Adakah Satu Hari Tambahan Sebelum Hari Senin?



Semasih sekolah SD dulu, saya suka mengkhayalkan cara menghentikan waktu pada Minggu sore, mengatur hari sekehendak hati oleh tombol pause, rewind, forward pada tombol remote VCD merek Sinko (abal-abalnya dari merek Sony) yang Bokap baru beli. Supaya Senin tidak dengan cepat menjelang, sehingga saya masih bisa bermain di luar rumah sama sepupu dan tetangga. Khayalan memang sekadar khayalan. Esoknya, saya harus mengikuti upacara Senin pagi, sebagai pembawa map Pancasila atau pembaca UUD 45.

Hari demi hari berlalu, sampai tiba Sabtu sore sepulang latihan Pramuka, betapa senangnya saya menyambut malam Minggu, karena bisa menonton televisi dan tidur agak malam.

Saya sempat bekerja dan kuliah, dan memang, sekarang hari libur bertambah dengan Sabtu, tidak seperti saat sekolah yang cuma Minggu. Namun, saya rasa dua hari tersebut berlalu lebih cepat dua kali lipat. Apalagi, ada-ada saja acara yang harus ditunaikan pada Sabtu dan Minggu. Undangan pernikahan teman, sepupu, tetangga, rekan kerja, dan sebagainya. Pacaran atau nongkrong sama temen-temen pada malam Minggu. Esoknya, Minggu sudah menghidangkan acara kumpul komunitas, pergi piknik keluar bersama keluarga besar. Niat tidur siang yang sudah direncanakan semenjak Senin pun tinggal rencana yang mahal harganya.

Sekarang, esensi akhir pekan bukanlah hari yang benar-benar libur—hari untuk istirahat. Sabtu dan Minggu tidak berbeda dengan Senin sampai Jumat, adalah hari yang sama-sama sarat oleh rutinitas tersendiri. Pada Senin hingga Jumat kita bermacet-macet menuju tempat kerja, sedangkan Sabtu-Minggu kita pun suka tidak suka harus bermacet-macet menyisir destinasi wisata di dalam maupun luar kota.

Azrul Ananda, pada rubrik Happy Wednesday di harian Jawa Pos mengatakan demikian. Menurutnya, di kehidupan "modern" ini, weekend bukan waktu istirahat, melainkan telah menjelma sebagai dua hari penuh obligasi, yang belum tentu membuat kita segar lagi sebelum menghadapi kembali Senin dan seterusnya. Jalan-jalan keluar kota, menemani anak-anak (yang sejak bangun tidur pada Sabtu pagi merengek) bermain ke mal. Kondangan, segala macam reuni, dan kumpul aneka komunitas pun sudah menjadi budaya baru yang biasa terselenggara pada akhir pekan.

Berbeda dengan saya yang cuma bisa berandai-andai ada satu hari tambahan sebelum hari Senin, Bos Jawa Pos itu mengakali ganasnya hari-hari dengan cara bersepeda (road bike) pada Rabu sejak pukul empat sampai setengah sembilan pagi bersama teman-teman gilanya, menempuh jarak sekitar 101 kilometer. Rute bersepeda yang seram dan porsi latihan yang berat dari akhir pekan. Seusainya, Azrul kembali pada kesibukan, dengan raga dan pikiran yang kembali segar. Ia mengistilahkan kegiatannya tersebut sebagai "Rabu Pemecah", "Rabu Ceria", atau "Happy Wednesday".

Selain bersepeda, menurut Azrul, kalau kita suka membaca, mengapa tidak mencoba menuntaskan buku dalam satu hari. Atau membaca semua huruf yang ada di majalah mulai sampul depan sampai sampul belakang. Apa saja yang kita sukai bisa dilakukan pada Rabu, pada pagi atau sepulang kerja, demi memecah kepenatan hari-hari, melakukannya dengan intens, sambil keluar dari zona nyaman.

Kita tak bisa menyalahkan entah siapa filsuf yang sudah mempartisikan hari menjadi tujuh, mengapa tidak delapan saja, supaya ada hari lain sebelum hari Senin. Senin akan selalu menjadi Senin yang dibenci. Selasa akan selalu menjadi Selasa. Jumat belum tentu TGIF. Sabtu dan Minggu belum tentu istirahat total dari rutinitas, bahkan bisa jadi lebih berat dari rutinitas Senin sampai Jumat.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama