Pernah penasaran gak sih, dari mana asal-usul nama Marie pada kue Marie? Siapa sih Marie?
Gara-gara Pak Irvan Karta, saya jadi diingatkan kembali tentang kue Marie, sebangun tidur tadi langsung beli ke minimarket. Entah gimana sejarah tepatnya kenapa kue Marie bisa sampai ke Indonesia. Besar kemungkinan berkat priayi-priayi yang disekolahin ke Belanda, dan kalau pulang kampung menenteng oleh-oleh kue Marie. Maklum, kebiasaan orang Indonesia kalau pulang dari bepergian suka bawa oleh-oleh buat keluarga, kerabat, sahabat. Dipalakin oleh-oleh lebih tepatnya.
Nama Marie berawal dari peringatan pernikahan Duke of Edinburgh dengan Grand Duchess Maria of Austria. Yang pernah baca Three Musketeers pasti tahu. Jadi kue Marie terlahir dari pernikahannya londo Inggris, Maria, kemudian disesuaikan dengan dialek Inggris menjadi Marie. Mungkin bakal lain halnya andai pernikahan itu terjadi di daerah Priangan. Jadinya kue Nyai. Atau kue Ceu Popong.
Semasa kecil, belum sekolah waktu itu, saya sudah mengenal kue Marie. Selepas azan subuh, sementara Mamah masih tidur dan Bapak baru selesai mandi kemudian menyeduh kopi, kala itu saya biasa menyeberang ke rumah Kakek (ayahnya Bapak) yang letaknya tepat di samping rumah saya. Duduk di jojodog (bangku pendek) menemani Nenek yang sedang menanak nasi, menunggu Kakek pulang dari masjid.
Setibanya Kakek, sesuai kebiasaannya berpuluh tahun, sudah mesti Nenek menghidangkan segelas susu untuk menemani beliau menonton televisi. Dan karena saban harinya saya merecoki keromantisan mereka, akhirnya saya pun dibikinin susu dalam gelas kecil. Selain susu, satu item yang selalu hadir di depan televisi adalah kue Marie! Kue londo Inggris! Layaknya keluarga Dodit, keluarga kami pun memegang erat budaya Eropa.
Kue gepeng legendaris itu kami cicipi bersama-sama setiap subuh. Merek kue yang biasa Kakek beli adalah Marie Tunggal yang punya tekstur agak keras (sehingga tidak mudah hancur saat dicelup) dibanding Marie Roma yang renyah (baca: gampang bubuk) ataupun Regal yang kerasa banget susunya tapi kerasa juga mahalnya. Sempat pula beliau beli merek Regal, legenda Marie Indonesia itu, namun rupanya lidah—dan mungkin pula dompet—Kakek lebih condong pada Marie Tunggal. Merek Marie yang pabriknya berada tidak terlalu jauh dari rumah, Jl. Jenderal Sudirman, perbatasan antara Kota Bandung dan Cimahi.
Kakek punya kebiasaan yang unik dalam memperlakukan kue Marie, yang kemudian saya tiru dan tunaikan sampai sekarang. Marie dicelupkan separuh ke permukaan susu, sekejap saja, kemudian beliau memamahnya segera. Pertama kali melihat, saya spontan meniru beliau, tapi rupanya saya terlalu lama mencelupnya, sehingga kue Marie keburu lumer dan terpisah dari bagian lain yang tidak tercelup susu. Alhasil separuh kue Marie itu pun kembali berbaur dengan nenek moyangnya setelah lama dipisahkan tuntutan industri: susu.
Seiring waktu, jam terbang saya dengan kue Marie semakin tinggi, keahlian mencelupkannya ke dalam susu kian terasah. Kadang, sepupu saya yang tinggal serumah dengan Kakek ikutan gabung bersama kami penganut sekte kue Marie dicelupin ke susu. Namun subuh demi subuh saya lebih sering menikmati segelas susu dan kue Marie bertiga saja dengan Kakek dan Nenek, sambil menonton Hikmah Fajar RCTI.
Beberapa tahun kemudian, semenjak mengenyam sekolah TK, entah kenapa saya tiba-tiba absen kemudian resign dalam pertemuan sekte kue Marie dicelupin ke susu. Mungkin lantaran mulai timbul perasaan malu karena selama ini saya telah banyak menggerogoti stok kue Marie Tunggal beliau.
Sesekali, kalau kangen momen waktu itu, saya suka menyeduh susu sendiri di rumah kemudian mencelupkan kue Marie ke dalamnya. Sampai sekarang juga. Tapi rasanya beda. Tidak senikmat segelas kecil susu yang diseduh oleh mendiang Nenek, dan selegit kue Marie yang tercelup kepadanya pada subuh hampir dua puluh tahun silam. Bener banget, momen mengesankan takkan pernah berulang, hanya bisa dipanggil dari memori, itu pun kalau kapasitas ingatan saya masih kuat, terutama kuat dalam menahan haru.
Sampai sekarang, Kakek masih ada. Usianya sudah hampir 90. Panjang umur. Mungkin selain berkat rajin minum susu, rahasianya adalah beliau rajin gerak jalan (termasuk gerak jalan ke masjid 5 waktu), senam sehat di halaman kantor kabupaten, dan rajin silaturahmi kepada siapa pun. Usia tidak berbohong, memang. Postur beliau mulai membungkuk, jalannya melamban. Dan semeninggalnya Nenek, beliau tinggal sendirian di rumah kesayangannya yang terletak di samping rumah orangtua saya itu.
Karena usia semakin lanjut, semenjak Desember tahun lalu, Kakek bermukim di rumah anak keduanya yang perempuan—adapun Bapak saya adalah anak pertama. Sesekali saja beliau pulang ke rumah tuanya itu untuk mengecek halaman depan maupun pekarangan belakang yang semakin ramai oleh belukar, yang di sana tersembunyi ular-ular. Atau barangkali bernostalgia di dalam rumah, memungut remah-remah kue Marie masa lalu, semasih ada Nenek yang selalu setia menyeduhkan beliau susu setiap subuh.
Semoga Kakek Marie sehat selalu.[]
Andai punya mesin waktu ya... haha
BalasHapusanalisis efisiensi mesin waktu
Hapus