Saya mengetik postingan ini pada Jumat dini hari, dengan geletar jemari dan mata yang hangat. Sepanjang hari kemarin, sungguh―kali ini saya tidak hendak berlebay-lebay―saya seolah terjebak di dalam labirin dengan berjuta solusi, sementara saya sama sekali kepayahan untuk sekadar memutuskan kanan atau kiri.
Sangat amat sepele, sebenarnya. Kamis pagi, tumben, saya dapat bangun lebih pagi. Pukul lima limabelas. Salat subuh dengan tergesa-gesa, kemudian leyeh-leyeh lagi di kasur. Setelah mengudap tiga potong risoles, pukul setengah tujuh, saya menggowes sepeda, empat puluh menit lamanya. Rasa malas menang telak, biasanya saya bersepeda selama satu jam.
Pukul delapan, rumah sudah kosong. Tinggal saya sendirian. Saya menonton TV, bersantai, minum kopi, sarapan nasi goreng. Ketika kaki tengah selonjoran di sofa, hape saya berbunyi. Kakak saya menelepon. Ia ingin saya segera berangkat ke rumah orangtua untuk beres-beres perabot dan tetek bengeknya. Mulai hari itu orangtua saya resmi punya rumah tinggal di Bogor. Tapi saya masih ingin bersantai; kemudian berdalih belum mandi dan belum menjemur cucian yang hari Rabu saya cuci dan keringkan. Ia (mungkin) percaya saja.
Pukul sebelas saya baru mandi. Lima menit saja. Setelah itu berjingkat-jingkat menyeduh kopi. TV masih memendar-mendar. Kini aroma kopi sudah merebak. Saya meraih hape. Menelepon kakak saya. Ternyata ia sedang terburu-buru; hendak kontrol bulanan ke poliklinik, katanya. Saya sontak menuangkan kopi yang masih panas ke tupperware. Dan bergegas berangkat.
Dan saat itulah penyiksaan bermula; siksa kehilangan.
Sangat amat sepele, sebenarnya. Kamis pagi, tumben, saya dapat bangun lebih pagi. Pukul lima limabelas. Salat subuh dengan tergesa-gesa, kemudian leyeh-leyeh lagi di kasur. Setelah mengudap tiga potong risoles, pukul setengah tujuh, saya menggowes sepeda, empat puluh menit lamanya. Rasa malas menang telak, biasanya saya bersepeda selama satu jam.
Pukul delapan, rumah sudah kosong. Tinggal saya sendirian. Saya menonton TV, bersantai, minum kopi, sarapan nasi goreng. Ketika kaki tengah selonjoran di sofa, hape saya berbunyi. Kakak saya menelepon. Ia ingin saya segera berangkat ke rumah orangtua untuk beres-beres perabot dan tetek bengeknya. Mulai hari itu orangtua saya resmi punya rumah tinggal di Bogor. Tapi saya masih ingin bersantai; kemudian berdalih belum mandi dan belum menjemur cucian yang hari Rabu saya cuci dan keringkan. Ia (mungkin) percaya saja.
Pukul sebelas saya baru mandi. Lima menit saja. Setelah itu berjingkat-jingkat menyeduh kopi. TV masih memendar-mendar. Kini aroma kopi sudah merebak. Saya meraih hape. Menelepon kakak saya. Ternyata ia sedang terburu-buru; hendak kontrol bulanan ke poliklinik, katanya. Saya sontak menuangkan kopi yang masih panas ke tupperware. Dan bergegas berangkat.
Dan saat itulah penyiksaan bermula; siksa kehilangan.
Di atas speaker Simbadda, di situlah saya biasa menggeletakkan kunci motor, bersebelahan dengan kunci rumah-pagar. Namun kala itu bukan saat yang biasa. Cuma ada kunci rumah-pagar, tidak ada kunci motor di sana. Saya tidak terkejut sedemikian rupa karena saya memang pelupa. Santai saja mencari-cari di tempat lain yang saya rasa masuk akal: di kompor, atas mesin cuci, jemuran di loteng, sampai ke kamar mandi. Nihil. Saya mengecek kolong tempat tidur. Kolong sofa. Semua-muanya tak luput saya telisik. Namun tetap tiada. Perasaan saya mulai meresah. Rupanya kadar lupa hari itu jauh lebih pekat, baru saya sadari.
Saya putuskan untuk mengendarai motor kakak―yang untungnya, mereka bertiga menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan, tentu saja kegundahan menggelayuti pokok-pokok lupa. Alangkah sebal dengan penyakit saya yang akut ini, jauh lebih akut daripada gejala asam lambung sekalipun. Dalam hati saya menyadari telah sering teledor manakala menaruh sesuatu. Tapi, ah, itu terlalu dini. Saya masih perlu konfirmasi sama kakak saya, sebab selain saya yang menghuni, tentunya, ada ia, suami, dan dua putrinya.
Setiba di rumah orangtua yang kondisinya masih acak-acakan, saya mendapati kakak saya sudah pergi belanja perabot yang belum sempat dibeli. Ah, gagal menginterogasi mereka, padahal hati ini sudah bergolak penasaran. Apa boleh buat, saya di situ saja, merapikan sebagian buku ke rak yang baru sebagian saya boyong dari rumah kakak ke sini. Kemudian makan. Kemudian memasang gantungan baju dengan susah payah. Kemudian menguras Unilever Pure it. Kemudian bengong menatap televisi yang masih di dalam kardus; rak dan antenanya belum ada.
Saya pulang pukul tiga, sebab harus siap-siap kuliah. Tentu, saya pulang ke rumah kakak lagi. Saya masih penasaran ingin mengudak-udak, mengobrak-abrik kamar saya, yang ditengarai sebagai goa bersembunyi kunci motor itu. Hasilnya? Ya, Anda benar.
Pada saat kehilangan, barulah saya sadar akan pentingnya sesuatu. Seandainya ada mesin waktu.
Hujan. Deras sekali. Kilat berkilatan menerangi tembok, dua kata memantik kalut saya: mati listrik. Biasanya kampus mati listrik bila hujannya sebadai ini. Syukurlah, sebab dengan begitu, takkan ada kuliah hari ini. Ada dua subjek pada hari kamis. Saya mengecek Whatsapp. Ternyata benar. Di kampus mati listrik. Teman-teman mengusulkan supaya libur saja. Ketua kelas sepakat. Namun nyatanya dosen subjek pertama kukuh ingin mengajar. Saya ingin sekali berteriak kepadanya, berilah kesempatan pada saya supaya menemukan kunci yang hilang, Pak! Tapi saya tidak punya nomor teleponnya. Andai punya pun, mustahil saya segahar, sebernyali begitu.
Berangkatlah saya ke kampus. Hujan deras masih. Saya pakai motor kakak lagi. Mau bagaimana lagi. Dingin sekali. Mendidih hati saya. Pikiran tidak ke mana-mana, tidak ikut ke kampus, cuma fokus ke atas speaker. Kunci, adakah kau sedang berusaha meluruhkan dosa-dosa saya? Jika ya, saya mesti berterimakasih padamu. Namun, tolonglah, saya ingin ketemu empat mata. Saya kangen.
Masih saja hujan. Jalan raya antara Sentul dan Citeureup, saya rasa lebih cocok untuk perahu. Batu-batu besar berserakan. Lubang sebesar kubangan kerbau menjelma genangan. Motor matic milik kakak meringkik kepayahan. Dan. Sekonyong-konyong laju motor memberat, pantat saya bergetar. Ban belakang bocor. Tak hingga topan badai! Astagfirullah…
Saya mendorong seratus meter, dan bernapas lega kala menatap plang tambal ban. Abang tambal ban membongkarnya. Katanya, ban dalam sobek. Sudah saya duga; itu jawaban retoris yang menandakan saya harus membeli ban dalam baru. Saya mengintip dompet. Oh, betapa, cuma ada selembar I Gusti Ngurah Rai di dalamnya. Harga ban dalam Swallow 45ribu. Setelah penggantian ban selesai, saya berangkat lagi, mampir dahulu di ATM. Saya khawatir kali lain ban depannya yang bocor. Atau bahkan van beltnya. Saya ogah lagi-lagi ditiban kesialan yang sejatinya berhulu dari satu hal: hilang. Remeh sekali.
Di kampus, saya ditanyai mengapa ban saya bisa bocor. Motor saya memakai ban tubeless, motor matic kakak saya ban biasa. Saya bosan menjawab tanya mereka. Sehingga terlontar jawaban yang tersistem secara default: “Gue pake matic,” dengan sedikit penekanan. Mereka diam.
Kuliah katanya sampai sepuluh kurang seperempat. Oh, pikiran saya masih saja teringat kunci. Kunci. Kunci. Seperti commercial break yang berkali-kali tayang. Saya yang biasa mengantuk di kelas, Kamis malam itu sama sekali tidak. Bukan karena subjek kuliah yang dibawakan dosen sebegitu memikat hasrat. Tapi karena, kunci.
Saya pulang sendirian\, bingung hendak ke rumah orangtua atau ke rumah kakak. Saya putuskan pulang ke rumah kakak, sebab motornya pasti hendak dipakai kerja esok paginya (Jumat). Alangkah kecewanya saya ketika mendapati rumah kakak yang gelap gulita, serupa kondisi yang saya tinggalkan sebelum kuliah. Tiada mobil yang terparkir di carport. Saya benar-benar ingin menangis.
Dengan lunglai, saya membuka gembok pagar, digenapi lelah seharian. Saya masuk ke kamar mandi. Menyantap nasi goreng pinggir jalan. Menyalakan TV. Namun, tetap saja benda mungil itu berkelebatan.
Mau tak mau, demi mengentaskan kepenasaran seharian, saya obrak-abrik lagi kamar. Dapur. Kursi. Namun tetap saja tiada. Lagi, saya melakukan lagi beberapa kali perbuatan yang sudah saya pikir sia-sia itu. Dan ternyata memang sia-sia.
Saya menenangkan diri sejenak, dan langsung menelepon kakak saya. Ternyata yang menerima telepon malah Mamah. Beliau bilang kakak saya belum pulang sebab harus tiba-tiba mengurusi pompa air yang rusak. Waduh! Anda bisa menghitung bertubi-tubi ketaksempurnaan sepanjang Kamis kemarin?
Kata Mamah, kakak saya pulang subuh nanti. Beliau ingin saya ke sana pagi-pagi. Tanpa sadar, air mata saya meleleh. Saya bicara padanya, kunci yang saya cari sejak pagi belum ketemu-ketemu juga. Ia tiba-tiba nampak gelisah, kedengaran dari ubah nada suaranya. Ia menyuruh saya supaya saya mencarinya lagi, sampai ketemu. Ia takut kunci saya diambil orang lain yang tak dikenal. Ia mengancam. Saya ingin membanting hape, namun akhirnya saya menutup panggilan.
Saya mencarinya lagi. Di kasur. Di bawah seprai. Dengan bantuan aplikasi senter dari hape seadanya. Hati saya mendidih lagi. Saya menyalakan lampu teras depan dan keluar. Ingin menghirup udara bebas, biarlah diembus jahat angin malam pun. Pukul setengah dua belas.
Saya merenung di teras. Sepi. Tidak ada orang. Tapi gejolak kehilangan lebih angker daripada mitos malam Jumat. Saya mengelus-elus bodi motor saya. Dalam hati saya menangis, lalu menoleh ke motor kakak saya. Kemudian saya iseng merogoh lubang bagasi mini yang terletak di bawah setang. Saya meraba-raba, oh, nampaknya logam. Saya berhasil menggenggamnya. Dan. Oh, bahu saya langsung naik-turun, mata saya pedih. Itu kunci motor saya, ternyata sedari tadi saya bawa pergi ke sana kemari kunci itu. Kunci! Oh!!!!
Masa bodoh siapa yang menaruh kunci itu. Kakak saya atau suaminya putrinya yang kecil yang masih dua tahun itu? Atau bahkan saya sendiri, ya, saya sendirilah yang semestinya saya salahkan! Tiada selintas pikir, saya langsung mengambil air wudu. Kemudian salat Isya sambil sesenggukan, sendirian, di malam Jumat. Setelah itu, langsung mengetik postingan ini. Berharap siksa kehilangan takkan menghinggap lagi dalam keseharian saya. Kehilangan benda sekecil kunci sekalipun seemikian gundah gulana risau galau, bagaimana jadinya bila saya kehilangan kelurga, kehilangan teman? Ah, saya sayang kalian semua, teman-teman.
Ngomong-ngomong, saya lahir pada hari Kamis. []
Saya putuskan untuk mengendarai motor kakak―yang untungnya, mereka bertiga menggunakan mobil. Sepanjang perjalanan, tentu saja kegundahan menggelayuti pokok-pokok lupa. Alangkah sebal dengan penyakit saya yang akut ini, jauh lebih akut daripada gejala asam lambung sekalipun. Dalam hati saya menyadari telah sering teledor manakala menaruh sesuatu. Tapi, ah, itu terlalu dini. Saya masih perlu konfirmasi sama kakak saya, sebab selain saya yang menghuni, tentunya, ada ia, suami, dan dua putrinya.
Setiba di rumah orangtua yang kondisinya masih acak-acakan, saya mendapati kakak saya sudah pergi belanja perabot yang belum sempat dibeli. Ah, gagal menginterogasi mereka, padahal hati ini sudah bergolak penasaran. Apa boleh buat, saya di situ saja, merapikan sebagian buku ke rak yang baru sebagian saya boyong dari rumah kakak ke sini. Kemudian makan. Kemudian memasang gantungan baju dengan susah payah. Kemudian menguras Unilever Pure it. Kemudian bengong menatap televisi yang masih di dalam kardus; rak dan antenanya belum ada.
Saya pulang pukul tiga, sebab harus siap-siap kuliah. Tentu, saya pulang ke rumah kakak lagi. Saya masih penasaran ingin mengudak-udak, mengobrak-abrik kamar saya, yang ditengarai sebagai goa bersembunyi kunci motor itu. Hasilnya? Ya, Anda benar.
Pada saat kehilangan, barulah saya sadar akan pentingnya sesuatu. Seandainya ada mesin waktu.
***
Hujan. Deras sekali. Kilat berkilatan menerangi tembok, dua kata memantik kalut saya: mati listrik. Biasanya kampus mati listrik bila hujannya sebadai ini. Syukurlah, sebab dengan begitu, takkan ada kuliah hari ini. Ada dua subjek pada hari kamis. Saya mengecek Whatsapp. Ternyata benar. Di kampus mati listrik. Teman-teman mengusulkan supaya libur saja. Ketua kelas sepakat. Namun nyatanya dosen subjek pertama kukuh ingin mengajar. Saya ingin sekali berteriak kepadanya, berilah kesempatan pada saya supaya menemukan kunci yang hilang, Pak! Tapi saya tidak punya nomor teleponnya. Andai punya pun, mustahil saya segahar, sebernyali begitu.
Berangkatlah saya ke kampus. Hujan deras masih. Saya pakai motor kakak lagi. Mau bagaimana lagi. Dingin sekali. Mendidih hati saya. Pikiran tidak ke mana-mana, tidak ikut ke kampus, cuma fokus ke atas speaker. Kunci, adakah kau sedang berusaha meluruhkan dosa-dosa saya? Jika ya, saya mesti berterimakasih padamu. Namun, tolonglah, saya ingin ketemu empat mata. Saya kangen.
Masih saja hujan. Jalan raya antara Sentul dan Citeureup, saya rasa lebih cocok untuk perahu. Batu-batu besar berserakan. Lubang sebesar kubangan kerbau menjelma genangan. Motor matic milik kakak meringkik kepayahan. Dan. Sekonyong-konyong laju motor memberat, pantat saya bergetar. Ban belakang bocor. Tak hingga topan badai! Astagfirullah…
Saya mendorong seratus meter, dan bernapas lega kala menatap plang tambal ban. Abang tambal ban membongkarnya. Katanya, ban dalam sobek. Sudah saya duga; itu jawaban retoris yang menandakan saya harus membeli ban dalam baru. Saya mengintip dompet. Oh, betapa, cuma ada selembar I Gusti Ngurah Rai di dalamnya. Harga ban dalam Swallow 45ribu. Setelah penggantian ban selesai, saya berangkat lagi, mampir dahulu di ATM. Saya khawatir kali lain ban depannya yang bocor. Atau bahkan van beltnya. Saya ogah lagi-lagi ditiban kesialan yang sejatinya berhulu dari satu hal: hilang. Remeh sekali.
Di kampus, saya ditanyai mengapa ban saya bisa bocor. Motor saya memakai ban tubeless, motor matic kakak saya ban biasa. Saya bosan menjawab tanya mereka. Sehingga terlontar jawaban yang tersistem secara default: “Gue pake matic,” dengan sedikit penekanan. Mereka diam.
Kuliah katanya sampai sepuluh kurang seperempat. Oh, pikiran saya masih saja teringat kunci. Kunci. Kunci. Seperti commercial break yang berkali-kali tayang. Saya yang biasa mengantuk di kelas, Kamis malam itu sama sekali tidak. Bukan karena subjek kuliah yang dibawakan dosen sebegitu memikat hasrat. Tapi karena, kunci.
Saya pulang sendirian\, bingung hendak ke rumah orangtua atau ke rumah kakak. Saya putuskan pulang ke rumah kakak, sebab motornya pasti hendak dipakai kerja esok paginya (Jumat). Alangkah kecewanya saya ketika mendapati rumah kakak yang gelap gulita, serupa kondisi yang saya tinggalkan sebelum kuliah. Tiada mobil yang terparkir di carport. Saya benar-benar ingin menangis.
Dengan lunglai, saya membuka gembok pagar, digenapi lelah seharian. Saya masuk ke kamar mandi. Menyantap nasi goreng pinggir jalan. Menyalakan TV. Namun, tetap saja benda mungil itu berkelebatan.
Mau tak mau, demi mengentaskan kepenasaran seharian, saya obrak-abrik lagi kamar. Dapur. Kursi. Namun tetap saja tiada. Lagi, saya melakukan lagi beberapa kali perbuatan yang sudah saya pikir sia-sia itu. Dan ternyata memang sia-sia.
Saya menenangkan diri sejenak, dan langsung menelepon kakak saya. Ternyata yang menerima telepon malah Mamah. Beliau bilang kakak saya belum pulang sebab harus tiba-tiba mengurusi pompa air yang rusak. Waduh! Anda bisa menghitung bertubi-tubi ketaksempurnaan sepanjang Kamis kemarin?
Kata Mamah, kakak saya pulang subuh nanti. Beliau ingin saya ke sana pagi-pagi. Tanpa sadar, air mata saya meleleh. Saya bicara padanya, kunci yang saya cari sejak pagi belum ketemu-ketemu juga. Ia tiba-tiba nampak gelisah, kedengaran dari ubah nada suaranya. Ia menyuruh saya supaya saya mencarinya lagi, sampai ketemu. Ia takut kunci saya diambil orang lain yang tak dikenal. Ia mengancam. Saya ingin membanting hape, namun akhirnya saya menutup panggilan.
Saya mencarinya lagi. Di kasur. Di bawah seprai. Dengan bantuan aplikasi senter dari hape seadanya. Hati saya mendidih lagi. Saya menyalakan lampu teras depan dan keluar. Ingin menghirup udara bebas, biarlah diembus jahat angin malam pun. Pukul setengah dua belas.
Saya merenung di teras. Sepi. Tidak ada orang. Tapi gejolak kehilangan lebih angker daripada mitos malam Jumat. Saya mengelus-elus bodi motor saya. Dalam hati saya menangis, lalu menoleh ke motor kakak saya. Kemudian saya iseng merogoh lubang bagasi mini yang terletak di bawah setang. Saya meraba-raba, oh, nampaknya logam. Saya berhasil menggenggamnya. Dan. Oh, bahu saya langsung naik-turun, mata saya pedih. Itu kunci motor saya, ternyata sedari tadi saya bawa pergi ke sana kemari kunci itu. Kunci! Oh!!!!
Masa bodoh siapa yang menaruh kunci itu. Kakak saya atau suaminya putrinya yang kecil yang masih dua tahun itu? Atau bahkan saya sendiri, ya, saya sendirilah yang semestinya saya salahkan! Tiada selintas pikir, saya langsung mengambil air wudu. Kemudian salat Isya sambil sesenggukan, sendirian, di malam Jumat. Setelah itu, langsung mengetik postingan ini. Berharap siksa kehilangan takkan menghinggap lagi dalam keseharian saya. Kehilangan benda sekecil kunci sekalipun seemikian gundah gulana risau galau, bagaimana jadinya bila saya kehilangan kelurga, kehilangan teman? Ah, saya sayang kalian semua, teman-teman.
Ngomong-ngomong, saya lahir pada hari Kamis. []
Tags:
gue banget
Ya ampun ceeeep. Alhamdulillaah ya ketemu. Bacanya sudah ikut nelangsa,
BalasHapusalhamdulillah bingits :'D
HapusTrus kamu sekarang pastinya beli gantungan kunci segedhe gaban dong, biar gak susah carinya? hahaha...
BalasHapusiya nih mas, jadi pasangin gantungan kunci lagi, biarin lah bodi motor lecet-lecet dikit yang penting gak raib lagi :D
HapusYa ampun... bisa bertubi-tubi gitu, ya.... Tapi untunglah semua sudah lewat ya, Sob.... Dengan akhir yg cukup membahagiakan....
BalasHapusiya aneh banget. bener-bener amazing tuh hari kamis itu. alhamdulillah endingnya kayak ftv :p
Hapuskl kuncinya hilang mungkin tertelan
BalasHapusatau kamu memang harus beli motor baru supaya punya kunci baru hahaha
ngeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeng ~~~\o/
haduh, baru juga beli ven :|
Hapushahahaha, aduh maaf...bukan mau ketawa di atas penderitaan orang lain, tapi ending ceritanya bikin ketawa, ternyata si kunci manisaduhaiyangdicarisehariansampefrustasi itu sepanjang hari ngikut kesana kesini.. Lain kali pasangin GPS aja tuh di kuncinya, biar kalo lupa naro bisa cepet ketahuan..hahaha :D
BalasHapushahaha mari tertawa bersama, hana :D
Hapusiya dah, harus pasang radar sugan kapan-kapan mah '.'