Kamu suka ketika penampilanmu dikritik teman? Atau, kamu amat bahagia saat orangtuamu menasihati dengan nada tinggi bahwa sesekali kamu harus bangun pagi-pagi? Jika kamu suka dikritik, sepertinya kamu harus lekas memeriksakan kesehatan jiwamu ke psikiater. Eit, tapi, tunggu dulu. Baca dulu postingan saya sampai tuntas, ya, hehe.
Manusiawi sebenarnya, manakala bibir kita pura-pura tersungging padahal hati kita tersinggung saat mendengarkan orang lain dan orang terdekat menasihati kita, mengkritik segala yang kita perbuat. Tapi, percayalah teman. Kritik itu membuat kita sungguh-sungguh hidup. Setidaknya bagi saya.
Dari dunia kepengarangan, saya menyadari betapa berharganya sebuah kritik. Dulu, ada anggapan bahwa seorang pengarang belumlah sah disebut pengarang―atau sastrawan―bila belum masuk laci kritik sastra HB Jassin. Dari tangan dingin dan tulisan tajam beliaulah―yang kerap menikam hati yang dikritik―saat itu, sastra Indonesia pesat berkembang, dan menemui pembaharuan setelah sebelumnya sempat stagnan dengan gaya bahasa itu-itu saja, dan tema yang seragam antar pengarang.
Minggu sore kemarin, saya menghadiri #BincangBuku di Rumah Kata Indonesia, Bogor, menelisik novel Jurai anggitan Guntur Alam. Mendengar nama Guntur Alam mungkin tak seakrab mendengar (lagi-lagi) Andrea Hirata ataupun Ahmad Fuadi atau bahkan Raditya Dika. Tetapi namanya lumayan akrab di benak saya beberapa bulan belakangan―setelah saya memutuskan untuk rajin membaca apa saja di mana pun, sebab saya sering menemui cerita-cerita pendeknya di berbagai media yang arsipnya terdapat di internet. Saya bersyukur bisa bersuamuka dengan cerpenis muda produktif itu.
Setelah Jurai dikupas habis-habisan mulai dari penempatan catatan kaki sampai perkara stilistika oleh Om Adi, Mas Guntur pun menjawab beberapa pertanyaan hadirin. Saya melontarkan pertanyaan yang sepele, dan dijawab pula oleh pernyataan yang terdengar sederhana, namun amat menohok: rajin-rajinlah membaca, dan membuka kamus dan tesaurus.
Ada pertanyaan menarik dari peserta #BincangBuku lain. Salah satunya yakni, bagaimana cara tabah bertahan tanpa patah arang saat menulis? Mas Guntur pun menjawab panjang lebar, seolah membawa kami ke belasan tahun silam saat awal-awal perjuangan dia menembus media. Rupanya, sejak remaja, ia suka mengirimkan karyanya ke berbagai media, namun hanya satu saja yang tembus, itu pun rubrik surat pembaca, hehehe. Luar biasa menyimak kegigihannya. Sampai tiba saat Mas Guntur kuliah di Bekasi, untuk pertama kali karya fiksinya (cerpen) dimuat oleh majalah Sabili.
Perjuangannya belum bersudah. Beberapa tahun kemudian, cerpennya dimuat koran daerah. Dari situ ia merasa terpacu terus menulis, untuk kemudian berpayah-payah mengirim cerpennya ke Kompas, media yang digadang-gadang sebagai barometer cerpen koran minggu berkualitas. Singkat kata, cerpen Mas Guntur pun dimuat. Dia senang sekali. Tetapi…
Setelah cerpennya diunggah ke blog cerpenkompas, serentetan kritik menghunjam dirinya. Mulai dari kritik bernada kecaman―tanpa isi―sampai kritik yang benar-benar kritik, yang menelanjangi cerpen pertama Mas Guntur di Kompas. Akunya, ia sempat down. Bahkan ia berniat meninggalkan dunia kepengarangan.
Namun, setelah ia pikir, resapi ulang kritik-kritik itu, ia menemukan titik terang. Entah apa itu, yang jelas, ia mengonversi kritik menjadi semacam pemantik kreativitas. Dan meledaklah! Usai mentalnya sempat roboh berkat kritik-kritik kritikus sastra betulan ataupun komentator anonim yang sekadar bercuap ‘bunuh diri aja, lu!’ di blog cerpenkompas, Mas Guntur semakin mendalami teori kepengarangan, setelah sebelumnya hanya belajar secara autodidak.
Beberapa bulan kemudian, cerpennya lagi-lagi dimuat media. Tak tanggung-tanggung, cerpennya dimuat Koran Tempo, media yang redaktur sastranya lumayan killer! Seperti hujan bulan November, karyanya terus menderas menghujani berbagai media nasional, baik majalah remaja, majalah dewasa, dan koran minggu. Dan tentu saja novel Jurai dan beberapa novel remaja lain yang sudah terpampang di toko buku. Ciamik!
Ah, ya, saya juga sering sekali dikritik orang-orang sekitar saya dalam segala aspek. Namun, entah oleh karena tabiat saya yang keras kepala, mental saya jarang down. Pernah down, namun sekejap saja, sebab saya tak pernah meratapi sedemikian pilu kejatuhan mental hingga berhari-hari, berbulan-bulan lamanya. Mubazir waktu.
Saya justru memilah-milah kritik mereka: mempertahankan yang baik, memperbaiki yang buruk. Pada akhirnya, saya merasa benar-benar hidup. Sebab dengan dilontari kritik oleh orang-orang terdekat, saya bersyukur, ternyata masih ada manusia yang memedulikan hidup saya. Saya senang.
Oh, ya, kebetulan ada satu cerpen saya yang dimuat majalah. Jika ingin membaca, silakan beli Femina edisi pekan ini, 16-22 November 2013. Atau, jika keberatan membeli Femina, karena itu majalah khusus perempuan, bolehlah sekadar main-main ke toko buku ataupun ke kios koran pinggir jalan, untuk membaca majalah di tempat, dan membaca cerpen saya saja, hehehe.
Selamat menikmati hari Sabtu, teman. Siang ini gerimis dan dingin sekali. Ada kopi?
bintangmu Leo ya mas? Kok sifatnya mirip2 aku
BalasHapusKalau aku sih gak suka dikritik. Kecuali emang minta kritik. Kalau enggak minta ya berati diriku gak ingin dikritik. Apapun kritik yg datang, aku cuekin. Soalnya aku sudah nyaman dengan yg aku lakukan.
Sebenarnya kritik itu datang kalau diminta. Ketika ada yg minta kritik. Kalo gak minta ya sebaiknya jangan mengritik.
Itulah pendapatku yg emang egois ini. HAHHAA
hahaha, betul sekali, kak ndop. saya Leo akhir :D
Hapussip dah hahaha. yang penting, untuk jadi yang terbaik kita tetap jadi diri sendiri, nggak berpura-pura jadi orang lain :)
perjuangan Mas Guntur ngasih semangat baru...
BalasHapusaih keren euy, cerpennya dimuat di Femina... :D
saya tipe orang yang mudah down kalo dikritik, hihi... tapi setelah dipikir lagi, kritik itu pada akhirnya memberi pelajaran.. orang yang ga mau dikritik berarti ga mau merubah diri jadi lebih baik
betul, saya pun tergugah :')
Hapushehe, alhamdulillah. baca ya, hana :D
sip, saya sepakat denganmu.
wow asik juga yaa tulisannya di muat di femina.. kira-kira tulisannya tentang apaan ya? :D
BalasHapushahaha, biasalah, tentang cinta-cintaan :D
Hapussalam kenal sobb , , ,
BalasHapusmampir diblog q ya sobb , , ,
Saya lebih suka dikritik ketimbang dipuji, dibilang "keren!", "bagus!", "Mantap"
BalasHapusAh, apalagi buat yang komentar, "kunjungan balik yaaa"
Hahhahhahaha