Kehidupan adalah kopi; pahit, kafeinnya bikin asam lambung naik, akan tetapi dapat berubah manis jika ditambahkan gula. Menyehatkan bila disesap tak lebih dari dua kali sehari serta diseduh dengan air yang dijerang sampai mendidih betul.
Mengapa kok hidup ini terkesan tidak adil. Telanjur begini. Kenikmatan datang sesaat saja, selebihnya kita bergulat, bermandi dengan derita. Andai dirasiokan antara nikmat dan derita, barangkali cuma 1 nikmat berbanding tak hingga derita. Berterimakasihlah kepada huruf C; huruf C berusaha melamurkan huruf D dalam "Derita", kemudian melestarikannya sebagai memoar yang manis untuk didongengkan.
Manusia itu makhluk yang sempurna. Terlalu sempurna, sampai kadang saya menyesalkan stigma kesempurnaan yang disandang manusia.Tahukah kesempurnaan yang paling sempurna dari manusia?
Ketidaksempurnaan.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Malaikat tidak. Malaikat selalu baik. Setan tidak. Setan selalu jahat. Manusia? Bisa berhati mulia layaknya malaikat, namun dapat mendadak bersiasat lebih picik dari setan. Baik, baik banget. Jahat, kurang ajar. Bersyukurlah kita punya kedua-duanya.
Letak kesempurnaan manusia adalah akal. Melalui akal yang unik, kita diberikan kebebasan untuk berbuat apa saja; baik atau buruk atau abu-abu bukanlah masalah untuk Yang Maha Pemurah. Malaikat senantiasa patuh. Setan kukuh memberontak. Allah terlalu memanjakan manusia dengan akal yang sempurna, sampai-sampai manusia sendiri yang kini kewalahan untuk mengendalikan alur pikirnya supaya tersebut sebagai baik dan soleh. Supaya masuk surga.
Ada orang yang menghabiskan hidupnya untuk memperoleh kemuliaan dari harta, tahta, wanita-wanita. Sementara orang-orang baik, sayangnya mayoritas hidup hanya untuk bertahan hidup. Sebab andai senantiasa berbuat baik pun mereka sudah terlampau lelah dianggap sok baik oleh orang-orang jahat. Mental orang baik tidak sekuat orang jahat.
Untuk bertahan hidup di dunia hanya ada dua pilihan: menikmati pahitnya kopi ataukah menyamarkan pahit dengan gula. Jangan lupa aduk dengan doa. Namun bagi orang yang mulai memahami seluk beluk kopi, akan sadar bahwa tanpa gula pun, kopi sudah ada manis-manisnya. Kopi sekadar pelepas dahaga, penyegar pandang pada waktu jeda, sebelum waktu jeda berakhir, sebelum menjelang waktu sesungguhnya datang kemudian....[]