Quick Count dan Khotbah Jumat

Khotbah Jumat kali ini membuat saya tidak bisa terkantuk-kantuk di masjid seperti biasanya. 

Khotib memulai dengan cerita pengakuan John Plummer―kapten pesawat tempur Amerika―yang menyesal sebab pada masa lampau telah melakukan pengeboman di Trang Bang, 40 km dari Saigon, Vietnam, ketika perang Vietnam berkecamuk pada 1972. Ditemani pesawat tempurnya, ia melayang di atas permukiman warga yang membaur dengan hamparan sawah dan ladang. John memacu pesawatnya cukup tinggi, ia tak berani terbang pada ketinggian rendah, sebab telah mengancam di darat sana para penembak jitu Vietnam. 

Beberapa saat kemudian bom berhasil membumihanguskan perkampungan itu. Tugas John telah selesai. Anehnya, ia pulang ke barak dengan hati ketakutan, bukan penuh oleh gempita kemenangan: cemas andai bom yang ia empaskan justru menjilat orang-orang sipil tak berdosa tak berdaya.

Tiga hari kemudian, John melihat headline koran militer yang memampang foto anak perempuan tanpa busana dengan mimik menangis berlari menjauhi kepulan asap ledakan. Perasaannya hancur; dia teringat anaknya yang berusia tak terpaut jauh dengan perempuan mungil dalam foto itu. John membayangkan bagaimana tega anak seusia putrinya ia lebur dengan bom, padahal jelas-jelas apa salah perempuan usia sekitar 9 tahun itu terhadap Amerika? Padahal, sebagaimana anaknya, Kim Phuc―nama bocah itu―mungkin salah satu pengagum kartun Tom and Jerry atau Mickey Mouse, kartun ciptaan Amerika.

Kehidupan John pasca pengeboman di Trang Bang kacau berantakan; rumah tangganya hancur hingga berujung perceraian.

Di sisi lain, konon anak perempuan itu berhasil diselamatkan, hingga sekarang ia masih hidup dan berkeluarga, berkat operasi cangkok kulit sebanyak 17 kali. Bahkan, suatu hari puluhan tahun kemudian, keduanya berjumpa dalam sebuah acara mengenang kelamnya perang Vietnam. John langsung bersimpuh meminta maaf kepadanya, yang disambut Kim Phuc dengan senyuman.

*

Ya, saya memang tersentuh dengan cerita tentang John Plummer dan Kim Phuc barusan. Namun sedikit saja terenyuhnya, sebelum menyimak uraian Khotib selanjutnya yang sungguh-sungguh bikin saya menunduk dalam renung, bukan menunduk dalam kantuk. 

Ia mengaitkan penyesalan Kapten Amerika itu dengan kecerdasan. Pesawat tempur, bom, dan keahlian untuk memfungsikannya sudah barang tentu adalah produk dari akal pikir manusia, kan? Ilmu. Kecerdasan. Riset puluhan tahun. Tapi, mengapa buah dari kecerdasan malah menyebabkan kehancuran dunia? Israel menyerang Gaza, tak bersudah. Pertempuran sesama umat Islam antara Iran―yang punya senjata nuklir―dan Suriah, yang menurut saya goblok keterlaluan. Sama-sama timur tengah, sama-sama tanah Arab. Mungkin memang, Islam bukanlah Arab. Islam milik semua umatnya, yang percaya akan kedamaian.

"Demikianlah jika kecerdasan tidak dilapisi oleh keimanan," tutur khotib lirih. 

Sememangnya kalimat barusan terdengar klise, namun demikian tingkah manusia zaman sekarang. Pemerintah harus membiayai PMDK calon dokter ratusan juta―atau kalau universitasnya bukan negeri, orangtuanyalah yang mesti membayar sebesar itu supaya anaknya menjadi dokter. Tapi setelah itu? Aborsi di mana-mana. Iklan obat herbal yang belum tentu berkhasiat dan benar-benar good meriuhi televisi. Komersialisasi kesehatan. Tadi pagi ada berita mal praktik di mana ada benang yang tertinggal di dalam perut pasien pasca operasi. Iya. Mereka dokter. Orang kaya. Orang pintar. Orang terpelajar. Bukan dukun.

Bidang hukum pun demikian. Kini, justru praktisi-praktisi hukumlah yang terlibat skandal-skandal korupsi dan sebagainya dan sebagainya. Mantan Ketua MK itu, misalnya. Padahal dia bukan orang bodoh. Sudah Doktor. Akil Mochtar. Dengar, nama beliau pun Islami banget. 

Selanjutnya. Mengapa Quick Count beroleh hasil yang berbeda-beda di antara banyak lembaga survey? Saya tahu ilmu statistik itu lumayan ruwet, saya cuma memperoleh B- pada semester dua lalu. Tapi saya sadar, mustahil hasil pengambilan dan penggorengan sampling data bisa terpaut jauh satu sama lain di antara penyurvey, setidaknya errornya takkan lebih dari 1-3 %. Kok bisa bervariasi? Padahal kan orang-orang survey sudah pasti lulus UN dari SMA IPA, gelarnya mungkin rata-rata sarjana Sains. Atau bahkan ada yang sudah Master dan Doktor. Ah, tanya saja pada uang komisi di rekening. "Cerobong dapur harus tetap mengepul, bro. Saya bosan dengerin istri marah-marah di rumah," bisik mereka.

Jleb banget jika kita sudah berbicara tentang uang. Dilematis.

Kemudian khotib berpesan supaya meneladani lagi rasul, sebab tidak ada manusia yang patut diteladani selainnya. Betul! Saya selalu kecewa mengidolakan filsuf, penulis, musisi, seniman, hingga praktisi industri, setelah mengetahui realitas hidup dan kelakuan mereka dalam kehidupan nyata seperti apa. Cukup ambil yang baik-baik saja dari mereka, jangan terlalu mengidolakan seorang tokoh. Tidak ada manusia yang sempurna, kecuali rasul. 

Yang membuat rasul sempurna adalah adanya sifat-sifat yang melekat pada dirinya: Siddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah. 

Siddiq berada dalam urutan pertama, artinya jujur atau selalu berkata benar. Dan urutan ke empat yakni Fathanah, yang bermakna cerdas. Ya, cerdas. 

Mungkin, gara-gara itulah Ahmad Fathanah diberangus KPK. Namanya terlalu bodoh untuk kelakuannya.

Menurut khotib, kejujuran adalah modal paling utama dalam kehidupan. Namun sekarang begitu sulit menemukan orang jujur. Ups, jangan dulu melihat orang lain deh. Kita sendiri sudah berkelakuan dan berkata jujur, belum? Jarang? Ya memang susah. Terkadang jika kita ingin berkata jujur, selalu ada orang lain yang meledek kita dengan julukan sok suci, sok tak butuh. Pada akhirnya kita pun terpaksa berada dalam zona abu-abu, sebab takut dimusuhi jika berkata jujur, takut diasingkan andai berbohong.

Kita terlalu sering kentut lantas menuduh orang lain yang kentut.

Sifat cerdas ada di urutan akhir setelah tiga sifat rasul lain. Cerdas nyatanya bukanlah segala-galanya. Lihat kabar Jakarta International School, yang guru-gurunya bule itu, yang kemarin ramai dibincangkan. Orangtua sekarang mulai kebingungan menyekolahkan anak-anaknya ke mana. Sekolah bertaraf dan bertarif internasional bukanlah jaminan untuk mencetak siswa-siswinya menjadi orang yang baik. Cerdas, yah, barangkali bisa saja. Tapi menjadi orang yang jujur dan baik, belum tentu. 

Jadi teringat omongan dosen: Semasih kuliah, boleh salah, tapi tidak boleh bohong. Setelah bekerja, boleh bohong, tidak boleh salah. Pilih mana? Seperti pilpres kemarin, pilihan hidup pun kerap menyulitkan, namun baiknya pilih saja yang cacat dan celanya lebih sedikit.

Sudahkah Anda jujur hari ini? Mudah-mudahan, saya mengetik artikel ini pun dengan jujur.[]

referensi: Khotbah Jumat dan http://nubogalalakon.wordpress.com/tag/hidup/

2 Komentar

  1. Ini judulnya quick count tp dibahasnya cuma satu paragraf doang ya.. ahaha

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama