Rumah yang Ada Halamannya


Dari dulu saya pengin banget punya rumah yang ada halamannya. Kampung halaman saya barangkali berbeda dengan anggapan sebagian besar orang yang bilang bahwa rumah di kampung halaman itu udah pasti asri, pekarangannya luas, kamar mandinya luas dan baknya bisa dipakai berendam sama anak-anak. Sama sekali tidak seperti itu. Kampung halaman saya di pinggiran Bandung terletak di permukiman padat, yang sekarang semakin padat saja oleh pendatang. Lingkungan rumah orangtua saya terdiri dari gang-gang sempit, tanjakan dan turunan yang pendek tapi curam, serta tikungan 90 derajat.

Jadi rumah kami di Bandung tidak punya halaman, hanya menyisakan sedikit tanah di belakang untuk jemuran. Selebihnya, ketika kita membuka pintu ruang tamu di depan langsung ketemu teras dan pagar mini.

Makanya saya agak sungkan mengajak teman yang dari Bogor bertandang ke rumah yang di Bandung. Khawatir ekspektasi mereka tentang Bandung mengacu kepada kesuksesan Ridwan Kamil saja. Ekspektasi tentang kampung halaman adalah ekspektasi kebanyakan, kampung yang beneran ada halamannya.

Misal udah jauh-jauh ngebis dari Bogor selama empat jam, sepanjang jalan mereka terus berkhayal nanti mau rebahan di atas tanah rumput yang ada bunga-bunga indah nan eksotik, metik stroberi langsung dari pohonnya di belakang rumah, metik duren langsung dijatuhin dari pohon ke kepala masing-masing. Eh ujung-ujungnya dijamin kecewa saat tiba di rumah saya yang ternyata sama aja dengan rumah di permukiman Citeureup. Rumah yang menyempil di dalam rimba gang-gang, rumah yang saling lekat satu sama lain.

Berbeda dengan rumah di Bandung, rumah orangtua yang baru dibeli setahun yang lalu di Bogor berada di perumahan. Namanya perumahan, otomatis di sini tersedia akses jalan dari gerbang utama yang lebarnya lumayan untuk dua mobil berjalan beriringan, tidak sesempit rumah kami di Bandung yang hanya masuk satu motor. Selain itu rumah kami di sini punya carport dan halaman walaupun, yah tidak luas-luas amat. Lebih dari cukup untuk menanam bunga-bunga dan pohon sawo mini.

Sawo mini yang buahnya masih sangat mini

Setahun ini saya senang sekali bisa tinggal di rumah yang ada halamannya. Tapi dasar manusia, lambat laun mesti ada hal-hal yang dikeluhkan. Capek mangkas rumput minimal tiga minggu sekali. Kadang malas untuk menyiram tanaman minimal sehari sekali pada pagi atau sore hari. Saya pun sempat sedih ketika kamboja jepang yang masih kecil itu hampir mati gegara dikerubuti batalyon semut kebun, akibatnya sampai pagi ini tak pernah berbunga lagi. Jujur deh, ini aneh banget. Emang kamboja jepang itu manis ya? Manisan mana sama Le Minerale?


Kamboja jepang, atau orang lebih ngeh dengan nama adenium

Bagaimanapun alam tak pernah berkhianat. Jika kita berbuat baik terhadapnya, alam akan melimpahkan lebih banyak kebajikan kepada kita. Aneka bunga dan tanaman di halaman kami juga demikian, yang perlahan tumbuh indah di atas tanah yang gak subur-subur amat karena bukan tanah asli alias tanah urugan. Meskipun lelah, memangkas rumput itu menyenangkan. Segar rasanya menyiram tanaman pada setiap pagi. Sekadar memandangi pun udah seger. Apalagi saat mendapati bunga asoka warna merah jambu yang kuntum-kuntumnya tampak menyembul, hendak mekar. Rasanya kayak ada manis-manisnya.


Asoka warna merah jambu

Selain kamboja jepang serta beberapa jenis bunga asoka yang warnanya macam-macam, di halaman mungil kami tumbuh bakung dan tanaman brokoli. Saya suka bentuk tanaman brokoli yang lucu. Selain itu tanaman brokoli gak pundungan, tahan terhadap perubahan cuaca maupun hama, tidak seperti kamboja jepang.

Bayi gelombang cinta yang masih ngendon di polybag

Tanaman brokoli. Enaknya dicapcay kali ya?

Ada pula gelombang cinta yang masih bayi, tricolor, melati biasa dan melati california. Saya tahu nama melati california dari abang-abang penjual kembangnya. Padahal dalam hati bertanya-tanya, emang di California ada melati? Bukannya di california mah adanya fried chicken? Sama halnya dengan pepaya California. Emang di sana pada doyan pepaya? Ah, apalah arti sebuah nama, apalagi nama bunga, yang penting enak dilihat.

Melati (katanya) california



Melati biasa, yang ditakuti sama temen saya karena bunga ini amat lekat dengan mitos

Pagi ini saya baru menyadari bahwa rumah yang paling ideal itu adalah rumah yang ada halamannya. Tak perlu luas-luas, cukup luangkan lahan sedikit saja untuk menanam bunga dan rumput. Yang saya rasakan, berkebun merupakan semacam kegiatan piknik yang paling murah.

Kita tahu, piknik itu bisa banget meluruhkan stres. Karena zaman sekarang, menghibur diri di dalam rumah takkan membuat kita terhibur. Nonton tv malah bikin emosi naik ngeliat dagelan politik yang tidak lucu, ftv trans tv yang berbau kdrt dan mistis melulu, masih mending ftv sctv yang selalu happy ending. Mau nimbrung niatnya buat happy-happyan di grup chatting, isinya malah ribut melulu, gak penting banget. Mau cari berita terkini maupun info-info ringan dari internet, bukannya bikin kita intelek dan menambah wawasan, malah mendorong kita buat ikutan perang komentar di artikel Sony Wakwaw Takut Naik Delman. Sungguh jauh dari sehat. Keluar rumahlah.


Sekarang saya punya cita-cita baru. Pengin jadi petani yang punya perkebunan luas, di mana rumahnya terletak di tengah perkebunan itu. Barangkali pada masa mendatang gak bakal lagi beredar beras dari plastik , karena perkebunan saya sudah bisa memenuhi pasokan beras seluruh Indonesia dengan harga terjangkau untuk segenap lapisan masyarakat. Pepaya asli Indonesia, bukan California. Apel asli Indonesia, bukan Fuji atau Washington. Durian Indonesia, bukan Bangkok. Haduh, mimpi macam apa ini... sudahlah, yuk berkebun![]

2 Komentar

  1. refreshing ke alam bebas memang paling enak, tp klo gak sempet ya berkebun didepan rumah juga udah asik. nice post !

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama