Kemacetan Mudik dan Kenangan Masa Lalu Kampung Halaman yang Diciptakan Hanya untuk Dikenang


Lebaran adalah momen yang saya tunggu sekaligus saya benci. Pertemuan dan perpisahan dengan sanak saudara dan orangtua bagaikan sekadar terpisah jeda sesingkat bersin. Kala terjadi pertemuan, hati bergembira, sepulangnya mereka satu demi satu, timbul haru-biru kendati sudah berusaha saya tahan segenap upaya.

Dulu, saya begitu bersukacita bersama sepupu-sepupu sebaya saya kala menyambut lebaran. Salam-salaman dengan paman, uwa, kakek-nenek, kemudian pulangnya beli es krim dan bakso, belinya pake uang angpao. Kemudian sore harinya sama-sama beli mainan yang sedang ngetren pada tahun itu, semacam tamiya, beyblade, pistol angin, dan banyak mainan lain.

Sekarang?

Sepupu A menggendong anaknya yang berusia 2 tahun, sesekali menimang-nimangnya ketika menangis lantaran minta sesuatu yang menarik hatinya, semisal balon. Jemari kiri-kanan sepupu B dan C rimbun oleh batu akik segede kecoa, ke mana-mana nenteng senter, sementara mulutnya fasih membincang bebatuan sama bapak-bapak dan engkong-engkong (mungkin ia sudah mengkhatamkan buku philosophy of gemstone kalimaya, pancawarna, bacan). Sepupu D ngobrolin kegemilangan pencapaiannya selama ini yang sebetulnya biasa banget tapi begitu gurih sebab dibumbui nada tinggi, mirip sekali dengan gaya bapaknya ngomong (baca: sombong), dan saya seperti biasa manggut-manggut doang menyimaknya.

Waktu begitu cepat berlalu.

Sedikit sekali tetangga yang merupakan tetangga pada masa lalu. Sebagaimana anggota keluarga kami, sebagian besar mereka sudah hidup masing-masing di tanah orang, lebaran pun belum tentu mereka pulang karena bergiliran mudik ke rumah mertuanya. Lorong-lorong gang semakin sempit akibat renovasi rumah-rumah tetangga yang dijual ke pengusaha kontrakan belasan kamar. Sampah-sampah mudah ditemukan di pojok gang, saluran air kian mengkhawatirkan, karena hamparan sawah yang dulu adalah “pembuangan limbah rumah tangga” barangkali tersisa 40 persen saja karena dikerkah rumah-rumah pendatang.

Jangan tanya dengan hiruk-pikuk jalan raya. Padalarang hampir sama seperti Cirebon, sekadar perlintasan bagi Anda yang hendak mudik dari kota ke kampung halaman yang tidak menjadi “sekadar” ketika arus mudik dan balik tiba. Bedanya, pada hari biasa, di Padalarang memang sudah lumrah terjadi kemacetan. Saya dan kakak-kakak pun seringkali mengeluh kalau kebetulan harus pulang ke sini, terutama pada musim lebaran dan liburan begini.

“Jujur aja deh, Mah. Maaf, sebenernya gak betah kalo pulang ke sini tuh. Mau pelesir ke mana-mana malah macet. Gang menuju rumah kita makin sumpek aja. Serasa bukan kampung halaman,” keluh kakak saya sama Mamah. Memang, di sini bukan momen lebaran pun jarak empat-lima kilometer harus ditempuh satu setengah jam. Entahlah lebaran, lebih baik tak usah dihitung, bikin gendok.

Nomor satu, lebaran tentu saja adalah momen kita menyucikan diri pribadi kembali ke fitrah. Bersyukur kepada Allah yang tak pernah lelah menghujani karunia kepada kita, padahal sehari-hari kita lebih sibuk dengan urusan pekerjaan dan perut. Kedua, lebaran di Indonesia amat identik dengan mudik, dan kalau direnungi kembali, kita mudik bukan untuk pulang ke kampung halaman. Bukan.

Bukan semata untuk pelesir keluarga berdesak-desakan dengan ribuan orang di kolam pemandian air panas, malam harinya hura-hura sama temen-temen sampai larut. Melainkan untuk kembali ke pangkuan orangtua yang dari tahun ke tahun tidak butuh apa-apa dari kita. Kecuali kehadiran kita untuk sekadar menemaninya bercengkerama di rumah. Momen yang jarang kita jumpai pada hari-hari penuh kesibukan. Yah, mereka toh cuma butuh kehadiran anak-anaknya. Kalaupun memang tak sempat ke kampung halaman karena satu-dua urusan penting lain, cukup hubungi melalui udara, karena sejatinya orangtua tidak berada di kampung halaman, tapi di sini, di dalam hati anak-anak yang menyayanginya.

Taqabalallahu Minna Waminkum. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin, teman-teman.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama