Mayoritas Masyarakat Indonesia adalah Perokok



Anda bukan perokok? Pernah gak ngerasa salting ketika nyempil sendirian di antara perokok yang dengan bahagianya mengepulkan asap rokok ke udara, atau justru tak jarang menerpa wajah kita? Bahkan lama-lama Anda malah merasa bersalah karena Anda tidak merokok?

Sejak kecil saya akrab dengan asap rokok. Bapak saya perokok. Kakak sulung saya perokok tingkat militan. Hari ini, keduanya sudah lama berhenti merokok. Saya sebagai laki-laki ketiga dalam keluarga, bukan seorang perokok. Apakah saya anak yang tertukar?

Jujur sih, dulu pernah iseng nyalain puntung rokok sisa Bapak di asbak, kemudian mengisapnya, istilah lebih tepat yaitu mengemutnya seperti permen. Rasanya, kayak ada manis-manisnya. Le Minerale aja kalah manis. Walaupun manis, saya tidak telanjur penasaran mengisap sebatang rokok utuh seperti teman-teman saya. Selain karena Bapak saya galak, saya lebih seneng ditraktir telor gulung dan maen gimbot di mamang-mamang daripada dikasih rokok sama temen. Kenyang, happy, dan bikin kegembrotan konsisten.

Semanis kamuh

Pas kerja di Cikarang, saya ngekos berempat bareng temen sealmamater. Tiga teman saya adalah perokok. Enam bulan makan, mandi, kentut bersama-sama mereka, lama-lama saya penasaran dengan persamaan ketiganya: sama-sama perokok. Saya ingin memulai untuk konsisten merokok sebagaimana mereka. Ya, harus konsisten! Sampai mati! (bener-bener salah gaul, ampuni saya Ya Allah)

Sepulang kerja saya diam-diam membeli Sampoerna Mild, ceritanya biar agak keren, bukan kretek cap kotak ajaib supaya gak terkesan kayak kakek-kakek yang baru belajar merokok. Langsung saya nyalakan sebatang di kosan. Cara saya memantik api sungguh kaku, maklum, perkara nyalain api, paling-paling nyetrekin pemantik gas elpiji kalau disuruh Mamah. Dua-tiga isapan terlampaui, akhirnya saya berhasil merokok! Yeay!

Kemudian datanglah tiga teman saya yang terkejut melihat mulut saya terselip rokok. Mereka mendukung niat dan tekad saya sambil meminta rokok saya. Sebagai perokok amatir, tentu saya harus memberi amunisi kepada suhu-suhu dengan penuh takzim, masing-masing satu (ngekos rame-rame itu kadang harus pelit).

***

Esok paginya, saya ngerasa ada yang aneh. Bibir kering. Napas memburu, dan kayak ada kelereng yang mengganjal di tenggorokan (atau kerongkongan ya?). Bangun tidur pagi itu perasaan pengin buru-buru minum yang manis-manis, makan yang banyak, dan merokok. Usai merokok, kerongkongan saya pulih lagi seharian itu, saya pun dapat bekerja sebagaimana mestinya. Namun esok pagi, kejadian sebelumnya terulang kembali. Sungguh menyiksa, setiap pagi jadi pengin segera minum yang seger-seger dan makan yang gurih-gurih. Padahal dulu gaji saya tak seberapa, UMR lebih dikit, alamat pemborosan nih kalau dilanjut.

Kamu lebih cocok kerja di sungai. Nyari batu akik.

Muak menjalani penderitaan saban pagi, pada hari keenam saya memutuskan untuk berhenti jadi perokok. Perokok delapan batang, perokok lima hari. Sisa rokoknya tidak saya lirik-lirik lagi, teman saya menanyakan di mana, saya sudah tak peduli. Tapi akhirnya teman saya menemukan bungkusnya dan menghabiskan sisa Sampoerna Mild tersebut sambil bilang, “Ah, gak laki lu.” Bodo amat. Yang penting masih suka sama cewek, meskipun kala itu gak ada cewek yang suka sama saya sih.

***

Walaupun sampai hari ini saya nyaman dan merasa sehat sebagai bukan perokok, sesekali suka merasa gak enak hati juga. Beginilah hidup, jadi perokok gak enak badan, bukan perokok, gak enak hati.

Gak enak hatinya tuh begini. Momen paling awkward bagi kaum bukan perokok adalah pada saat nongkrong bareng temen-temen cowok, apalagi sama bapak-bapak. Serba salah. Mau ngehindar dan pulang duluan, takut disangka ogah berbaur dan dicap antisosial. Mau tetep nimbrung di situ, pengapnya minta ampun. Dan lagi, mau tetep di situ pun mau ngapain? Bengong doang ngisep asep? Ikutan ngobrol? Hmm, gak tahu kenapa, kadang malah suka rendah diri kalo ngobrol sama perokok di mana saya sendiri gak ngerokok. Guna menggantikan rokok, supaya gak nganggur, paling-paling saya ngemil, itu pun kalau camilannya ada. Kalo gak ada pilihan lain, mau ikut-ikutan ngerokok? Nah, ini pernah saya lakukan, akan tetapi sekarang tindakan tersebut enggan saya ulangi karena sungguh memalukan

Jadi perokok, gak enak badan. Bukan perokok, gak enak hati.

Beberapa tahun lalu lebih dari separuh temen cowok di kampus adalah perokok, sekarang beberapa sudah ada yang berhenti. Suatu malam ada acara bakar-bakar di rumah temen. Sembari membakar ayam di pekarangan rumah, sebagian besar cowok pada ngerokok ria. Beberapa jenak saya cuma bengong, ngemil jagung bakar, tiba-tiba teringat masa lalu di mana saya pernah merokok selama lima hari, kemudian gagal. Demi menjaga harga diri, saya pun menerima tawaran sebatang rokok dari mereka, kemudian menyalakannya dengan tingkah seperti biasanya, rikuh ala amatiran.

Sedikit demi sedikit, saya mengisapnya dengan metode sendiri yang menurut saya sih oke-oke aja. Tapi…

“Beuh, Si Cepy. Ngerokok kayak niup lilin ulang tahun.”

“Rokok itu diisep loh, Cep! Bukan ditiup!”

Semuanya cekakak-cekikik. Ingin rasanya menyeka bara di pucuk rokok ke hidung mereka satu per satu. Sialan, belum tahu mereka saya pun dulu pernah jadi perokok! Perokok delapan batang dalam lima hari!

“Lihat dong Si Reja, menghayati banget. Keren. Kayak di iklan-iklan djarum super pas scene camping di gunung.”

Memang, Reja, temen saya yang juga pembaca setia blog ini sejak bernama tanah, air dan udara, cepyhr doctrine, cepybreak, hingga nama yang sekarang (sudah saatnya engkau beranjak dari lingkaran kesesatan gue, Ja), waktu itu ikutan merokok juga. Dasar emang dari sononya gerak-gerik dia udah keren sih. Cara dia merokok yang tampak profesional justru menuai pujian dari segenap perokok senior. Padahal dia bukan perokok. Sama seperti saya. Tapi mengapa nasib Reja sungguh bertolak belakang? Di situ kadang saya merasa gendut.

Apalagi temen-temen penulis di @kelasanggit. Bah. Cuma dua cowok yang gak merokok. Demi menjaga harga diri, yaudah saya cuek aja, dengan manis menyimak pelajaran kursus setiap sore yang gak pernah ngebosenin sih, selalu ada hal baru, tapi di lain pihak, jujur, makin petang pasokan udara di dalam paru-paru semakin menipis, Bos! Oksigen oksigen!!

***

Sekarang, aneka peringatan mengenai dampak, akibat, bahaya merokok sudah dikemas kian terstruktur, masif, sistematis. Secara tersirat maupun tersurat. Bungkus rokok makin serem gambarnya, kayak di luar negeri. Film bioskop yang diputar di tv, adegan merokoknya disensor. Iklan leher bolong akibat kanker macam-macam pun ditayangkan dalam commercial break maupun secarik advertorial surat kabar. Kurang serem apa coba.

Tapi kenapa kok masih banyak yang merokok? Ya iyalah, habitat perokok tuh di luar, nongkrong outside. Makanya pada jarang nonton tv, baca majalah, sumpek katanya kalo di dalem rumah melulu ngisep asep sendiri. Masalah bungkus rokok yang menyeramkan, itu sih tergantung mindset masing-masing. Simpelnya, ya beli aja bungkus rokok yang terbuat dari kaleng, terus buang deh bungkus kardus horornya. Well done.

Mayoritas perokok adalah laki-laki. Kata cewek, laki-laki selalu salah. Tapi sekarang, cewek pun banyak ah yang merokok. Jadi, kesimpulannya? Saya perokok yang gagal.[]

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama