Jika dua tahun lalu saya sok-sokan "berpindah rumah" ala abege labil, namun nasib begini-begini saja ternyata, uhuk, awal Maret ini saya pindah rumah beneran. Tentu masih menumpang. Sejak September 2011 saya nebeng makan dan tidur di rumah teteh, sampai penghujung Februari kemarin, namun saat ini saya kembali bertengger di ketiak Mamah.
Bagai mimpi, sepulang kuliah pada sembilan atau sepuluh malam, saya mendengar dengkur Apa (mulai sekarang, izinkan saya selanjutnya mencantumkan nama panggilan asli untuk ayah saya) dan kadang-kadang Mamah masih bangun menonton televisi dengan terkantuk-kantuk. Paginya, saya diseret dari kasur. Bila tak kunjung bangun bahkan lelap lagi, saya diomeli Mamah hingga saya ngesot-ngesot ke kamar mandi. Semua itu telah lama sekali sudah tak saya alami, bersyukur telinga ini masih bisa diciprati omelan Mamah.
Selepas menyetrika wajah, saya berjalan kaki membelikan sarapan―kalau kebetulan kawan nasi tandas semalam―buat kami bertiga. Kemudian mencabuti rumput di taman kecil, menyimbah motor, berbenah di rumah, apa saja yang bisa dibenahi. Biasanya waktu bergulir cepat sekali, sehabis asar saya berangkat kuliah. Demikian sampai malam ini.
Namun tentu saja segalanya masih aneh. Saya seolah berperan sebagai tamu di rumah Mamah. Seperti menginap di rumah orang. Masih sungkan sama tetangga, sekadar mesem-mesem kala kebetulan berpapasan―tetangga baru kami kebanyakan pekerja muda yang sibuk. Jika tidak dipaksakan, malas sekali untuk berkegiatan, sampai-sampai sepeda pun belum sempat diboyong ke sini. Belum menemukan nasi goreng pinggir jalan dan ketoprak yang enak seperti di dekat rumah teteh. Untungnya masakan Mamah selalu enak.
Saya pun baru bisa mengetik malam ini, usai sepuluh hari bermukim di sini. Semalam saya berusaha membaca buku, tetapi dua menit kemudian saya dibangunkan oleh beker hape. Ternyata sudah setengah lima subuh. Minat baca dan tulis masih kerontang, atau mungkin tertinggal di rumah lama, bersama senarai inspirasi? Dan jangan tanya ihwal minat belajar cement chemistry atau teknik separasi atau perancangan pabrik kimia ya, hahaha.
Selalu ada cerita tentang pindah. Mengepak barang-pakaian-perabot yang masih layak pakai, membuang pernik yang sebangsa jasad renik. Mengharap tempat baru beserta segenapnya lebih bersahabat, namun ternyata yang baru biasa saja; lebih segala-galanya namun rupanya satu-dua masalah timbul segalau-galaunya. Beberapa kali benak saya mengingat-ingat benda yang belum sempat dipindah. Apa pun, yang penting jangan sampai ada yang tertinggal di rumah lama.
Ehm, saya kepingin sih punya rumah yang gak beneran itu. Siapa mau ngasih? []
Tags:
gue banget
Pindah hati engga sekalian? ;p
BalasHapuskapan-kapan aja deh. kalo nemu.
HapusCeritakan lingkungan sekitar aja cep. Khan tentu beda rasanya dan oeradabannya dengan lingkunganmu sebelumnya.
BalasHapushmm, terlalu sepi, jadinya malah membosankan nih, mas ndop :|
HapusJadi inget dulu pas saya pindah dari Bekasi ke Jogja.... Sendu banget rasanya, hhehe....
BalasHapushehehe, menimbulkan genangan kenangan ya broh
HapusPindah rumah nih ceritanya, pasti agan akan kehilangan teman2 agan di rumah yang lama.
BalasHapusiya nih gan
Hapus