Jendela Bus

Ketika sesekali sendirian di rumah, rumah memang sepi, tetangga-tetangga yang cuek itu pasti sudah pulas tidur, sebab besoknya harus bekerja lagi pagi-pagi (eh, saya lupa kalau besok hari Sabtu, tapi percayalah, di sini semua hari sama saja, mungkin semua hari bernama Sunyi). Akan tetapi tidak demikian dengan yang terjadi di dalam kepala saya. Kesendirian adalah jeda di kantor pukul 12 siang; terpaksa menunda tidur sebab riuh oleh gosip-gosip hingga omong kosong dari mulut-mulut karyawan yang sebetulnya tak penting-penting amat untuk didengarkan.

Sekarang bulan Juli. Agustus sebentar lagi. Saya ingat betul impian yang saya ejawantahkan tiga tahun lalu dalam sebuah status facebook, yang sayangnya akun facebook pertama itu sudah saya deactivate sebab sempat diretas entah oleh siapa pada November 2011. Seingat saya, begini bunyinya:

Otw perantauan dengan Primajasa jurusan Bandung - Cikarang via Cipularang. Suatu hari nanti, pasti bakal berganti bus jadi MGI Bandung - Bogor via tol Cikunir. Amin.

(dengan sedikit pembaharuan ingatan serta tanda baca alay yang telah disempurnakan)

Sore itu saya sedang duduk dengan mata menerawang jendela bus Primajasa yang kursinya hanya terisi beberapa, sebab hari itu bukanlah hari Sabtu atau Minggu, hari lazimnya orang-orang berlibur. Entah Senin atau Rabu. Saya sedang dalam perjalanan ke Bekasi guna mengejar shift tiga di mana saya harus masuk pukul 11 malam kurang 15 menit (di pabrik itu, kita harus berjalan kaki sekitar 15 menit sebab plant 3, 5, 7 lumayan jauh dari gerbang, sementara sepeda motor dilarang masuk).

Dalam duduk, saya gelisah sebab kabar yang ditunggu sekian lama belum kunjung tiba.

Saya sedang menunggu kabar lolos-tidaknya saya menerima beasiswa kuliah dari perusahaan lain, bukan perusahaan tempat saya bekerja saat itu. Mendadak saya ngebet pindah ke Bogor kemudian belajar di sana. Sudah muak dengan Bekasi yang panas. Banyak preman beraroma ludah kering. Banyak rumah makan dan mal megah namun tidak artistik sama sekali. Banyak nyamuk. Banyak berjatuhan korban sales Abate. Banyak teman kerja yang keranjingan ngutang sama saya. Banyak cowok. Sedikit cewek cantik; yang terakhir ini adalah alasan yang paling logis untuk segera pindah dari Bekasi, mumpung saya masih muda.

Sebagai abege (sudahlah setuju saja ya, waktu itu masih 19 kok), maka alih-alih berdoa kepada yang kuasa supaya lekas dikasih kabar gembira (kulit badak ada korengnya!), saya malah galau di facebook. Update status. Status yang di atas tadi. Status yang norak. Seperti biasanya.

Sesampai di depan gerbang pabrik, saya berjalan tersaruk-saruk dan terkantuk-kantuk menyusuri plant, ditemani angin malam dan hantu-hantu yang setia mengantar. Saya semakin malas bekerja. Terusik oleh impian untuk melanjutkan pendidikan. Dan agar sesegera mungkin minggat dari daerah yang panas ini. Panas segala-galanya. Sungguh impian yang agak alay, memang. Saya yakin, kenyataan orang lain jauh lebih keren daripada impian saya yang sangat sederhana.

*

Dua bulan kemudian, saya membenamkan pantat di pelukan kursi bus MGI jurusan Bandung - Bogor, via tol Cikunir. Tidak, saya tidak update status untuk merayakannya. Saya cuma ngetwit, di mana followers saya masih 5. Tiga di antaranya beravatar telur.

*

Malam ini, tiga tahun kemudian, saya duduk mengetik curhatan ini di rumah orangtua saya di Bogor. Ah, apa lagi ini? Bukankah rumah orangtua saya di Bandung?

Terlalu banyak nikmat yang saya peroleh beberapa tahun belakangan. Kuliah, di mana occupation tersebut tidak menghasilkan sesuatu berwujud uang, nyatanya ada saja rezeki keluarga saya untuk membiayai biaya hidup saya selama kuliah, dan untungnya masalah semesteran tak perlu jadi masalah sebab gratis. Dan saya pun sedikit-sedikit bisa menyisihkan uang jajan dari honor menulis atau resensi atau apa pun bekerja serabutan. Nampaknya, Hukum Matematika tidak terlalu berpengaruh dalam hidup saya. Hal-hal yang saya jumpai kini jauh di atas ekspektasi saya dulu! Jauh!

Impian. Kini, semakin jarang orang sepantaran saya yang memercayai impian. Semuanya sudah mulai akrab dengan kenyataan. Impian, kata mereka, hanya akan menjatuhkanmu bila gagal tercapai, sakit rasanya, atau mungkin malah membuat kita mati setelah sebelumnya sakit jiwa. Yah, itu saya alami sendiri. Problema manusia 20 tahun plus-plus mirip seperti pelangi, penuh oleh warna yang menenteramkan, dengan latar belakang awan mendung yang muram.

Baiklah. Mungkin impian terdengar complicated lantaran impian kerap berwujud muluk? 

Bagi saya. Impian itu bisa sesederhana berlangganan majalah Bobo setelah menyisihkan 80% uang jajan saya semasa SD. Senorak Cepy kecil pengin naik pesawat ketika melihat Garuda melintas di atas tiang jemuran, kemudian teman-temannya tertawa gurih mengejek beberapa menit. Atau serumit impian saya supaya melihat skor timbangan badan mencapai 60 kilogram.

Banyak kisah-kisah dari orang berpengaruh yang mewasiatkan betapa pentingnya memelihara impian. Karya-karya mereka terlahir dari impian. Yang kerap disepelekan, karena memang ide-idenya gila. Ya, mereka memilih gila impian ketimbang gila jabatan. Ah, jabatan hanyalah impian bagi manusia yang sudah kehabisan impian.

Masih ragu dengan impian? Semoga masih, supaya kita tak henti mencari kemudian menemukan impian.

Tersisa dua semester lagi saya menuntaskan impian cetek ini dan beberapa impian lain yang tak kalah cetek. Secetek apa pun, impian tetaplah impian. Yang bisa dengan mudah mengantarkan kita ke kenyataan, andai kita mau berupaya dan senantiasa merapal doa. Semoga![]

3 Komentar

  1. atas nama selow saya membaca tulisan ini, bagus mas Cepy, tak apa, ya, saya panggil demikian. Semoga tercapai. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. waa.. terima kasih sudah berkenan membaca curhatan ini :"D

      Hapus
Lebih baru Lebih lama