Adakah Fulus yang Tulus?


Sepulang dari kerja praktek hari terakhir sore kemarin, saya langsung pulang, padahal ada piutang pertemuan satu mata kuliah, namun saya memutuskan untuk skip saja. Badan pegel-pegel, kepala pusing, otak semrawut mikirin hal-hal yang gak semestinya dipikirin.

Karena bosan melewati Cibinong, saya pilih melalui Sentul dan selanjutnya menembus jalan Kandang Roda. Selain bosan, alasan saya memilih jalan lain adalah menghindari kemacetan yang bengkak sepanjang Cibinong. Namun ternyata saya keliru. Sentul juga macet.

Dengan seliweran motor dan truk sebagai sekadar bumbu, antrean mobil pribadi mengular sekitar satu kilometer sebelum persimpangan Sirkuit Sentul. Di sana memang terdapat empat gerbang tol yang otomatis setiap saat memuntahkan mobil-mobil yang dibawa oleh orang-orang sibuk eight to five. Pendek kata, sama aja macet banget lewat Sentul juga.

Di tengah kemacetan, saya pandang sekilas wajah-wajah di balik kaca mobil yang kebetulan terbuka separuh. Kebanyakan sih kusut-kusut, mungkin bahagianya sudah habis pada pagi, siang sejak lima hari kemarin. Pengendara motor pun sama. Semuanya tampak ingin buru-buru sampai rumah; salip kanan, salip kiri, hampir menyerempet bodi mobil yang dikendarai wajah-wajah kusut itu. Termasuk saya mungkin, saya pengendara motor yang ingin lekas tiduran di rumah, menikmati suasana sendiri, benar-benar sendiri, setelah seharian selama lima hari kerja harus berinteraksi dan beramah-ramah dengan para manusia pekerja.

Apa sih yang yang bikin mereka rela bermacet-macet dari rumah ke tempat kerja, dan pulangnya pun sama macetnya? Tulus hati? Memang sudah panggilan jiwa? Bukan, sepertinya. 

Duit. Fulus, bukan Tulus.

*

Hal satu ini dilema. Kita mengenal uang terlalu dini. Melihat pesawat melintas di atas tiang jemuran, kita diguyoni oleh orang-orang tua kita supaya minta dijatuhi uang kepada pesawat. Perkara disuruh-suruh pun, perlu disogok terlebih dahulu, misalnya: "Ayolah, dek, beliin terasi. Nanti kembaliannya buat kamu."

Di sekolah dasar. Supaya kita semangat belajar, kita disuguhi harapan akan masa depan oleh guru-guru kita. Rajin-rajinlah belajar, supaya kelak jadi dokter, pejabat, polisi, jenderal, insinyur, presiden bahkan. Pendek kata, biar kelak jadi orang, sabda mereka. Kalau sudah jadi orang, bakal banyak uang, kaya raya, rumah luas, mobil banyak, istri cantik, anak cucu sehat. Hidupmu pasti bahagia, anak-anak. 

Menghadapi kemacetan di Sentul, dua ingatan tersebut saling bertayangan. Banyak juga yang berhasil mengaplikasikan titah guru-guru di masa kecil mereka. Profesi petani sudah selangka profesi tukang patri (tambal) panci. Semuanya memilih bekerja di ranah-ranah yang guru masa kecil mereka sebutkan. Aneka profesi yang berpotensi menelurkan uang lebih cepat. 

Buat apa lebih cepat? Tentu harus cepat, sebab uang-uang itu untuk mencicil mobil yang mereka gunakan dari rumah (yang juga diperoleh melalui kredit) ke kantor. Untuk belanja, kosmetik, arisan istrinya. Untuk liburan ke luar kota, padahal luar kota itu sama macetnya. Biaya les dan pendidikan anak-anaknya, di mana di sekolah masing-masing, kemungkinan besar anak-anak mereka pun disuapi petuah-petuah yang sama dengan mereka: rajin-rajinlah belajar, supaya kelak jadi orang, banyak uang.

Tulisan ini sulit sekali saya lanjutkan, karena saya belum pernah berada pada posisi sangat kekurangan uang atau sebaliknya, setiap hari tidur berselimut uang.

Seandainya uang tak pernah diciptakan... dan sepertinya Tuhan memang tak pernah menciptakan makhluk bernama uang. Manusia yang menciptakan, mengedarkan, membelanjakan, memboroskan, memalsukan, menyelewengkan uang. Barangkali jika sudah bosan, manusia akan memusnahkan uang. Menggantinya dengan batu akik bacan.[]

----

Dengarkan juga versi podcast-nya di Podcast Keluar Rumah Episode 6:

8 Komentar

  1. jadi pengen kerja lagi spy punya fulus :(

    BalasHapus
  2. This is why dalam orderan vectorku, aku tidak menuliskan "fast response". karena fast response artinya butuh duit banget hahaha..

    Aku tuh cuma butuh ada duit ketika butuh. Itu saja hahaha.. Gak perlu banyak2 asal cukup dan ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hmm, bener juga ya. baru ngeh tentang fast response -__-

      semoga rezeki kita selalu dicukupkan ya mas! aamiin

      Hapus
  3. fulus fulus fulus... cari fulus yang banyak asal cukup klo banyak tapi gk cukup siasia dong masih aja kurang hehehe
    semangatt untuk mencari fuluss yang tulus

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener juga ya, percuma banyak tapi kita gak ngerasa cukup :(

      yuk gan semangat :D

      Hapus
  4. Tulisan yang menginspirasi. Trims sudah mengingatkan.

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama