Seni Mengikuti Orang Lain


Sepertinya doa saya kemarin hampir diijabah. Matahari mulai berani nongol, tak lagi pundung. Walaupun menampakkan diri sekejap saja, namun kehadiran sang surya sangat saya rindukan, seperti kehadiran ehm… siapa ya? Ya, kalian semua, ceman-ceman. Akhirnya saya bisa mengetik postingan lagi di sore yang sebentar terang sebentar redup ini. Mudah-mudahan semangat kita tidak seperti itu.

Genap dua minggu kemarin, saya dan teman-teman kuliah melakukan kegiatan observasi lapangan di pabrik semen. Semacam apakah? Bukan, bukan studi ilmiah buat skripsi. Itu belum saatnya (dan berharap saatnya itu masih lama, tapi ternyata beberapa bulan lagi masa itu mesti datang juga). Observasi lapangan mengharuskan kami merunuti apa saja yang dikerjakan seorang karyawan selama jam kerjanya, kemudian mencatatnya. Segala kegiatan, hingga perkara remeh seperti ke kamar mandi dan merokok misalnya, juga kami catat. Sampai-sampai saya risih menunggu karyawan yang saya telaah di depan kamar mandi. Coba kalau karyawannya perempuan. Ah.

Hari pertama. Pagi itu, saya disambut sosok bapak berperangai dingin; diinterogasi segala rupa: tujuan saya mengikuti ke mana pun mereka bekerja, meminta surat tugas yang sah, dan ia menanyai apakah saya sudah punya pacar ataukah masih bujang lapuk. Iya, pertanyaan terakhir sadis banget. Untung saya masih kuat iman, Pak.

Karyawan yang saya ikuti ini punya emosi yang meledak-ledak. Suaranya terdengar cetar sekali dalam frekuensi Handie Talkie. Matanya kerap nyaris keluar saat mengomandoi anak buahnya. Perawakannya tegap, jalannya cepat, kendati ia sudah tidak bisa dibilang muda sebab kepalanya amat mengilap. Menyusuri tangga-tangga silo yang tingginya puluhan meter itu, saya kalah lincah olehnya. Tapi asyiknya, ia suka sejenak berhenti di depan alat/mesin, memberi kesempatan saya untuk bertanya hal-hal teknis. Dan tampak ia bukan orang yang pelit ilmu dan pengalaman.

Pukul 12. Ia menunda istirahat lima belas menit, sebab mesti mengawasi anak buahnya yang sedang memeras keringat, bahkan beberapa kali ia turun tangan, di depan outlet Cement Mill. Sesudah pekerjaan selesai, ia pun ke ruangannya untuk makan dan istirahat. Tentu saja saya ikut makan dan mengambil napas banyak-banyak. Saya membatin, capek juga ternyata mengikuti laku-lampah orang lain itu.

Ada yang unik dari bapak yang saya ikuti di hari pertama. Saat istirahat, ia bagai merihatkan suara lantangnya, menanggalkan jabatannya di hadapan saya. Ia mengajak saya berbincang perihal belajar yang tiada kenal usia, pentingnya menjaga kesehatan, sampai tentang jodoh. Ia pun memberi wejangan-wejangan yang sudah tak lagi asing di telinga saya, namun malah jadi lucu sebab nasihat itu bermuasal dari orang temperamental, dan orang emosian bisa sebijak motivator, ternyata. Lebih malah.

Begitulah. Hari berikutnya? Mungkin benar, yang ‘pertama’ itu kerap menjejakkan kesan paling mendalam. Hari selanjutnya, mungkin saya perlahan-lahan terbiasa melihat urat tegang seseorang yang sedang bekerja keras. Dan mungkin juga saya telanjur dikerkah rutinitas.

Manusia, Makhluk yang Aneh

Esok, lusa, hari-hari selanjutnya, karyawan yang saya catat kegiatannya bukan orang itu-itu lagi lantaran shift yang berotasi setiap dua hari sekali. Maka saya pun harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan orang baru, lagi dan lagi. Sedikit ribet dan mumet, sebab jujur, saya bukanlah orang yang gampang klop dengan orang, apalagi dengan orang yang baru. Biasanya, perlu waktu relatif lama untuk menghangatkan diri supaya bisa intens dengan orang baru. Namun demikian, dari situ, bercucuranlah tetes-tetes hikmah yang berhasil saya tadah, kemudian saya tenteng ke rumah sebagai kenang-kenangan untuk masa depan.

Saya heran, ternyata sekalipun jabatannya sama, karyawan yang kegiatannya saya runuti punya sikap yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah, ya, dalam hal ini masalah atau trouble produksi. Orang berkarakter meledak-ledak, ternyata begitu lugas mengatasi masalah, sekalipun segelintir anak buahnya mungkin ada yang tidak suka dengannya gara-gara gelegar perintahnya. Itulah mengapa trouble dapat segera ia atasi, jangan-jangan trouble pun sungkan kepadanya. Namun, usai pekerjaan selesai dan operasional adem ayem, di kala senggang, ia begitu respek terhadap rekan kerja, anak buah, karyawan outsourcing, pun kepada saya. Itu menandakan ia masihlah manusia normal.

Demikian pula dengan karyawan yang periang dan peramah. Sepintas orang semacam ini terkesan mengasyikkan untuk kita jadikan teman, sebab ada saja topik yang bisa kami bincangkan selama saya mengikutinya di lapangan, hal teknis maupun non seolah sangat ia kuasai. Tapi gara-gara itu beberapa pekerjaan malah ia tunda-tunda, dan menganggap segala trouble akan selesai dengan sendirinya dalam tanda kutip dikerjakan shift berikutnya. Ia malah asyik melaporkan segala instrumen-instrumen yang abnormal kepada atasannya, seakan-akan melimpahkan aneka masalah kepada sang bos.

Lain lagi dengan karyawan pendiam dan melankolis. Kadangkala, memang, ia terlihat panik saat menghadapi masalah produksi, tidak setegar karyawan berkarakter keras ataupun selincah lidah karyawan periang. Namun, berkat kepiawaiannya mengelola emosi dan koordinasi, toh satu per satu masalah dapat ia atasi sedingin es. Anak-anak buahnya pun respek kepadanya, sekalipun hubungan mereka sebatas anak buah dan atasan, tidak sehangat karyawan yang peramah, tidak serenggang karyawan pemarah.

Saya tidak paham motif utama observasi yang CHRD mandatkan kepada kami itu untuk apa: entah guna menyelidiki dan memperoleh bukti supaya mereka bisa memindahkan, mengurangi, mengadili karyawan yang bandel di mata manajemen, saya tidak tahu cum tidak mau tahu. Namun, jika boleh saya mengutip salah satu ucapan karyawan yang saya pun sepakat:
Andai manajemen pengin tahu kinerja kami seperti apa; baik atau bobrok, silakan tengok kurva produksi yang tidak pernah mendatar apalagi menukik saban tahunnya. Kami orang lapangan, kadangkala masalah di lapangan harus diatasi secara lapangan pula, banyak yang tidak cocok diatasi secara teoretis. Ndak usahlah manajemen repot-repot mengusik kami yang sudah kenyang pengalaman lapangan ini, sampai tak terasa kami sudah sebegini tua.
Ya, semoga setelah kami suguhkan data yang menyiratkan betapa kejamnya trouble-trouble di pabrik (lapangan), tidak lantas membuat manajemen ikut-ikutan kejam kala melahirkan kebijakan-kebijakan untuk karyawannya. []

19 Komentar

  1. Ayah aku orang lapangan, Aku pernah liat beliau kerja. Dulu waktu kecil sih, banyakan tidur siangnya daripada liatin cara kerjanya hahahah. minus nya adalah, disana nggak ada TV, cuma ada kompor listrik yg pada saat itu tampak teramat sangat hebat sekali! hahahahahaha #oot

    BalasHapus
  2. Waaah. Kebayang gimana itu Cep. Jadi inget jaman dulu waktu masih jadi trainee deh. Sama kayak dirimu, ngikutin orang kemana-mana. Ada yang tulus ngajarin tapi gak sedikit juga yang sok banget merasa senior. Hihihi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha, berarti entar saya pun masih bakal begitu-begituan lagi ya T.T

      Hapus
  3. Yaaa.. itulah sifat sebenar nya manusia kan.. beragam tapi kalau kita dapat menyesuaikan dengan sikap nya tersebut. pasti bakalan mengasyikkan, apalagi dalam bekerja kan..

    BalasHapus
  4. Seni adalah bagian dari eksistensi kita

    BalasHapus
  5. Dan diriku mirip dengan orang yg meledak ledak itu sih. Kalau lagi meledak ledak, segala sesuatu harus cepat diselesaikan. Kalau enggak, bisa bad mood seharian.

    BalasHapus
  6. Saya cukup sering berinteraksi dengan orang-orang lapangan di kantor (kalau saya orang kantornya), dan sesekali mengamati pekerjaan mereka. Lingkungannya cukup keras sih menurut saya, dan sepertinya memang begitulah kebanyakan pekerjaan lapangan.... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener banget. memang lingkungan dan kondisilah yang bikin sifat dan perbawa mereka cenderung keras. tapi di balik itu, percayalah, hatinya sehalus kapas :D

      Hapus
  7. senang juga ya Cepy ketemu byk orang dengan berbagia karakter begitu :)

    BalasHapus
  8. Keren ih tugasnya... Buat saya kegiatan kaya gitu tuh nyenengin banget, berasa belajar kepemimpinan tapi secara praktek, bukan cuma teori aja :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya juga, ya, secara gak langsung belajar kepemimpinan nih, belajar memahami kamu, eh, orang lain :D

      Hapus
  9. Semakin banyak kita mengenal orang dengan berbagai karakter dan latar belakang, semakin dewasalah kita dalam berpikir dan bersikap. :)

    BalasHapus
  10. iya cep, kita bisa belajar banyak dengan mengikuti orang lain, hal yang baik yang bisa ditiru :)

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama