling sebulan sekali doang saya makan buah-buahan. "Melon, atau.. mangga?"
"Boleh.. bagus sebenarnya.. Hanya saja jangan terlalu banyak dulu ya. Melon sifatnya dingin, banyak mengandung air, rawan buat lambung. Mangga juga kalau yang ada asemnya, yang belum mateng bener, mending jangan deh. Kalo cuma setengah buah gapapa lah ya.."
"Oke deh, makasih banyak, Dok!"
"Ya ya.. Cepet sehat, Cepy!"
Keluar dari kamar konsultasi, saya menyerahkan resep kepada kasir yang merangkap tukang obat. Kasir ibu-ibu paruh baya itu menyuruh saya berdiri di atas kayu yang biasa dipakai terapi kesehatan ala Tiongkok, dengan ujung jari-jemari bertumpu terhadap kayu tersebut, sementara posisi tumit menyentuh lantai. Kurang lebih seperti berdiri di atas sepatu berhak terbalik, yang membuat urat-urat betis saya tertarik.
"Tahan dua menit ya.."
Kedua betis yang menegang melahirkan bulir-bulir keringat dingin dari kepala. Dua menit yang sangat lama...
"Oke, sekarang berdiri pelan-pelan. Gimana? Entengan? Terus jalan-jalan sini.. Ringan sekarang, kan?"
Hmm.. bener juga ya... Terapi yang hebat!
Setelah menebus obat, saya segera pulang dan mengucapkan terima kasih.
"Cepat sembuh ya, Cepy! Hindari dulu mi ayam, mi bakso, mi ayam bakso, mi ramen juga..."
"Oke, Bu." Tahu aja Ibu Kasir kalau makanan tadi adalah sohib-sohib saya yang ternyata justru membuat saya sakit seperti sekarang.[]
Segera saya masuk kamar konsultasi dengan kepala kliyengan lantaran sudah menunggu Dokter datang sejak sejam lalu dan tenaga yang semakin apa adanya.
"Kenapa, Cepy?"
Dengan mesem terlebih dahulu, saya menjawab, "Awalnya masuk angin, Dok... terus..."
"Badan segede gini bisa juga masuk angin ya," Dokter sipit gemuk itu menyela.
"... terus berlanjut ke perut. Perih banget rasanya. Dugaan saya asam lambung naik."
"Hmm.. gak bener nih kamu makannya pasti."
"Hehe.. seminggu kemaren pola makan saya kacau, Pak, eh Dok..."
Memang demikian, bila saya ingin sepenuhnya jujur, seminggu kemarin saya memang jarang makan nasi. Saban pagi saya minum segelas susu dan mengudap berpotong-potong gorengan. Siangnya makan mi instan dengan nasi. Sorenya saya malas makan nasi, paling-paling.. yah, mi instan lagi, atau kebab, atau cimol, atau... gorengan lagi. Mumpung libur, jadi turut pula meliburkan pola makan sehat yang sudah susah payah saya jaga. Tapi mustahil saya mengutarakan serinci demikian kepada Dokter tua galak namun kadang jenaka ini.
"Muntah-muntah, nggak?"
Saya mengangguk.
"Hamil jangan-jangan?"
"Enam bulan sepertinya, Dok.."
"Enam bulan apanya, dua tahun itu!"
Setelah tuntas membaca riwayat kesehatan saya, Dokter tionghoa itu menghela napas, "Ya sudah... silakan berbaring, Cepy."
Saya berbaring dan menyingkapkan kaus untuk memudahkan Dokter memindai kondisi pencernaan dengan stetoskopnya. Beberapa titik beliau periksa, kemudian menggeleng-gelengkan kepala, "Mi instannya habis berapa bungkus, Cepy?"
"Emm.. ya, gitu deh, Dok." Sialan, kok beliau bisa tahu saya kebanyakan makan aneka rupa mi semacam mi instan goreng, mi ramen instan, mi ramen di Pemda, dan mi-mi yang lain. Sepertinya muka saya semakin merah dan dekil (lantaran nggak mandi) dilontari pertanyaan headshot barusan. Selesai memindai, Dokter mempersilakan saya untuk bangkit dan kembali duduk di kursi konsultasi.
"Mencret-mencret juga, ya?"
Saya mengangguk. Hmm, jangan-jangan kondisi keuangan saya yang lagi minus ditambah kamera prosumer saya yang baru berumur tiga bulan dicuri orang sebulan lalu pun, Dokter itu tahu. Nanti saya ingin bertanya perihal nasib ah: Sepuluh tahun lagi, dapatkah berat badan saya seideal Matt Demon dalam film The Martian?
"Begini, Cepy. Jangan mentang-mentang badan gede ya. Makan teratur! Jangan makan mi melulu!"
"Kalau buah, gapapa, Dok?" tanya saya, sok gemar menerapkan hidup sehat, padahal akhir-akhir ini paling sebulan sekali doang saya makan buah-buahan. "Melon, atau.. mangga?"
"Boleh.. bagus sebenarnya.. Hanya saja jangan terlalu banyak dulu ya. Melon sifatnya dingin, banyak mengandung air, rawan buat lambung. Mangga juga kalau yang ada asemnya, yang belum mateng bener, mending jangan deh. Kalo cuma setengah buah gapapa lah ya.."
"Oke deh, makasih banyak, Dok!"
"Ya ya.. Cepet sehat, Cepy!"
Keluar dari kamar konsultasi, saya menyerahkan resep kepada kasir yang merangkap tukang obat. Kasir ibu-ibu paruh baya itu menyuruh saya berdiri di atas kayu yang biasa dipakai terapi kesehatan ala Tiongkok, dengan ujung jari-jemari bertumpu terhadap kayu tersebut, sementara posisi tumit menyentuh lantai. Kurang lebih seperti berdiri di atas sepatu berhak terbalik, yang membuat urat-urat betis saya tertarik.
"Tahan dua menit ya.."
Kedua betis yang menegang melahirkan bulir-bulir keringat dingin dari kepala. Dua menit yang sangat lama...
"Oke, sekarang berdiri pelan-pelan. Gimana? Entengan? Terus jalan-jalan sini.. Ringan sekarang, kan?"
Hmm.. bener juga ya... Terapi yang hebat!
Setelah menebus obat, saya segera pulang dan mengucapkan terima kasih.
"Cepat sembuh ya, Cepy! Hindari dulu mi ayam, mi bakso, mi ayam bakso, mi ramen juga..."
"Oke, Bu." Tahu aja Ibu Kasir kalau makanan tadi adalah sohib-sohib saya yang ternyata justru membuat saya sakit seperti sekarang.[]