Jujur bro sis, sejak pertengahan tahun lalu, hasrat menulis gue menyusut seperti tisu yang diperas, termasuk menulis di blog ini. Dua tahun lalu, ketika masih ikut kelas menulis, gue begitu ambisius untuk menjadi terkenal dari menulis. Padahal… kenapa dulu gue alay banget. Sepertinya metamorfosis manusia itu: bayi, anak-anak, remaja, alay, alay banget, sok tahu + sok alim + sok filsuf, alay lagi, baru deh dewasa. Sekarang gue udah memasuki fase “alay lagi”.
Gue bukan siapa-siapa, kemampuan gue gak ada apa-apanya, isi otak gue sesepi jalanan rawan begal. Apa lagi sesudah mencoba membaca aneka buku dari beragam penulis. Angan gue bagai mimpi di siang bolong, kenapa ya gue dahulu lebih memilih makan roti mimpi dan menolak makan singkong beneran.
Sebetulnya ada sedikit penyesalan, kenapa dulu gue malah iseng menelanjangi dunia yang sama sekali asing bagi gue, bagi masa lalu gue, bagi latar belakang kehidupan gue. Kehidupan keluarga gue jauh banget dari budaya membaca, apa lagi menulis. Kami, hampir semuanya, sepertinya lebih menonjol di bidang eksak dan bidang kuliner alias urusan perut hahaha. Sejak kecil bokap lebih seneng membantu gue mengerjakan peer matematika, dan ogah-ogahan nerangin peer bahasa indonesia.
Gue semakin malas sekaligus tahu diri dalam berkecimpung di dunia pena, setelah Jonru Ginting terkenal pasca Pilpres 2014 berkat sihir pena tajam daringnya, padahal sebelumnya page dia betapa alangkah sepi banget. Jauh sebelum itu, mata gue pun perih banget mengikuti kontroversi buku 33 tokoh sastra bla-bla-bla, ataupun kasus Sitok Srengenge mencabuli daun muda, yang entah apa kabarnya sekarang?
Gue terlalu lugu untuk menilai sosok penulis sebagai sang sempurna, sang tauladan. Dulu gue anggap seenggaknya penulis berpotongan idealis macam Soe Hok Gie dan setabah Tan Malaka dan sevokal Pramoedya. Namun ternyata sama saja, ataukah hanya ketiga itulah yang pantas jadi maskot anti feodalisme, neolib, kapitalisme, atau isme-isme lain entahlah itu. Penulis itu ada yang mata duitan. Ada yang seolah “pabrik buku”. Ada yang sok tahu politik, berhasil populer gara-gara itu, pun sebaliknya, yang males ikut-ikutan politik namun tetap “mahal”. Yang terlalu idealis pun banyak, sampai-sampai gue segan kepadanya, sehingga malah malas “kenalan” dan minder belajar darinya.
Tahun demi tahun berlalu, semakin gue bertemu, mengenal berbagai macam karakter orang, percaya deh, di bidang apa pun, manusia tetaplah manusia. Termasuk bidang percapuccinocincauan atau tahu jeletot 2500 sebiji doang. Sama aja. Ada yang nyebelin tapi sebenernya baik. Ada yang jutek dan sampai kapan tetaplah jutek. Ada yang baik dan kalem padahal diem-diem boker di pasir.
Seharusnya, dulu, gue belajar aja yang bener. Ngerjain tugas-tugas kuliah, tanpa nyontek, praktikum. Mengisi waktu senggang, dulu harusnya gue belajar ngegambar, ngembangin bakat terpendam di masa kecil gue. Iya, di masa kecil, gue gak pernah menjuarai lomba deklamasi, mengarang bebas, apa lagi nulis cerpen yang bisa nembus majalah bobo. Gue dari dulu seneng ngegambar walau pun selalu ditertawakan kakak karena selalu ngegambar orang kurus berkaki panjang, sosok yang berkebalikan dengan bodi gue, tapi gue seneng-seneng aja, dan lumayan, justru pernah sekali juara 1 lomba seni lukis pas SD. Padahal gue gak nyogok apa pun sama jurinya, suer deh. Jurinya bukan Hakim Sarpin kok.
Pas SMP, pernah dipuji guru kesenian gara-gara bikin tipografi (tentu, baru sekarang-sekarang aja gue tahu istilah tipografi hahaha) Times New Roman dan Old English, dan disuruh buat menggali bakat seni terpendam tersebut, demikian nasihat beliau. Sayangnya, gue gagal paham maksud guru kesenian yang bernama Bu Retno itu, dan selulus SMP lebih memilih masuk ke STM biar cepet dapet kerja di pabrik. Percayalah, dulu belum ada Rene Soehardono yang menggaungkan bahwa passion bisa jadi berasal dari kegiatan yang sering dan senang kita lakukan semasa kecil.
Seharusnya sedari tiga tahun lalu gue sadar, menulis bukanlah seberapa hebat kita merangkai kata-kata puitis, bergenit-genit dengan diksi-diksi langka; selangka badak bercula satu, mengelindankan secara paksa kata-kata dengan sesuatu yang lain, metafora katanya, terkecuali yang kemampuannya udah memadai, minimal udah tamat baca bukunya George Orwell atau Max Havelaar, gak kayak gue. Menulis, cukup dari hati, tapi itulah yang sulit menurut gue.
Menulis adalah seberapa efektif kita menyampaikan sesuatu kepada pembaca. Doakan gue untuk berhasil kembali jadi alay. Sesungguhnya alay sebahagian daripada iman. Iman kebahagiaan.
Jadi, putih emas atau biru item?[]
Tags:
gue banget
Gw yakin itu putih-emas #masihaja ... Stay alay, cep ! Tulisan lu bagus klo lg alay.. ;v
BalasHapusnjir.. sarua euy :v
Hapusputih emas dooong.. !!! hahahaha..
BalasHapusCeritamu mirip2 ya sama ceritaku. Cuman bedanya aku lebih keras (baca: gak punya kasihan), sehingga memilih DO. Dan tugasku sekarang sih cuma ngebuktiin kalau aku bisa lebih unggul dari 3 anaknya ibukku yg sudah sarjana itu..
Menulis "apa aja" aja.. gak usah banyak mikir mau jadi ini itu. Bukanlah "jadi ini itu" itu rata-rata awalnya cuma iseng?
hahaha sama nih, putih emas! berarti, dominan otak kirikah kita? hmm
Hapussiap laksanaken. yang penting happy :D
menginspirasi banget mas..hehe
BalasHapushmm.. haji lulung jauh lebih inspiratif, mas :)))
Hapus