Rokok, Prabowo, dan Masyarakat Indonesia yang Religius

Apakah merokok itu keren, tanya Pandji. Keren? Tidak juga. Jika merokok itu keren, mamang-mamang becak, sopir angkot, sampai kuli panggul di pasar pun merokok. Bukankah mereka tidak begitu keren? Begitu tutur Soleh lantas disambut penonton dengan derai tawa―entah tawa buatan software atau beneran.

*

Niat saya semalam untuk segera tidur lantaran kelelahan―lelah menelan social media seharian yang masih juga cerewet meski 22 Juli sudah menjadi masa lalu―dihadang oleh acara Sebelas Duabelas di Kompas TV yang dibawakan oleh Pandji Pragiwaksono. Yang bertamu kepadanya adalah Soleh Solihun, komika asal Bandung yang jenaka (setidaknya, jenaka menurut selera saya yang menyukai satir dan sarkasme). Sendirian ia diwawancarai, sebelum Poppy Sovia datang menggenapi tamunya Pandji.

Yang membuat mata sipit saya melek adalah topiknya yang menarik: tentang rokok.

Jadi, imbuh Soleh, tiada sangkut-pautnya kadar kekerenan seseorang dengan sebatang kenikmatan itu apabila kita menengok latar belakang orang-orang yang merokok di sekitar kita. Jika ingin keren, belilah baju yang bagus, sepatu yang bagus, bodi yang bagus, wajah yang bagus. Hmm.. wajah.

Selanjutnya didedahlah seluk beluk tentang rokok, semisal keuntungan masif dari cukai yang dikhawatirkan tandas andai industri rokok dibatasi kemudian dikebiri. Hingga menyoal iklan rokok yang keren tapi aneh, sebab rokok sebagai produk yang hendak dijual malah tidak boleh ditampilkan dalam konten iklan tersebut. Nyatanya, copywriter tak kehabisan akal. Sampai sekarang, petualangan, solidaritas persahabatan, penelusuran jati diri, dan kejantanan prialah yang lekat dengan ingatan kita ketika menyaksikan iklan rokok. 

Tapi pasti pernah coba-coba merokok, kan? Tanya Pandji lagi. Soleh cengengesan. Pernah dong. Semasa bocah, Soleh suka mengisap puntung-puntung rokok filter sisa ayahnya. Beranjak remaja, di lingkungan sekolahnya pun ia sempat mencoba-coba aneka ragam rokok. Aku Soleh, bibirnya tidak mengecap kenikmatan yang dirasa classy oleh para perokok lain sampai kecanduan. Ada istilah sehabis makan, mulut asem tanpa merokok, padahal sehabis makan enaknya ya minum, begitu pendapat Soleh.

Apakah perbuatan merokok memang seperti termaktub pada kemasannya sekarang: merokok membunuhmu? Kali ini Pandji bertanya agak serius, dengan membeberkan fakta-fakta kematian akibat perilaku merokok di Indonesia yang meningkat tahun ini.

Soleh Solihun terdiam sejenak sambil menahan-nahan senyum. Ah, tidak juga, Pandji. Tidak semua yang mati gara-gara merokok. Beberapa publik figur meninggal setelah berolahraga. Banyak kakek tua renta yang masih menyedot rokok kretek, nenek-nenek kempot mengisap lintingan tembakau. Bahkan ayah Pandji pun meninggal karena penyakit jantung padahal bukan seorang perokok.

Lagi pula, sulit sekali mendeteksi apakah kematian seseorang tersebab oleh perilaku merokok.

"Ndji, orang Indonesia gak mungkin percaya peringatan begituan. Indonesia adalah negara beragama, mengkafirkan Atheis. Orang Indonesia itu terlalu religius. Jika ditanya begitu, jawabannya pasti: jodoh dan kematian itu urusan Tuhan. Takdir Tuhanlah yang membuat kita menikah dan mati. Bukan rokok."

Soleh pun menganjurkan supaya pemerintah tidak mencantumkan peringatan merokok membunuhmu, istrimu, anak-cucumu. Trik itu takkan mendoktrin masyarakat Indonesia yang amat religius, sebab mati itu urusan Tuhan, tegas mereka. Baiknya, cantumkan saja peringatan: 

"Merokok hanya akan menyebabkan Anda tampak seperti mamang-mamang." ―Soleh Solihun

"Ingin terlihat seperti mamang-mamang atau banci taman lawang? Merokoklah!" ―Soleh Solihun

Saya yakin peringatan itu akan perlahan mengikis jumlah perokok aktif, sebab mayoritas masyarakat Indonesia punya kadar gengsi yang lebih tinggi ketimbang kadar takut akan mati. Gengsi menerima kekalahan Pilpres, misalnya, namun tak gengsi mencacimaki dengan bertamengkan hadis-hadis dan ayat suci.

Tak terasa sudah pukul dua belas, sehingga tayangan Sebelas Duabelas pun usai. Saya pun merebahkan diri di kasur dengan benak yang masih bertanya: mungkin itulah, mengapa di Indonesia, dengan berselimut ayat suci, partai-partai politik (partai Islam maupun bukan sama saja) gencar menebar kebencian dan keresahan ketimbang kedamaian. Begitu tinggikah kadar religius masyarakat Indonesia?[]

12 Komentar

  1. Gw kemaren juga lihat acara ini. Smart dan dewasa acaranya. Dan pertanyaan yang sama juga muncul di benak, yamasa relijius tapi kok ya gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener, mas dani. deliverynya santai, namun topiknya tetep serius dan fokus. semoga usia acara semacam begini panjang ya :|

      Hapus
  2. wah isinya cukup menstimulus utk berfikir, dan di paragraf terakhir itu pertanyaannya sangat menyentil..

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih sudah berkunjung, kakak. sebuah pertanyaan takkan pernah terjawab dengan sempurna hehe

      Hapus
  3. Baru baca-baca lagi nih, ternyata produktif juga ya bos cepy nulisnya haha nice job

    BalasHapus
    Balasan
    1. duh, fans murtad yang kembali tobat ya hahaha :)))

      Hapus
  4. Sayangnya ending dalam postingan ini memang kenyataan yanga da di sana :(

    BalasHapus
  5. Barusan nonton di yutub. Bagus!

    Untung aku nggak ngerokok, jadi gak kesindir hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha sama, seandainya perokok pasti ikut ketawa. ketawa miris meringis :DD

      Hapus
  6. buktinya peria wang tidak merokok saja ada yang keren. meroko sama saja membakar hasil sendiri . dari pada merokok mending ditabung untuk masa depan ya kan

    BalasHapus
  7. yang menjadi tanda tanya pada artikel di atas adalah adanya nama Prabowo, dan saya lihat ndak ada pembahasannya mas, mohon pencerahannya ya!

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama