Kita diajarkan sejak dini untuk berbuat baik. Akan tetapi saya merasa, segelintir orang kerap menghambat kita untuk berbuat baik sekalipun niat kita sudah bulat untuk berbuat baik, sebelumnya.
Ketika kita menyeberang di zebra cross atau di jembatan penyeberangan, teman kita malah skeptis. "Ah, elah, Cep. Ngapain capek-capek naek tangga jembatan penyeberangan. Lagian jijik, banyak pengemis. Udah, lompatin pagar pembatas aja. Woles!"
Karena gak enak dan gengsi juga dibilang orang yang ribet patuh aturan, jadilah saya ikutan nyeberang sembarangan sehingga diklaksonin mobil-mobil bagus berpelat B di jalanan kota Bogor.
Suatu hari saya dengan teman laki-laki hendak ke kota Bogor dari kabupaten. Kita tahu bahwa memasuki kota Bogor, helm wajib banget dikenakan oleh pengendara maupun pembonceng. Memasuki perbatasan antara kota dan kabupaten, saya sampai mengingatkan dia berkali-kali untuk mengenakan helm. Jika tidak saya ingatkan, mungkin berangkat-pulangnya pun helm tetap melindungi ketiaknya, bukan kepalanya, alias ditenteng sepanjang jalan. Untung lagi mujur gak ada polisi, dan yang lebih penting, kepala dia gak bocor.
Begitupun dengan jalur forbidden. Kita, entah kenapa, sangat ingin melawan arus melalui jalur tersebut. Iming-iming cepat dan terbebas dari kemacetan jalur resmi yang semestinya, adalah hadis sahih untuk ditunaikan. Terus terang saya pun sering melakukannya.
Aturan dibuat untuk dilanggar. Begitu kata teman saya. Ada aturan saja kita masih melanggar. Bagaimana jadinya bila dunia ada tanpa aturan-aturan yang diciptakan Tuhan dalam kitab suci, maupun aturan-aturan yang dikreasi oleh manusia sendiri? Di surga saja, Adam dilarang untuk memakan buah terlarang. Tetapi Adam penasaran untuk mencicipi buah itu, kemudian imbas kepenasaran kakek moyang kita itu untuk melanggar titah Tuhan, masihlah dirasakan oleh anak-cucunya puluhan ribu kemudian.
Barangkali, manusia memang diciptakan untuk mematuhi larangan.
*
Yang menyebalkan, kerap kali orang yang sama sekali tidak berniat untuk melanggar, justru dia yang kerap apes tertangkap basah oleh pihak berwenang. Saya sering bernasib demikian.
Saat menghadapi ujian di sekolah atau perkuliahan, saya memang jarang menyontek kecuali jika kepepet banget. Tapi namanya juga siswa yang tidak sempurna dan kemalasan untuk belajar sering melanda, maka menyontek adalah metode paling mumpuni supaya lolos dari nilai merah di raport atau IP nasakom.
Sialnya, lantaran tidak terbiasa menyontek, mental saya kurang terasah untuk melakoni perbuatan yang mengadopsi metode gerilya ini. Orang lain mungkin sekali menyontek bisa memperoleh dua-tiga jawaban dalam lima menit, sementara saya sekali menyontek saja bisa 30 menit. 10 menit untuk melihat situasi; apakah saat itu guru sedang memperhatikan saya (padahal saya percaya guru itu tahu kegiatan menyontek di dalam ujian yang ia awasi, hanya saja malas dan gak merasa penting untuk menegur siswanya, mending BBM-an atau check in Path), 10 menit untuk memilih siapa teman yang tepat (dan gak pelit) untuk disonteki, dan 10 menit terakhir untuk membaca kode-kode ataupun menunggu gulungan kertas ninja dari teman. Itu pun belum tentu benar. Saya jarang menyontek karena energi yang saya keluarkan untuk menyontek justru lebih boros ketimbang energi untuk belajar.
Seingat saya, pernah beberapa kali saya ketangkap basah menyontek, dan malunya minta ampun, sampai kapok dan lebih memilih untuk bikin sontekan dalam secarik kertas kecil yang dilipat-lipat ketimbang menyontek sama temen (jangan ditiru ya, adik-adik manis). Sementara itu, yang setiap hari setiap saat setiap waktu seumur hidupnya mendedikasikan diri sebagai penyontek, belum pernah sekalipun teringkus oleh pengawas ujian. Sudah khatam jurus seribu bayangan dan jurus halimun kayaknya.
...energi yang saya keluarkan untuk menyontek justru lebih boros ketimbang energi untuk belajar.
Selain pengalaman getir menyontek, saya beberapa kali ditegur bahkan pernah dipaksa menghadap inspektur security perusahaan karena kecolongan tidak memakai id card saat sidak safety & security. Padahal, sebagian besar teman-teman lain pun jarang menjepitkan id card di saku kemejanya, sebatas disimpan di dalam tas untuk berjaga-jaga jika ada sidak. Saya sampai-sampai diancam dilaporkan kepada Kepala Departemen Human Resources, supaya almamater saya dicetakhitamkan dari program penerimaan Praktik Kerja Lapangan.
Dimarahin dan diancam sama penjaga perpustakaan pun pernah saya alami. Bermula dari dua teman yang meminta saya untuk meminjam buku literatur ke perpus. Menurut anjuran teman yang satu, buku itu jangan dulu dikembalikan karena masih ada yang belum dicatet. Menurut teman yang lain, woles aja, sekali-sekali melanggar aturan lah. Dan bodohnya saya menuruti keduanya, sehingga dua bulan kemudian saya mendapat peringatan dari penjaga perpus bahwa jika saya tidak mengembalikan pinjaman buku dalam 7 hari, maka seluruh mahasiswa lain dilarang untuk meminjam literatur lagi di perpustakaan.
Nah loh, saya juga yang kena getahnya, kan? Saya pula yang kena damprat? Mana tuh teman yang kemarin bilang woles, sekali-kali melanggar aturan? Diem aja, adem ayem.
Apakah kasus korupsi pun demikian? Sesungguhnya, tersangka korupsi yang tertangkap bukanlah pelaku utama, malah bisa pula yang bersangkutan sedang apes lantaran dahulu turut terhasut oleh kolega-koleganya yang justru jauh lebih licin dan busuk tapi tidak tercium aparat? Haruskah selain berbuat baik, kita belajar menyiasati orang lain supaya kita tidak ketahuan dalam berbuat tidak baik?
Mulai sekarang, berbuat baik saya niatkan bukan untuk orang lain atau untuk sekadar mematuhi peraturan, melainkan untuk diri sendiri. Karena berbuat baik dan berbuat buruk sama-sama mengeluarkan energi yang setimpal, akan tetapi menghasilkan dampak yang sangat lain. Setidaknya berbuat baik aman untuk ketenteraman hati, tanpa harus saya senantiasa berhati-hati menghindari kejaran aparat.[]
Memang agak aneh ya. Yang bener malah terlihat aneh karena kebanyakan orang berbuat tidak benar. Tapi kalau kita sudah bener jangan kebawa sama yang tidak bener. Kalau kita sudah ngasih tahu tapi ga didengerin ya biarin. Yang penting udah diingetin.
BalasHapusbener mas. yg penting kita berbuat apa pun diniatkan untuk kebaikan aja ya :)
HapusHahaha. Ini bener banget nih mas. :D
BalasHapusSuka bingung juga. Kadang yang salah itu yang dianggap benar, kita yang benar malah yang dimasalahkan. Well.... setidaknya prinsip kita aja mas dijaga.
Salam
haha iya kadang malah kita yang merasa salah :|
Hapussiap, punya prinsip yang penting ya.
thanks udah mampir, mas ryan :)
jangan bosen untuk berbuat baik.. kalo dibales jahat itu sih urusan dia sama Tuhan <-- quote orang :D
BalasHapussetuju :D
Hapus